Athanasia POV
"Astaga! Aku kesiangan! Padahal ini hari pertamaku bekerja. Bagaimana ini, semoga saja aku tidak terlambat."
Hm, hari ini aku akan mulai bekerja, bukan waktunya untuk memikirkan patah hati. Setelah saat yang aku tunggu-tunggu, ternyata hanya sebuah kesia-siaan. Sebaiknya aku membuang jauh-jauh ingatan itu dari dalam otakku. Aku juga tidak peduli sama sekali dengan pria b******k tersebut. Bagiku, dia hanyalah sampah yang tidak perlu aku pikirkan. Semua pria sama saja, sudah ku katakan bahwa hanya papaku, satu-satunya pria yang aku percaya.
Aku telah menyelesaikan pendidikan S2 Psikologi Profesi, dan juga mendapatkan surat ijin untuk menjadi seorang psikolog. Saat aku mendapatkan masalah kemarin, seolah semua yang aku pelajari tidak ada artinya, tetap saja aku masih sempat dikuasai perasaan sesak dalam d**a. Padahal, seharusnya aku bisa lebih tenang dalam menghadapi berbagai masalah. Lalu bagaimana nanti, saat aku mendapatkan klien yang memiliki berbagai macam masalah.
Sambil menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan, aku berusaha tetap optimis. Ini adalah keinginanku, menjadi seorang psikolog, harapanku agar aku dapat membantu masalah-masalah yang sedang di hadapi orang lain, lewat pola pikirnya dan juga emosinya, aku juga masih terus belajar untuk menjadi pribadi yang lebih tenang. Jujur saja, aku kemarin begitu bodoh, sama sekali tidak mencerminkan bahwa aku seorang psikolog.
"Atha, Sayang, kenapa belum keluar?" Suara Mama mengetuk pintu kamarku, "iya, Ma, sebentar lagi," jawabku. "Aku sedang bersiap-siap,"
"Baiklah, Mama tunggu di bawah, segera turun untuk sarapan,"
"Baik, Ma."
Aku pun segera mengambil tasku, menuju pintu keluar, dan menuruni anak tangga. "Morning, Ma," aku menyapa Mama dengan wajah ceria. Tak ingin membuat dia cemas, karena beberapa hari ini aku hanya mengurung diri di kamar terus.
"Morning, dear, kamu cantik banget. Mudah-mudahan hari pertama kerja menyenangkan, ya."
Aku mengangguk, "iya, Ma, doakan, ya."
"Pasti Sayang,"
Aku pun duduk di meja makan, mengambil secangkir teh hijau yang sudah di siapkan oleh mamaku.
"Atha, papamu belum bisa pulang. Pamanmu, Kennard masih memerlukan bantuan papamu, jadi terpaksa papamu menetap di Korea lebih lama," ucap Mama, dan aku mengangguk. "Ah, bagaimana kabar triplets ya, aku rindu sekali dengan mereka," kataku yang tiba-tiba teringat Aaron, Micha, dan Kimmy.
"Mereka juga masih sibuk kuliah, kapan-kapan kita ke Korea untuk berkunjung ya, kebetulan Mama juga rindu dengan bibi mu, Rara."
"Tentu saja Ma, aku juga ingin kesana. Tapi seperti yang Mama lihat, aku baru akan memulai pekerjaanku, ke depannya pasti akan sulit meluangkan waktu."
"Tidak apa-apa, Sayang, yang terpenting semuanya berjalan lancar, cepat habiskan sarapan mu, hari pertama kerja tidak boleh kesiangan,"
"Hm, baik,"
Setelah menempuh perjalan selama kurang lebih tiga puluh menit. Akhirnya aku sampai di kantor tempat dimana aku akan praktek. Aku berharap hari pertamaku bekerja, semuanya berjalan dengan lancar dan tidak ada hambatan.
Aku berjalan terus menyusuri koridor gedung tersebut. Hingga akhirnya aku sampai juga di ruangan ku, baru saja aku hendak membuka pintu, tiba-tiba seseorang datang mengejutkanku.
"Permisi, apa ini ruangan praktek nona Athanasia,"
Aku terkejut, "kamu kan? Pria yang minggu lalu, benarkan?"
Pria itu mengernyit, dengan tangan yang masih berada di dalam saku celananya. "Gadis gila? Astaga, sedang apa kamu disini? Ah, aku tahu. Kamu pasti mau konsultasi juga kan? Hm, aku yakin depresi mu bertambah parah, tidak ku sangka kita akan bertemu lagi,"
Aku membulatkan mata, "kamu bilang apa barusan? Aku depresi? Hah?"
Dia malah tertawa mencibir, "lalu apa kalau tidak depresi? Pergi ke ahli jiwa, kalau bukan untuk konsultasi, untuk apalagi?"
Aku mencoba tetap tenang, jangan sampai aku menjadi gila sungguhan setelah ini. "Maaf ya, Tuan sok tahu. Tapi, bisa kamu baca nggak tulisan di name tag ini, tolong coba perhatikan lebih teliti lagi ya,"
Aku menunjuk name tag yang sudah tersemat di pakaianku, dia pun membelalak kaget, raut wajahnya seolah tidak percaya, saat mengeja namaku berulang-ulang. "Kamu, Athanasia? Jadi, kamu itu psikolog?"
Aku memicingkan mataku, lalu memutar gagang pintu ruangan kerjaku, "masuklah, aku tidak tahu sampai sejauh mana tingkatan depresimu, tapi kamu mencariku, pasti karena ada yang ingin kamu keluhkan, iyakan?" Aku tersenyum mencibir, mengembalikan kata-katanya tadi.
"s**t! Kenapa bisa begini," ucapnya pelan, dan aku hanya tersenyum miring. "Masuklah, aku tidak sabar ingin mendengarkan keluh kesahmu, Tuan sok tahu!" tekanku, dan pipinya mendadak memerah. 'Cih! Apakah dia sudah merasa malu?'
Pria itu pun akhirnya masuk, dan duduk tepat di depan meja kerjaku, aku mengenakan blazer dan merapikan sedikit rambutku yang agak berantakan, dia masih memandangiku. "Ada apa? Apa kamu juga baru pertama kali melihat wanita secantik aku, hm?" Kataku mencoba meledeknya, karena ia terlihat begitu tegang.
"Cih! Apa ada seorang ahli kejiwaan yang seperti dirimu? Tingkahnya malah tidak mencerminkan profesi mu sama sekali, aku sampai terkejut. Hampir saja aku jatuh pingsan tadi,"
Aku tertawa, kenapa dia malah melucu sekarang. "Kamu benar, aku memang depresi kemarin, maaf ya. Tapi, aku senang karena kita dapat berjumpa lagi," ucapku dan dia menatap heran. "Kenapa?"
"Tentu saja, karena bagaimanapun aku memiliki hutang budi kepadamu, kamu yang sudah menyelamatkanku saat itu."
Dia tersenyum tipis, "baiklah, aku juga hampir lupa, kalau aku pernah menolong mu," ujarnya.
"Benarkah? Aku kira kamu tidak bisa tidur, memikirkan wajah cantikku ini, benar-benar di luar dugaan, pasti kamu sudah memiliki kekasih, benarkan?"
Dia lagi-lagi tertawa, "kenapa? Apa aku salah?"
"Apa seorang ahli jiwa juga sangat ingin tahu urusan pribadi kliennya?" tanyanya, aku hanya tersenyum miring, "baiklah, anggap saja aku tidak bertanya apapun," sahutku tidak ingin membahasnya.
"Aku tidak memiliki kekasih, semoga itu menjawab pertanyaan mu tadi,"
Entahlah, kenapa aku malah merasa senang.
"Hm, baiklah Tuan misterius, tidak keberatan kalau aku ingin tahu siapa namamu? Dan apa keluhan mu?" tanyaku yang sudah siap dengan ballpoint dan kertas.
"Aku Davian, panggil saja Dave."
Aku pun menatapnya sekilas, "ah, baiklah Tuan Dave, jadi apa keluhan mu?"
Dia terdiam sejenak, seperti sedang memikirkan sesuatu. Aku dapat melihat ada raut tegang dan juga kecemasan di sana.
"Tuan Dave? Apa kamu dengar?"
Dia terkesiap, "maaf, aku mendengarkan,"
"Baik, coba ceritakan apa yang kamu keluhkan saat ini?"
"Hm, aku kesulitan tidur. Bahkan aku selalu merasa hidupku dipenuhi dengan pekerjaan yang selalu membuatku stress. Padahal sudah satu minggu aku mengambil cuti, tapi selama di rumah yang aku pikirkan hanya kantor dan pekerjaan saja, bahkan aku tidak dapat istirahat dengan nyenyak,"
Aku mencatat setiap keluhan yang dia utarakan, "baiklah, Tuan Dave, sepertinya anda memiliki keluhan insomnia, dan kecemasan yang berlebihan, sehingga hal itu menyebabkan saraf mu menegang, itu juga yang membuat anda jadi sulit tidur,"
Pria itu hanya diam, "lalu, apa yang bisa aku lakukan, agar dapat lebih santai, setidaknya aku ingin menikmati liburanku,"
"Sebaiknya anda menyingkirkan dulu semua hal yang berkaitan tentang pekerjaan. Anda bisa berlibur keluar kota atau kemanapun yang memiliki suasana lebih tenang, mungkin itu dapat di jadikan alternatif juga,"
Aku melihat ada sesuatu yang dia sembunyikan, sepertinya dia memiliki keluhan lain. Sebagai seorang pengamat, aku juga dapat dengan mudah menganalisis hal itu. Tapi, sebaiknya aku tidak perlu menanyakan hal itu padanya, karena yang ku lihat dia adalah tipikal orang yang cenderung tertutup.
"Baiklah, apa kamu bisa memberikanku resep obat? Seperti obat penenang?"
Aku menggeleng, "sebaiknya jangan, itu beresiko untuk jangka panjang, kamu dapat mencari ketenangan tidak harus dari obat-obatan, seperti yang aku sarankan tadi, berlibur sejenak dan carilah suasananya yang memberikan ketenangan untukmu,"
Mendadak dia malah terus menatapku, hingga aku menjadi salah tingkah, padahal tadi dia tidak mau menatap wajahku, Astaga, kenapa dia sekarang malah mendekatkan wajahnya.
"Tuan Dave? Kamu mau apa?" tanyaku yang mulai gugup, dia semakin mendekat dan makin dekat saja.
"Nona Athanasia, sepertinya kamu dapat membantuku," bisik nya di telingaku dan aku merinding.
___________
akan di up setiap hari. selamat membaca ;)