Bab 4

738 Words
Mobil hitam mewah itu melaju meninggalkan hiruk pikuk pesta malam itu, membawa Roby dan Lidia menuju kediaman pria itu. Lampu kota yang berkelip di luar jendela hanya menjadi latar sunyi bagi mereka berdua, sementara suasana di dalam mobil terasa tenang namun sarat dengan ketegangan halus yang tak terucap. Roby duduk bersandar, melepaskan napas panjang seakan mencoba mengendurkan otot-ototnya setelah malam penuh basa-basi bisnis. Lidia yang duduk di sampingnya melirik sekilas. Dalam cahaya redup lampu kabin, garis rahang Roby tampak lebih tegas, dan tatapan matanya mengarah keluar jendela. Tidak ada percakapan berarti di antara mereka sepanjang perjalanan, hanya sesekali Lidia memastikan rute pulang lewat aplikasi navigasi. Namun, keheningan itu tidaklah kaku—lebih seperti jeda yang memberi ruang bagi pikiran masing-masing. Begitu mobil memasuki halaman rumah, supir membukakan pintu. Roby turun lebih dulu, lalu secara refleks menunggu Lidia. Ia mengulurkan tangannya, dan Lidia menyambutnya. Sentuhan singkat itu terasa hangat di kulitnya. Mereka berjalan masuk, suara langkah sepatu beradu dengan lantai marmer yang mengilap. Di dalam, suasana rumah Roby tetap seperti biasa: rapi, dingin, dan tertata elegan. Lidia mengikuti langkah Roby menuju ke arah ruang kerja pria itu. Tanpa diminta, Lidia langsung menghampiri pria itu, berdiri di hadapannya sambil mengulurkan tangan ke jas yang masih membungkus tubuh Roby. "Mari, saya bantu lepaskan jasnya," ucap Lidia lembut. Roby hanya mengangguk, menatapnya sekilas. Lidia meraih bahu jas itu, menariknya perlahan dari tubuh Roby. Gerakannya hati-hati, membiarkan kain tebal itu meluncur turun di sepanjang lengan kokoh pria tersebut. Aromanya—campuran parfum maskulin dan samar wangi aftershave—membuat jantung Lidia berdetak sedikit lebih cepat. Jas itu ia lipat rapi di lengannya, lalu ia beralih ke dasi Roby. Jemarinya menyentuh leher pria itu, terasa hangat dan kuat di balik kerah kemeja. Ia mulai menarik simpul dasi dengan perlahan, membiarkannya melonggar sebelum benar-benar terlepas. Beberapa helai rambut Lidia jatuh mengenai d**a Roby saat ia membungkuk sedikit, membuat jarak mereka semakin dekat. Roby tidak berkata apa-apa, hanya matanya yang mengikuti gerakan Lidia dengan sorot yang sulit dibaca. Begitu selesai, Lidia menaruh jas dan dasi di sofa, lalu mengambil iPad dari tasnya. Ia berdiri di hadapan Roby, kali ini dengan nada lebih formal. "Untuk besok pagi, Anda punya rapat dengan tim proyek pada pukul sembilan. Setelah itu ada makan siang dengan pihak Trinaya Energi. Dan sore harinya, ada conference call dengan cabang Surabaya. Beberapa dokumen juga sudah saya siapkan untuk Anda tanda tangani besok pagi." Roby mengangguk singkat. "Baik. Pastikan semua sudah final sebelum rapat." "Sudah, Pak," jawab Lidia sambil menutup iPad-nya. Suasana hening sejenak. Tidak ada lagi topik formal yang bisa diucapkan, dan keduanya hanya berdiri berhadapan di ruang yang temaram itu. Lampu gantung di atas kepala memantulkan kilau lembut pada rambut Lidia, sementara Roby terlihat lebih santai tanpa jas dan dasi—kemejanya terbuka tiga kancing di bagian atas, memberi celah pada kulit dadanya yang terekspos. Lidia menatapnya lama. Napasnya terasa berat, dan entah keberanian dari mana, ia membuka suara dengan nada rendah. "Saya mencintai Anda, Pak." Alis Roby sedikit terangkat. Tatapannya berubah, namun ia tetap tenang, seolah kalimat itu hanya angin lalu. Lidia melanjutkan, suaranya bergetar halus namun mantap. "Saya tidak tahu sejak kapan… tapi yang jelas, perasaan saya pada Anda lebih dari sekadar seorang atasan." iPad di tangannya ia letakkan di meja. Tanpa memberi Roby waktu untuk merespons, Lidia mengumpulkan seluruh keberaniannya dan melangkah maju, jaraknya kini hanya setengah langkah dari tubuh pria itu. Tangannya terangkat, melingkar di leher Roby, dan sebelum logikanya sempat menghalangi, bibirnya langsung menempel pada bibir pria itu. Awalnya hanya kecupan singkat—ringan, ragu—namun tatapan Roby yang menutup mata membuat Lidia semakin berani. Roby, yang awalnya kaku, perlahan mulai membalas. Tangannya terangkat, menyentuh pinggang Lidia, menariknya lebih dekat hingga tubuh mereka saling menempel. Ciuman itu berubah menjadi dalam dan agresif. Nafas keduanya mulai memburu. Jemari Roby bergerak di sepanjang punggung Lidia, merasakan hangat kulitnya di balik gaun satin yang bagian leher dan bahunya terbuka. Lidia merasakan telapak tangan itu menekan lembut punggungnya, seolah mengunci dirinya di sana. Lidia mengusap pelan sisi wajah Roby, jemarinya menelusuri rahangnya yang keras. Roby sedikit menunduk, memperdalam ciuman, sementara jemarinya kini naik ke tengkuk Lidia, menahan kepala gadis itu agar tidak menjauh. Gaun Lidia berdesir pelan saat tubuhnya bergeser mendekat, kakinya nyaris menyentuh kaki Roby. Kemeja pria itu, dengan tiga kancing teratas terbuka, memberi ruang bagi Lidia untuk merasakan hangat dadanya yang berdebar. Ruang itu sunyi, hanya terdengar napas berat mereka yang bercampur di sela-sela ciuman panas yang semakin intens…
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD