Chapter 8

1034 Words
"Atha, aku sangat merindukanmu, ingin rasanya agar waktu berjalan lebih cepat dari semestinya. Agar aku dapat segera memelukmu," Atha tersenyum sambil menatap wajah kekasihnya yang ada di layar laptopnya. "Aku juga, kenapa waktu berjalan begitu lambat ya? Hm, apa karena kita terlalu merindu, jadi seolah waktu membuat kita tertawan dan tidak bergerak," sahutnya. William menyentuh layar seolah ingin menyentuh Atha, "rasanya aku bisa mati, kalau terus seperti ini, menahan kerinduan begitu menyesakkan," "Kalau begitu bukan hanya kamu yang mati, aku pun sama, bahkan mungkin lebih dulu aku, dibanding kamu." Atha tidak terasa meneteskan bulir hangat dari ujung matanya. "Maafkan aku, Sayang. Jangan menangis, karena aku tidak sanggup melihat air matamu, aku janji akan menemui mu, akan mengikat mu dengan sebuah cincin yang aku sematkan sendiri di jari manis mu, Atha, tunggu aku." Atha begitu sesak menyimpan semua kerinduan terhadap William. Kekasihnya, tapi ia tetap bersabar demi sebuah janji yang masih ia genggam. Selama tiga tahun, Atha menetapkan hatinya hanya untuk William seorang, bahkan tidak pernah terbesit niat untuk menaruh pria lain di hatinya, walau begitu banyak yang coba mendekatinya, silih berganti. Apartemen William Terdengar suara ketukan pintu. William segera mengecek siapa yang datang. "Emily? Ada apa dia kesini?" gumamnya sambil mengintip dari lubang yang ada di pintu. Emily adalah rekannya satu jurusan. Setiap hari keduanya seringkali bertemu. Kebetulan Emily adalah putri dari pimpinan tempat William sedang melakukan penelitian. "Emily, ada perlu apa?" tanya William. Wanita itu tersenyum simpul sambil menunjukkan bungkusan yang ia bawa. "Temani aku," "Minum? Dalam rangka apa kamu mengajakku minum?" "Dalam rangka, aku mendapatkan nilai sempurna dalam ujian praktek kemarin. Jadi aku ingin merayakannya denganmu, kamu tidak keberatan kan, Wil?" "Oh, selamat ya, baiklah. Ayo masuk," tanpa merasa sungkan, Emily langsung masuk ke apartemen William, ini bukan pertama kalinya Emily datang berkunjung. Hampir setiap minggu Emily membawa berbagai macam makanan untuk William, dia bilang sebagai tanda terima kasih, karena William sering membantunya. Tanpa merasa risih, William menerima semua perlakuan baik Emily, karena menurutnya itu hanyalah sebuah perhatian dari seorang teman. "Wil, aku ke dapur ambil gelas ya." "Iya, aku mau mandi dulu. Kamu tunggu aja, nanti aku kembali," "Oke, Wil." Sementara William sedang mandi. Emily pergi ke dapur, ia membuka lemari dimana tempat gelas itu tersimpan. Di ambilnya satu gelas dengan ukuran sedang, sambil terus tersenyum senang. Entah apa yang sedang ada di dalam pikirannya saat ini. "William, kenapa aku segila ini padamu," gumamnya sambil menatap pantulan wajahnya di gelas bening tersebut. Ia menyeringai, lalu kembali ke ruang tamu. Di ambilnya satu botol anggur yang sudah ia siapkan. Lagi-lagi Emily memasang wajah penuh senyuman menyeringai. "Aku tidak sabar ingin melihatmu, menghampiriku, dengan segenap rasa yang tak bisa kamu tahan, Wil." Emily membuka tutup botol anggur tersebut, lalu menghirup aroma wanginya, dan ia segera menuangnya ke dalam gelas. Dengan begitu perlahan hingga takarannya pas, tidak penuh hanya sedikit saja. "Segini saja, satu teguk sudah cukup, Wil." Wanita itu melirik ke arah kamar mandi. William belum selesai mandi, ia pun segera mengeluarkan botol kecil dari dalam sakunya. Entah apa yang ada di dalam botol tersebut. Emily meneteskan tiga tetes cairan dari botol itu ke dalam anggur milik William. "Ah, sebentar lagi, William." Tak lama kemudian, William keluar dari kamar mandi. Ia sudah mengenakan pakaian santainya. Emily begitu santai, ia segera memasukkan botol tersebut ke dalam sakunya lagi. "Udah, Wil?" tanyanya sambil meminum anggurnya. "Udah, maaf ya nunggu lama." "Santai saja, Wil. Minum anggur mu, aku udah tuangkan ke dalam gelas mu, enggak apa-apa kan?" Emily menyerahkan segelas anggur yang sudah ia campur beberapa tetes cairan sebelumnya. Entah cairan apa, yang jelas Emily terlihat begitu tidak sabar ingin William segera meneguk anggur tersebut. "Thanks, cheers...," Keduanya pun bersulang, William meminum habis anggur tersebut dalam satu kali teguk. Ia memicingkan matanya, sambil menatap gelas yang sudah kosong. "Kenapa rasanya beda?" Emily menggeleng, "berbeda? Apa yang kamu maksud? Itu anggur biasa kok, baru ku dapat dari salah satu simpanan papa, dengan kualitas terbaik," sahutnya. William mengangguk-anggukkan kepalanya, "oh, mungkin hanya perasaanku saja." Emily tersenyum, "bagaimana kabar kekasihmu? Apa kalian sudah saling memberi kabar?" William menyentuh kepalanya yang agak pusing, "hm, Athanasia, baru saja aku dan dia selesai video call. Lalu kamu datang," jawabnya yang tiba-tiba merasa sekujur tubuhnya terasa panas. Ada sesuatu yang tidak beres terjadi pada tubuhnya. Mendadak pandangannya juga kabur, dia melihat sosok Athanasia di hadapannya saat ini. "Atha, itu kamu, Sayang?" Gadis itu tersenyum lalu mengangguk, menghampirinya dan saat ini duduk di hadapannya. "William, aku Emily, bukan Atha." Tapi William tidak terkendali, di depannya tetap wajah Atha yang terlihat. Mendadak sekujur tubuhnya kian memanas. Fantasinya mendadak liar. William melihat seolah Atha mengundangnya untuk memeluk dan menciumnya dengan penuh gairah dan begitu genit. "Sayang," William menyentuh kedua pipi Emily, tentu saja itu bukan Emily di dalam pandangannya. Melainkan Athanasia yang ia lihat. "William, please, aku Emily," dengan wajah mengeras, Emily mengutuk obat yang tadi dia berikan kepada William. Mungkin ia berhasil membuat William b*******h, tapi kenapa malah nama Atha yang terus di sebut oleh pria yang ia sukai itu. Tanpa menunggu lama, William segera menindih tubuh Emily, mengecup rakus bibirnya, dengan terus menyebut nama Athanasia. Hanya Athanasia, bukan Emily. "Wil, hentikan! Stop it! Aku tidak mau kalau kamu melakukannya dengan menyebut nama Athanasia, aku Emily, William dengarkan aku, sebut namaku, Emily!" William tidak peduli, seluruh tubuhnya telah mengeras dan bereaksi. "Emily?" Akhirnya nama itu keluar juga dari mulutnya. Dengan perasaan berbunga-bunga Emily menyambutnya dengan kecupan panas di bibir William. "Ya, Honey, aku Emily," William menggeleng, "kenapa? Emily? Kenapa kamu, Emily? Kenapa bukan Atha?" Emily menyentuh wajah Wiliam, dengan posisi di bawah tubuh William yang masih menindihnya. "Karena aku yang ada di sini sekarang, Wil. Katakan, sebut namaku, Emily. Kamu udah nggak bisa nahan lagi, aku tau kamu inginkan aku, iyakan? William," Pria itu sudah tidak peduli, siapa wanita itu, apakah Emily, atau Athanasia. Yang jelas saat ini sekujur badannya memanas diliputi gairah yang membara, "ya, aku ingin kamu," Keduanya pun melakukan hal yang tidak dapat lagi tertahankan. William sudah kehilangan kesadaran, dirinya di penuhi hasrat yang salah. Wanita yang ia tiduri saat ini adalah Emily, lalu bagaimana dengan Atha, ia masih terus menatap wajah William dari layar ponselnya, menunggu dengan segenap kerinduan. "William, aku kangen." ________________ Terima kasih sudah baca sampai sini ya :)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD