Bab 3

735 Words
Begitu selesai menyapa kedua orang tuanya, Roby kembali meraih pinggang Lidia, seolah gerakan itu sudah menjadi refleksnya setiap kali mereka berjalan bersama di acara publik. Sentuhan tangannya terasa mantap—hangat namun berlapis aura kepemilikan yang sulit dijelaskan. Lidia dapat merasakan telapak tangan Roby menekan lembut di sisi pinggangnya, menuntunnya untuk melangkah sesuai irama langkah sang CEO. Dari luar, itu hanyalah gestur sopan seorang pria yang mendampingi pasangannya. Namun bagi Lidia, setiap sentuhan itu adalah gelombang samar yang membuat napasnya sedikit tertahan. Mereka menyusuri lorong lebar yang dipenuhi cahaya lampu gantung kristal yang berkilau di atas kepala. Lantai marmer mengilap memantulkan bayangan langkah keduanya. Roby sedikit menunduk, sesekali berbicara singkat padanya dengan nada rendah yang hanya bisa ia dengar, memberi arahan ke arah mana mereka harus bergerak untuk menghindari kerumunan. Setiap kali ia berbicara, suara berat itu seolah menyentuh langsung dasar d**a Lidia, membuatnya sulit memisahkan batas antara profesional dan personal. Di tengah perjalanan menuju area tengah ballroom, Roby mempererat pegangan di pinggangnya. Tubuhnya condong sedikit lebih dekat, cukup untuk membuat jarak di antara mereka nyaris tak ada. Lidia bisa mencium aroma maskulin dari parfum Roby—segar, elegan, dan hangat seperti cendana. Jemarinya sempat bergeser sedikit, menelusuri sisi pinggang Lidia dengan gerakan yang sekilas tampak biasa, tapi terasa seperti sengaja menegaskan kehadirannya. “Jangan lepaskan senyum, banyak mata yang memperhatikan,” ucap Roby lirih di dekat telinganya. Napasnya mengusap kulit halus di sana, membuat tengkuk Lidia meremang halus. Mereka bergerak perlahan di antara para tamu, Roby sesekali berhenti untuk menyapa beberapa orang penting. "Pak Arman, senang bertemu lagi," sapa Roby sambil menjabat tangan seorang pria berperawakan tinggi. "Saya sudah membaca laporan terakhir proyek Anda, hasilnya cukup memuaskan." Pak Arman tertawa kecil. "Terima kasih, Roby. Oh, ini sekretaris Anda? Selalu anggun seperti biasa." Lidia hanya tersenyum sopan, sedikit membungkuk. Roby merapatkan genggaman di pinggangnya, lalu menambahkan, "Ya, dia selalu memastikan jadwal saya berjalan rapi. Tanpanya, saya mungkin sudah kacau." Lidia menahan senyum tipis—ada kebanggaan kecil yang menyusup di balik kata-kata Roby, walaupun ia tahu pria itu tidak berniat memberi sanjungan personal. Percakapan-percakapan singkat itu terus berlanjut. Roby bicara soal kerja sama energi, rencana pengadaan mesin, hingga potensi pasar ekspor. Lidia hanya berdiri di sisinya, mengatur waktu, sesekali berbisik mengingatkan soal agenda malam ini. Tangannya tak pernah benar-benar bebas dari genggaman Roby, entah di pinggang, lengan, atau punggungnya—seolah ia adalah bagian dari dirinya. Mereka akhirnya sampai di area utama ballroom—ruang luas dengan karpet merah marun, meja-meja bulat berlapis kain putih elegan, dan lampu-lampu gantung yang memancarkan cahaya hangat. Musik jazz lembut mengalun di udara. Roby mengarahkan langkah ke sisi kanan, namun tiba-tiba pandangannya tertuju pada sosok perempuan yang sedang berbicara dengan sekelompok tamu. Perempuan itu menoleh, tersenyum, lalu melangkah menghampiri. Lidia mengenali wajahnya dari beberapa kali mendengar namanya disebut dalam daftar undangan resmi: Riana Yasinta. Riana tampil memesona malam itu. Gaun satin berwarna emerald hijau membingkai tubuh rampingnya dengan anggun, rambut panjang cokelat gelapnya tergerai dengan gelombang lembut. Sorot matanya tajam tapi ramah, bibirnya melengkung dalam senyum percaya diri. Dia adalah putri tunggal Aditya Yasinta, CEO PT Trinaya Energi—perusahaan penyedia sistem kelistrikan industri yang menjadi salah satu mitra strategis Darma Corps dalam proyek manufaktur besar di wilayah Jawa Barat. “Roby Darmawan,” sapa Riana dengan suara lembut namun berkarisma, “saya tidak menyangka akan bertemu langsung malam ini. Biasanya hanya Ayah yang berurusan dengan Anda.” Roby mengangguk kecil, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Kebetulan malam ini saya hadir untuk menyapa beberapa rekan lama. Senang bisa bertemu Anda, Nona Riana.” Percakapan yang awalnya terdengar formal perlahan berubah menjadi obrolan santai. Riana menceritakan sedikit tentang perusahaannya, proyek terbaru mereka, bahkan menyelipkan beberapa candaan ringan. Lidia memperhatikan dari sisi Roby—ia berdiri di tempat yang sama, masih berada dalam lingkaran lengannya, tapi… ada yang berbeda. Biasanya, Roby hanya akan menjawab singkat atau mencari alasan untuk mengakhiri pembicaraan jika ada wanita yang mencoba mengobrol dengannya. Tapi kali ini? Ia terlihat benar-benar mendengarkan. Sorot matanya sedikit melunak, bahkan beberapa kali tersenyum samar pada ucapan Riana. Lidia merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Perasaan itu datang cepat, seperti dorongan insting yang membuatnya ingin menarik Roby menjauh. Ada percikan kecil—cemburu—yang mulai menyala, meski ia berusaha menekannya. Untuk pertama kalinya, ia melihat Roby bisa “nyambung” dengan seorang wanita selain dirinya. Dan entah kenapa, hal itu membuat udara di sekitar Lidia terasa sedikit lebih berat untuk dihirup.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD