Chapter 9

739 Words
"Ah, kenapa kepalaku begitu pusing?" William menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya, tapi betapa terkejutnya ia saat melihat tubuhnya yang polos tanpa pakaian. "Astaga! Apa yang terjadi?" William memijat keningnya, kepalanya masih terasa berdenyut. Ia tidak ingat apa yang telah terjadi dengannya. Saat itu seorang wanita sedang meringkuk di atas lantai, dengan selimut yang menutupi tubuh polosnya. Wanita itu menangis, William kaget, kenapa ada wanita di kamarnya? Warna rambutnya, sepertinya William kenal. "Kamu, Emily?" tegurnya dengan kepala yang masih terasa pusing. Wanita itu berbalik, pipinya sudah basah di penuhi air mata. "Wil, kenapa kamu tega, kamu udah menghancurkan aku," lirih Emily dengan wajah yang terlihat sedih. "Emily, kamu ngomong apa? Menghancurkan bagaimana? Kamu kenapa bisa ada di sini?" Sahutnya dengan raut panik dan bingung. "Lalu kenapa kita seperti ini, Emily! Cepat jelaskan apa yang kamu lakukan padaku semalam?" Suara William meninggi, ia tidak mungkin habis melakukan hal terkutuk dengan Emily, mana mungkin, ini mustahil. Batin William. "Aku? Kamu bilang aku? William! Ini semua perbuatan kamu, kamu yang maksa, kamu semalam mabuk, lalu kamu melakukan hal itu padaku, William kamu tega!" Emily kembali berteriak, tidak ingatkah dia bahwa semalam dia sengaja menjebak William dengan beberapa tetes obat penyulut gairah. Tentu saja, Emily bukan tidak mengingatnya. Emily sangat ingat, karena itu memang rencananya, termasuk saat ini. Semuanya yang ia lakukan, dan ia katakan, merupakan rencana sempurnanya. William semakin panik, "nggak! Ini nggak mungkin, kamu pasti menipuku, iyakan? Emily, katakan padaku, apa yang kamu berikan padaku di dalam anggur semalam?" Emily tersentak, tapi ia tidak akan memberitahu yang sebenarnya. "Apa kamu gila! Kamu pikir apa yang aku berikan, kita sama-sama minum anggur dari botol yang sama, kamu tau kan? Lalu, kamu pikir aku kasih apa? Kamu jahat, William!" Ya, rencananya memang sangat matang. Emily benar-benar cinta terhadap William. Sampai ia rela melakukan hal ini, merendahkan harga dirinya, menipu daya, dan membuat William jatuh ke dalam jebakannya. Sejak pertama kali Emily bertemu dengan William. Wanita itu sudah menaruh rasa suka. Sosok William yang lembut dan mudah bergaul, menariknya hingga ke perasaan yang lebih dalam lagi. Rasa nyaman dan aman ketika berada di dekat pria keturunan China itu. Membuat Emily seolah tidak peduli, walaupun William pernah bercerita kalau ia memiliki kekasih yang bernama Athanasia. "Emily, apa ini benar? Aku mabuk dan aku tidur denganmu? Emily jawab aku! Jangan menipuku!" William terus berteriak, sedangkan Emily masih meronta dan menangis, demi meyakinkan William, kalau ia hanyalah korban. "Terserah kamu, Wil! Kamu mau percaya atau tidak, yang jelas aku cuma korban! Kamu yang udah maksa aku, kamu jangan begini. Aku udah anggap kamu seperti saudara, kenapa kamu malah merusak harga diriku, Wil. Apa yang harus aku katakan pada Papa. Jangan kamu kira karena kita tinggal di negara bebas, lalu kamu beranggapan aku sudah biasa melakukan hal ini. Tidak, sama sekali tidak, Wil. Aku baru pertama kali, dan itu sama kamu." William semakin pusing. Kepalanya mendidih dan sebentar lagi akan meledak. Di dalam otaknya hanya terus mengutuk dirinya. Kenapa ia sama sekali tidak mengingatnya. Kenapa ia melakukan hal itu pada Emily, melihat wajah Emily yang begitu sedih dan ketakutan. William juga merasa bersalah. Tapi, ia juga tidak ingat dengan perbuatannya sendiri. Kepalanya pusing, padahal bukan pertama kalinya ia meminum anggur, tapi kenapa ia sampai semabuk itu.. Emily masih meringkuk dan menangis. William hanya terdiam sambil mencoba mengingat semuanya, walaupun pada akhirnya ia tetap tidak mengingatnya juga. Ia segera mengenakan jubah tidurnya, lalu menuruni ranjangnya. Menghampiri Emily yang gemetaran ketakutan. Setidaknya itu yang ia lihat saat ini. "Emily, maafin aku. Sungguh, aku tidak ingat apapun yang terjadi semalam. Demi Tuhan, aku tidak pernah bermaksud merusak dirimu. Emily, aku berjanji akan bertanggung jawab, tapi jangan katakan ini pada papamu, aku tidak siap kalau beliau marah." Akhirnya, sebuah permohonan. Membuat hati Emily bersorak penuh kemenangan. Ia berhasil membuat William terperdaya. Hal itu tentu saja sesuai dengan rencana awalnya. Emily tidak menyangka bahwa rencananya akan berjalan begitu lancar bahkan nyaris tanpa hambatan. Hanya semalam Emily mematikan ponsel William, karena saat keduanya sedang menunggu jeda bercinta. Sebuah panggilan masuk dari Athanasia, mengganggu keduanya. Emily mengangkat wajahnya yang basah di penuhi air mata kepalsuan. Ya, itu bukan air mata asli, melainkan hanya beberapa tetes cairan pembersih mata, supaya William lebih percaya. Benar-benar sebuah rencana yang di penuhi siasat. "Oke, aku nggak akan bilang sama papa. Tapi, kamu berjanji kepadaku. Kalau terjadi apa-apa denganku, kamu harus bertanggung jawab." Emily masih meringkuk, mengalihkan pandangan seolah ia masih ketakutan. William terpaksa mengangguk setuju. "Iya, Emily. Maafkan aku." _______________
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD