Chapter 7

1455 Words
"Tuan, apa kamu sedang bercanda? Apa maksudnya dengan menjadi kekasihmu?" Atha menatap dengan bola matanya yang membulat sempurna. Sementara Dave malah tertawa. "Astaga, kamu lucu sekali sih. Aku hanya ingin menggoda mu saja, tentu saja mana mungkin aku meminta hal itu padamu," ujar Dave sambil memperbaiki posisi duduknya lagi. Atha menghela napas lega, untuk beberapa saat ia mengira pria di depannya itu bersungguh-sungguh. "Ya Tuhan, lain kali jangan bercanda seperti itu, baiklah, jadi apa yang bisa aku lakukan untuk membayar kerugian mu?" Atha kembali ke posisinya, "aku tidak ingin memiliki hutang," tukasnya. Dave tersenyum tipis, dengan begitu santai ia mengulurkan tangannya, "berikan ponselmu," "Ponsel? Untuk apa?" Atha kembali dibuat bingung. "Kenapa kamu meminta ponselku? Tidak mungkin kamu ingin meminta aku membayarnya dengan ponsel, kan?" Dave memijat keningnya, "berikan saja, jangan banyak tanya, cepatlah." Atha mendengus, ia benar-benar tidak dapat menebak jalan pikiran pria itu. "Ini ponselku, entah mau kamu apakan, yang jelas di dalamnya ada banyak nomor penting, kalau mau meminta sesuatu apapun boleh saja. Tapi jangan ponselku," tutur Atha. Dave sama sekali tidak peduli ucapan Atha, ia sedang sibuk mengetik sesuatu di ponsel Athanasia. "Kamu pikir aku tidak memiliki ponsel, ini nomor ponselku sudah aku simpan. Aku akan memberitahumu bagaimana cara kamu menebus semua kerugian ku, kalau begitu aku permisi," Atha masih tertegun sambil menggenggam ponselnya, lalu ia menatap di layarnya. 'Calon suami' itu yang Dave tulis di nama kontak tersebut. "Apa? Calon suami? Apa dia sedang meledekku?" Atha terlihat kesal, ia membuang napasnya kasar, "semua ini karena William, kenapa hari pertamaku kerja malah seperti ini sih!" Di luar kantor praktek Athanasia, Dave masih tersenyum-senyum sendirian. Menurutnya Atha adalah gadis yang menarik. Seorang pakar psikologi tapi sifatnya malah terlihat begitu frontal, "dia itu sewaktu menempuh pendidikan sebenarnya otaknya menangkap materi yang di sampaikan tidak ya? Tapi, sudah dapat ijin praktek, seharusnya ia sudah melalui tahap seleksi. Athanasia, sangat menarik." Ia segera masuk ke dalam mobilnya, supirnya sudah menunggu sejak tadi. Dave memang sengaja mendatangi psikiater dan belum mendapatkan solusi, bahkan beberapa kali ia diberikan resep penenang oleh psikiater. Tapi tepa saja belum berhasil membuatnya keluar dari kecemasan tersebut, karena selama enam bulan terakhir ia mendapatkan gangguan kecemasan yang berlebihan. Setelah bertemu dengan Atha, mendadak ia merasa bahwa Atha adalah jawaban dari masalahnya. Saat berada di dekat Atha, ada ketenangan tersendiri. Seorang psikolog memang tidak memberikan resep obat, karena ia fokus pada penyelesaian masalah dengan solusi lain tanpa obat-obatan. Psikolog seperti Atha, cenderung mendengarkan keluhan kliennya, lalu memberi masukan untuk penyelesaian masalah. Oleh sebab itu, ia sengaja memberikan nomor ponselnya dan menyimpan nomor Atha, agar nanti dia dapat menghubungi Atha, sewaktu-waktu ia butuh. *** Athanasia POV "Aku pulang," hari ini begitu melelahkan. Seharian aku mendapatkan beberapa klien. Setelah klien pertamaku yang bernama Dave malah membuatku berada dalam situasi yang terjebak. Tapi, kalau tidak ada dia, mungkin saja aku malah terjebak oleh William. "Sayang, kamu sudah pulang? Hm, keliatannya lelah sekali, cepatlah masuk. Mama akan membuatkan mu sup jahe, agar tubuhmu kembali segar." Aku pun mengangguk dan langsung masuk ke dalam rumah. Aku tidak boleh menceritakan bahwa tadi William datang ke kantor, Mama tidak boleh mengetahui hal itu, karena sejujurnya aku juga sudah malas membahas William, aku ingin melupakan William selamanya. "Ma, Atha masuk ke kamar ya. Jujur hari ini Atha sangat lelah, banyak sekali klien yang konsultasi," ucapku, dan Mama pun mengangguk. "Iya Sayang, kamu istirahat. Nanti Mama akan bawakan sup jahenya ke kamarmu, oke," "Oke, Ma. Terima kasih," Aku langsung menaiki anak tangga menuju ke kamarku, rasanya ingin segera berendam di air hangat, setelah itu minum sup jahe buatan Mama, dan langsung tidur agar dapat kembali segar esok paginya. "Hm, melelahkan sekali, semoga saja esok William tidak nekat datang lagi ke kantor. Aku tidak mau melihat mukanya lagi. Lagipula siapa yang sudi mendengarkan penjelasan darinya, meskipun aku mengalami kerugian waktu selama tiga tahun. Setidaknya hanya itu saja kerugian ku, aku tidak pernah memberikan kesucian ku, seperti istrinya, Astaga... Memikirkannya saja membuatku pusing, kalau William bilang dijebak, seharusnya William tidak perlu menikahi wanita itu, kenapa juga sampai dijebak? Apa mungkin William menghamilinya karena kecelakaan? Dia mabuk atau apa? Singkirkan pikiran yang tidak penting itu Atha, itu sama sekali bukan urusanmu," Aku menyalakan shower kamar mandi, merasakan air turun membasahi tubuhku, begitu menyegarkan, seolah seluruh tubuhku kembali segar. Aku ingin segera melupakan William, aku sudah bertekad untuk tidak mau bertemu dan berbicara dengan William lagi, meskipun pada awalnya sulit, tapi entah kenapa saat ini malah wajah pria aneh itu yang bersarang di otakku. Davian, nama itu malah terus ku ingat. Setelah ku pastikan tubuhku bersih dan kembali segar. Aku segera memakai pakaian tidur, saat itu Mama masuk ke dalam kamar. "Atha, minumlah sup jahenya, setelah itu segeralah tidur, besok kamu harus berangkat pagi, iyakan?" "Iya, terima kasih Mama," aku mengambil sup jahe itu dan langsung meminumnya, "sup jahe buatan Mama adalah yang terbaik," "Tentu saja, kalau begitu Mama keluar ya. Jangan lupa untuk segera beristirahat," "Iya, Ma," Mamaku pun keluar, aku menghabiskan sup jahe tersebut, setelah itu naik ke atas ranjang dan mulai membaringkan tubuhku. Kenapa saat ini aku malah terus teringat wajah pria aneh itu, aku meraih ponsel dan melihat di daftar kontak. 'Calon suami' Aku malah terkekeh saat membaca nama kontak itu. "Apa dia sedang ingin menggodaku? Ya Tuhan, kenapa aku malah sering tertawa saat bersama dia, tapi dia sepertinya memiliki keluhan tentang gangguan kecemasan yang berlebihan. Sampai-sampai ia kesulitan mendapatkan ketenangan. Kasihan juga, padahal tadi belum selesai dia memberitahu keluhannya, malah William datang menghancurkan semuanya. Astaga, William lagi, kenapa dia masih saja menggangguku," Tiba-tiba aku terkejut saat ponselku berdering. "Astaga! Pria ini kenapa dia melakukan panggilan video? Mau apa dia? Aduh, apa aku harus menerima panggilannya? Kenapa aku malah gugup, terima tidak, terima tidak?" Aku ragu menerima panggilan tersebut. Tapi, mendadak aku ingat bahwa aku memiliki hutang padanya. Akhirnya aku pun mengangkat panggilan itu. Perlahan aku menggeser layar ponselku, lalu aku mengerjap, aku gemetar saat melihat wajahnya di layar ponselku. "Kamu mau apa? Kenapa melakukan panggilan telpon?" kataku, dan dia hanya tersenyum. "Kenapa memangnya? Aku sudah katakan, saat aku menemukan cara bagaimana kamu dapat membayar kerugian ku, aku akan segera menghubungimu." Dia memperlihatkan lesung pipi, yang malah membuatnya bertambah manis. Astaga, jantungku lemah karena senyumannya itu. "Lalu? Apa sekarang kamu sudah menemukan cara? Katakan saja, jangan terlalu lama. Aku tidak menanggung resiko kalau kelamaan. Bisa-bisa aku lupa kalau aku berhutang padamu," ucapku sambil menyentuh dadaku, dia hanya terus menatapku dengan senyuman. Aku bahkan nyaris pingsan karena tatapannya itu. Sampai-sampai aku berusaha memalingkan mataku darinya. "Hm, aku tidak yakin kamu akan mudah melupakanku, lihat saja, siapa yang pipinya memerah sekarang." Apa dia bilang? Pipiku merah? Aku langsung menatap pipiku di layar ponsel. Ya ampun, dia tidak bohong, pipiku memang merah. Aku malu sekali, kenapa malah di saat seperti ini aku memerah, merona, apa aku sudah menyukainya. Itu mustahil, ini pasti hanya reaksi alamiah karena berbincang dengan pria, ini normal. Batinku terus meracau sendirian. "Jangan meledekku, lebih baik cepat katakan apa yang dapat aku lakukan, agar hutangku segera lunas," Lagi-lagi dia begitu menikmati wajahku sepertinya, terbukti sejak tadi pandangannya tidak berpaling, sampai-sampai membuatku gugup bukan main. "Baiklah, aku sudah memutuskan, bahwa kamu harus membiarkanku terus berada dekat denganmu. Karena sepertinya saat dekat denganmu, aku merasakan ketenangan. Kuharap kamu tidak keberatan," Wajahnya begitu serius saat mengatakan hal itu. Tapi, aku masih bingung apa yang dia maksud ingin berada dekat denganku? "Maksudmu apa? Terus berada dekat denganku, aku tidak paham," sahutku. Dia tersenyum lagi, aku benar-benar akan gila kalau seperti ini terus. "Gampang saja, aku akan menjemputmu ketika kamu akan berangkat kerja, lalu memperhatikanmu saat di kantor, setelah itu kita makan siang bersama, sampai akhirnya aku mengantarmu pulang, seperti itu saja." Aku tidak percaya, kenapa dia harus melakukan hal itu untukku, ini tidak dapat aku mengerti. "Kenapa harus seperti itu? Apa kamu tidak memiliki pekerjaan, ini tidak masuk di akal, untuk apa juga kamu selalu berada dekat denganku," kataku yang masih belum memahami maksudnya. "Nona Athanasia, aku sudah katakan bahwa aku sering mengalami gangguan kecemasan berlebih. Selama ini aku sulit mengendalikan hal itu, sampai akhirnya itu membuatku stress. Dan aku baru merasa tenang ketika dekat denganmu, entah itu karena kamu seorang ahli psikologi atau apa. Yang jelas aku merasa tidak lagi cemas, aku juga sudah memutuskan untuk cuti dari pekerjaaan ku, aku ingin mendapatkan ketenanganku kembali." Kali ini aku mulai paham. Jadi dia merasakan kondisinya membaik saat berada di dekatku, tapi kenapa bisa seperti itu. Selama aku mempelajari karakter dan gangguan psikis orang, aku baru menemukan fenomena seperti ini. Terlebih yang menjadi objek penenang nya adalah aku. "Apa, aku bagimu ibarat obat penenang?" tanyaku, dan dia mengangguk. "Kurang lebihnya seperti itu, kamu adalah penenang untukku." Seketika itu juga jantungku berdebar-debar. Kenapa sekarang aku malah merinding. ____________________ Sebisa mungkin aku up tiap hari ? Jangan lupa ♥️ nya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD