Empat

1834 Words
Kamis (09.43), 11 Juni 2020 -------------------- “Mungkin aku butuh obat tidur.” Ujar Sintha sambil menahan senyum. Dia tahu Xavier bisa mendengar dengan jelas. Ruby terkikik geli seraya menunduk untuk meraih secangkir teh di atas meja. Saat itulah Sintha menatap terang-terangan ke arah Xavier diiringi senyum nakal dan sebuah kedipan mata. Perbuatan Sintha membuat Xavier menggerakkan kursi rodanya kembali kedalam rumah. Melihat itu Sintha buru-buru pamit pada Ruby lalu segera pergi menyusul Xavier. Sintha berhasil mengejar Xavier di ruang tengah menuju perpustakaan. Tanpa kata ia mendorong kursi roda Xavier. Merasa ada yang membantunya, tangan Xavier yang memutar roda di kursi berhenti. Dia langsung tahu siapa orang di belakangnya tanpa menoleh. Mereka jalan dalam diam hingga memasuki perpustakaan. “Mau baca buku apa? Biar aku carikan.” Sintha berkata. “Tidak perlu. Aku bisa sendiri. Pergilah!” nada Xavier terdengar lebih dingin dari yang pernah Sintha dengar. Sintha memutar ke depan kursi roda lalu berlutut di hadapan Xavier. “Sepertinya suamiku sedang marah.” Goda Sintha. “Menjauh dariku! Bukankah kau sendiri yang bilang tidak mau disentuh olehku?” Senyum Sintha merekah. “Apa itu artinya kau mau menyentuhku seandainya aku tidak berkata demikian?” “Bermimpi saja!” “Berarti ucapanku tidak salah. Toh kau tidak mungkin menyentuhku. Jadi biar aku saja yang menyentuhmu.” “Dasar ja—” Cup. Xavier terdiam dengan bibir terbuka. Matanya mengedip beberapa kali karena kaget. Sementara itu Sintha sudah berdiri lalu mundur menjauh dengan tawa gelinya. “Berhenti melakukan itu!” geram Xavier. “Kalau aku tidak mau?” tantang Sintha. Jemari Xavier mengepal geram. Sintha adalah orang paling bebal yang pernah Xavier temui. “Jangan jadi wanita munafik. Di saat tertentu kau bersikap seolah menyentuhku adalah suatu hal yang menjijikkan. Namun di saat yang lain kau tidak berhenti menyentuhku.” Tanpa rasa bersalah, Sintha mengangkat bahu. “Dari awal penilaianmu terhadapku sudah buruk. Bagimu aku adalah w***********g. Jadi tidak ada pengaruhnya walau kau menambah dengan sebutan munafik.” Gigi Xavier bergemeletuk saking kesalnya. “Aku akan meminta pelayan untuk mengeluarkan barang-barangmu dari kamarku. Terserah kau mau tidur di mana saja. Dan mulai detik ini, jangan lagi mendekatiku.” Xavier hendak memundurkan kursi rodanya, namun Sintha sudah lebih dulu berlutut di hadapannya lalu menggenggam kedua tangan Xavier. Kali ini Sintha menatapnya dengan lembut seperti semalam. “Xavier, aku ingin melayanimu layaknya seorang istri. Apapun yang terjadi di saat kita sedang berdua, orang lain tidak perlu tahu. Kalau kau takut keberadaanku merugikanmu, pastikan saja kau tidak membahas apapun yang menjadi incaran musuhmu denganku.” Sintha terdiam sebelum melanjutkan. “Izinkan aku menjadi istrimu yang sesungguhnya.” Xavier menatap kedua mata Sintha dengan tajam, seolah berusaha membaca apa yang tersembunyi di balik mata itu. Dia tidak mungkin salah membaca permohonan dalam kalimat terakhir Sintha. “Bagaimana caraku bisa mempercayaimu?” “Kau tidak perlu percaya padaku. Karena kalau kau percaya padaku, bisa saja aku mengkhianatimu. Izinkan aku melayanimu layaknya seorang istri. Walau itu hanya ketika kita sedang berdua seperti ini.” Xavier terdiam. Dia sungguh tidak mengerti wanita di depannya ini. Permainan apa yang sebenarnya dimainkan olehnya. “Coba pikirkan. Jika aku melayanimu, apa ruginya bagimu?” Kau berusaha menyerang hatiku. Tanpa sadar kalimat itu memenuhi benak Xavier. Tapi Sintha juga tidak salah. Jika wanita itu melayani Xavier layaknya seorang istri melayani suami, tentu Xavier yang diuntungkan. Yang dibutuhkan keluarga tirinya adalah tanda tangan. Selama Xavier tidak memberikan tanda tangannya, dia tidak rugi apapun. Cukup lama mereka terdiam dengan saling memandang tajam hingga akhirnya Xavier menghela nafas. “Baiklah. Tapi itu bukan berarti aku akan bersikap baik padamu. Lakukan saja tugasmu dengan benar, dan aku tidak akan menyakitimu.” Sintha tersenyum lebar menunjukkan kegembiraannya. Dengan posisi masih berlutut, dia merangkul leher Xavier, memeluk lelaki itu erat. “Terima kasih.” Jantung Xavier berdebar keras. Sejak dirinya terikat kursi roda, dia tidak pernah sedekat ini dengan siapapun. Rasanya aneh. Di satu sisi dia merasa nyaman namun di sisi lain dirinya gelisah. “Ehem, sudah cukup pelukannya. Lepaskan aku!” perintah Xavier seraya menjauhkan diri dari Sintha. Wajah Sintha masih berbinar setelah pelukannya lepas dan mereka saling memandang kembali. “Jadi suamiku, silahkan minta apapun yang kau inginkan.” Xavier berdehem lalu memalingkan wajah dari Sintha. Entah mengapa dia merasa gugup sekarang. Xavier memang bukan pemain perempuan walau beberapa kali dia pernah memiliki kekasih. Bisa dibilang dia anak baik. Dulu ketika orang tuanya masih lengkap, Xavier adalah anak yang ceria dan senang berteman. Namun satu-satunya orang yang Xavier anggap sahabat adalah Vero, temannya sejak SMP. Hidupnya yang penuh kebahagiaan berubah sejak sang mama mengetahui perselingkuhan papanya. Saat itu Xavier menjelang kelulusan SMP. Ketika Xavier baru saja menikmati awal masuk SMA, mamanya bunuh diri setelah tahu bahwa anak pertama papanya dengan si selingkuhan, hanya selisih empat tahun dari Xavier. Tentu saja Xavier menuntut penjelasan dari papanya. Namun sang papa hanya mengatakan bahwa ia mencintai Kelis sekaligus mama Xavier. Lalu dengan tanpa rasa bersalah, dua bulan setelah pemakaman mamanya, sang papa membawa Kelis serta anak-anaknya ke rumah mereka. Kekecewaan Xavier membuatnya melarikan diri dari rumah dan tinggal di rumah Vero. Namun sesakit apapun hatinya, itu tidak lantas membuat Xavier menjadi berandalan yang suka bermain wanita dan memakai n*****a. Dia tetap menjadi pribadi yang ramah dan baik walau kian lama kian tertutup. Hampir empat bulan tinggal di rumah Vero, Xavier mendengar kabar bahwa papanya sakit dan meminta dirinya kembali ke rumah. Walau kekecewaannya belum pudar, rasa sayangnya terhadap sang papa membuat Xavier pulang lalu belajar memaafkan dan menerima bahwa kini dirinya memiliki keluarga baru. Sebagai manusia yang memiliki perasaan, tentu Xavier tahu kebencian terpendam keluarga tirinya. Terutama ketika Mario terang-terangan menunjukkannya. Sebaik apapun Xavier, dia bukan lelaki lemah. Ketika dirinya diganggu, dia akan melawan. Begitu pula yang terjadi antara dirinya dan Mario. Ketika Mario mulai bertingkah, seperti menebar kebohongan kepada papanya, dengan tegas Xavier membela diri sekaligus memperingatkan Mario secara langsung. Bahkan tidak jarang perselisihan diantara mereka berakhir dengan perkelahian. Ketika Xavier kuliah semester lima, papanya yang semakin sering sakit-sakitan membuat surat wasiat yang dibacakan langsung di hadapan Xavier dan keluarga tirinya. Xavier kecewa dengan isi surat wasiat itu karena dirinya hanya mendapat lima persen dari seluruh kekayaan papanya sedangkan keluarga tirinya mendapat sembilan puluh lima persen. Bukan nilai yang Xavier permasalahkan melainkan rasa sayang papanya. Dengan mewariskan sedikit harta terhadap Xavier, sempat terbersit di hatinya bahwa sang papa tidak menyayanginya. Tapi sekali lagi, Xavier berusaha menerima. Dia tidak suka pertengkaran terutama dengan keluarganya sendiri. Kedua tangannya masih sanggup untuk mencari kekayaan tanpa menunggu warisan. Tepat satu minggu setelah pembacaan surat wasiat, papanya meninggal dengan cara—yang menurut Xavier—sangat tidak wajar. Dia meninggal dengan tubuh gosong akibat tersetrum di atas ranjangnya. Kematian papanya yang sangat mengenaskan membuat Xavier syok dan sangat tertekan. Tiap orang pastilah memiliki batas kesabaran. Begitu pula Xavier. Dia langsung menduga bahwa keluarga tirinya penyebab semua itu. Apalagi tujuannya kalau bukan mendapat warisan secepatnya. Namun penyelidikan polisi tidak menemukan adanya unsur kesengajaan. Xavier tidak bisa menyalahkan kinerja polisi karena dirinya juga menyewa detektif dari luar untuk menyelidiki. Menurut mereka, kematian papanya karena keteledoran papanya sendiri yang tanpa sengaja menjatuhkan gelas penuh air dari meja nakas ke stop kontak yang digunakan untuk menyalakan alat pijat listrik. Sementara itu semua anggota keluarganya memiliki alibi masing-masing. Akhirnya tidak ada lagi yang bisa Xavier lakukan selain menerima walau hati kecilnya masih tidak membenarkan. Sejak saat itu, Xavier semakin tertutup dan tidak sanggup tersenyum lagi. Terutama setelah pembacaan surat wasiat untuk kedua kalinya yang menimubulkan kehebohan. Alasannya, surat wasiat yang dibacakan berbeda dengan isi surat wasiat ketika papanya masih hidup. Bisa dibilang, topeng pura-pura baik keluarga tirinya runtuh saat itu juga. Mereka semua mengamuk dan murka lalu secara terang-terangan menuding Xavier telah melakukan kecurangan. Tapi pengacara menjelaskan bahwa dari awal memang ada dua surat wasiat yang dibuat. Surat wasiat pertama yang dibacakan namun surat wasiat kedua yang sah dan diakui secara hukum. Sang pengacara sendiri mengaku tidak tahu alasannya. Entah dia berkata jujur atau tidak. Saat itu Xavier menduga, papanya sengaja membacakan surat wasiat yang menguntungkan keluarga tirinya untuk melihat reaksi mereka. Dan rupanya, sang papa meninggal seminggu kemudian. Karena itulah prasangka Xavier semakin besar dan membuatnya menjadi pribadi yang sekarang. Dingin, sinis dan suka melontarkan kata-k********r. Xavier mendesah. Ingatan tentang kehancuran keluarganya selalu membuat hati Xavier begitu sakit. Dia menunduk ketika merasakan jemarinya diremas lalu tersentak kaget. Lamunannya membuat Xavier lupa bahwa dirinya tidak sendirian. Sintha tersenyum menenangkan melihat keterkejutan di mata Xavier. Dia yakin Xavier sempat melupakan keberadaan dirinya. “Apa yang kau lamunkan sampai melupakan diriku?” tanya Sintha lembut. “Tidak ada.” Sahut Xavier sambil mengalihkan pandangan dari mata Sintha yang menyelidik. Jemari Sintha terulur lalu membelai kening Xavier. “Jangan terlalu sering mengerutkan kening.” Xavier memundurkan wajahnya untuk memutus sentuhan Sintha. Dia benar-benar merasa tidak nyaman. “Antarkan aku ke kamar. Aku ingin memeriksa beberapa laporan keuangan perusahaan.” Sintha mengangguk lalu menuruti keinginan Xavier. Sepertinya dia harus lebih bersabar dan membuat Xavier terbiasa dengan sentuhannya. Setidaknya dirinya sudah berhasil maju selangkah karena Xavier tidak lagi mendorongnya menjauh. *** Sintha sudah menawarkan diri untuk membantu Xavier membersihkan badan lalu berganti pakaian. Namun lelaki itu menolak. Xavier malah meminta bantuan pelayannya. Bahkan sekarang ketika Xavier hendak pindah ke ranjang. Sintha hanya bisa memperhatikan dengan wajah merengut. Saat ini pelayannya yang bertubuh sedikit kekar telah membopong Xavier dari kursi ke ranjang. Sintha akui, Xavier lumayan kurus jika dibandingkan dengan foto di meja kerja lelaki itu. Mungkin sejak sakit bobot tubuhnya berkurang. Tapi tetap saja Sintha kesulitan ketika membantu Xavier pindah tempat seperti kemarin malam. Entah mengapa, Sintha merasa aneh dengan ekspresi wajah Xavier ketika tubuhnya dipindah. Bibirnya terkatup rapat membentuk garis lurus dan rahangnya menegang. Ekspresi wajahnya juga terlihat jauh lebih datar seperti dia sedang berusaha menyembunyikan sesuatu. DEG. Xavier kesakitan. Dia kesakitan namun berusaha keras untuk menyembunyikannya. Padahal pelayan membopong tubuhnya ketika dipindahkan. Tidak seperti kemarin ketika Sintha yang membantunya pindah. Seharusnya dia tidak merasakan sakit. Begitu pelayan keluar, buru-buru Sintha mengunci pintu kamar lalu duduk di sebelah Xavier yang hendak membaca buku sambil bersandar di kepala ranjang. Dengan sikap biasa, Sintha menyentuh betis Xavier lalu meremasnya tiba-tiba. “Ahh, apa yang kau lakukan?” refleks Xavier membentak Sintha seraya menepis tangan wanita itu. Rasa sakit yang tajam mendadak muncul dari tempat Sintha meremas betisnya lalu menjalar keseluruh tubuh. Sepertinya sekejap tadi seluruh darahnya dipenuhi aliran listrik. “Sakit?” tanya Sintha dengan mata melebar. Xavier tidak menjawab dan memilih memusatkan perhatian pada buku di tangannya. Bagi Sintha, sikap diam Xavier berarti iya. Kepanikan tiba-tiba memenuhi otaknya. “Sebenarnya apa yang terjadi? Setahuku anggota tubuh yang lumpuh tidak akan terasa sakit karena sudah mati rasa.” “Sudah malam. Tidurlah!” perintah Xavier tenang tanpa mengalihkan perhatian dari bukunya. Dengan kesal Sintha merampas buku Xavier lalu menggenggam kedua tangan lelaki itu, memaksa pandangan mereka bertemu. “Katakan padaku apa yang terjadi. Apa ini artinya masih ada harapan bagimu untuk sembuh? Kalau kau masih bisa merasakan sakit, mungkin kau tidak benar-benar lumpuh.” Tanpa bisa dicegah, air mata Sintha menitik. Kening Xavier berkerut melihat air mata Sintha. “Kau ini aneh sekali. Aku yang sakit kenapa kau yang menangis?” Sebenarnya Xavier merasa tidak nyaman dengan perhatian yang Sintha tunjukkan untuknya. Dia masih berpikir bahwa Sintha adalah pesuruh keluarga tirinya. “Apa kau sudah memeriksakan diri ke dokter?” Sintha mengabaikan ucapan Xavier sebelumnya. “Tidak perlu berakting sampai seperti ini. Aku hanya memberimu izin untuk melakukan tugas seorang istri. Aku sama sekali tidak butuh sikap palsumu. Dan kalau kau berniat untuk memberitahukan hal ini pada mereka, silahkan saja. Aku akan berpura-pura tidak tahu.” Sintha tidak sanggup membalas ucapan Xavier karena air matanya semakin membanjir. Kemudian dia menyelipkan lengannya di pinggang Xavier lalu menangis sesenggukan di d**a lelaki itu. Ketika Xavier mencoba melepaskan diri, Sintha makin mempererat pelukannya. Akhirnya Xavier menyerah. Dia membiarkan Sintha yang masih menangis untuk terus memeluknya, tanpa mencoba membalas pelukan wanita itu.    ------------------------- ♥ Aya Emily ♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD