Bab 2

725 Words
Ballroom hotel mewah itu gemerlap oleh cahaya lampu kristal yang berkilauan. Musik lembut mengalun, bercampur dengan riuh rendah suara tamu yang saling bercakap. Begitu Roby dan Lidia melangkah masuk, aroma parfum mahal bercampur dengan wangi bunga segar dari dekorasi memenuhi udara. Roby, yang mengenakan setelan jas hitam dengan potongan sempurna, berdiri di sisi Lidia, tubuhnya menjulang dengan postur percaya diri yang membuat mata banyak orang otomatis terarah padanya. Lidia, di sisi lain, mengenakan gaun malam berwarna biru safir yang jatuh anggun mengikuti lekuk tubuhnya, membuat kulitnya terlihat lebih cerah. Tanpa peringatan, tangan Roby terulur ke pinggang Lidia. Jemarinya yang panjang dan kokoh menyentuh melalui lapisan kain tipis gaunnya, memberi tekanan lembut tapi tegas. Kehangatan dari telapak tangannya segera menyusup masuk, membuat jantung Lidia berdebar sedikit lebih cepat. Bukan kali pertama Roby melakukan ini. Selama tujuh tahun bekerja sebagai sekretarisnya, Lidia sudah berkali-kali ‘dipinjamkan’ perannya sebagai tameng untuk menghindari wanita-wanita yang berusaha mendekatinya. Tapi entah kenapa, sentuhan itu selalu membuat jantungnya berdegup sedikit lebih cepat dari seharusnya. Roby merapatkan jarak di antara mereka. Lengan kirinya tetap melingkari pinggang Lidia, tubuhnya condong sedikit, seakan menandai kepemilikan yang tak perlu dijelaskan dengan kata-kata. “Stay close,” bisiknya pelan di telinga Lidia, nada suaranya dalam dan menggetarkan. Langkah mereka selaras, tapi setiap gerakan Roby seakan disengaja untuk memastikan ia tetap memiliki kendali. Saat mereka melewati beberapa grup tamu yang tengah mengobrol, genggaman di pinggang Lidia mengencang, dan tubuhnya sedikit dimiringkan sehingga punggung Lidia nyaris menempel pada dadanya. Bukan sekali dua kali Lidia merasakan tatapan mata para wanita muda—beberapa putri klien, beberapa kolega—yang menilai, sebagian dengan rasa penasaran, sebagian dengan rasa iri. Roby tampaknya tak peduli, malah mempererat pelukannya di pinggang Lidia, ibu jarinya bergerak kecil seolah memberi sinyal kepemilikan yang tak pernah ia akui secara verbal. Lidia menahan napas setiap kali jemari Roby bergeser. Gerakan itu sederhana, namun bagi dirinya yang sudah bertahun-tahun diam-diam menyimpan rasa, setiap sentuhan terasa lebih intens dari seharusnya. Ia berusaha tetap menjaga senyum profesional, meski di dalam hatinya gelombang rasa gugup bercampur hangat mulai menguasai. Mereka tiba di sudut ruangan, tempat kedua orang tua Roby sedang berdiri menyambut para tamu penting. Papa Roby, Bima Darmawan—Direktur Utama Darma Corps—memiliki postur yang sama gagahnya dengan putranya, namun dengan aura yang jauh lebih serius. Di sebelahnya berdiri Mama Roby, Arlina Wibisana, mantan aktris ternama yang kini tetap memikat meski usia telah melewati lima puluh tahun. Rambutnya tersanggul anggun, senyum hangatnya memancar ketika melihat anak lelaki dan wanita yang berjalan di sisinya. Arlina melangkah maju dan memeluk Lidia tanpa ragu, mengabaikan fakta bahwa acara ini adalah pesta formal. “Lidia, sayang… kamu cantik sekali malam ini,” katanya dengan nada penuh kasih, aromanya yang wangi mawar menyelimuti Lidia. Pelukan itu hangat, berbeda dari sentuhan Roby yang tegas dan menahan, namun keduanya sama-sama meninggalkan efek yang membuat Lidia sedikit kehilangan keseimbangan emosinya. Ia membalas pelukan Mama Roby dengan sopan, tersenyum. Berbeda dengan istrinya, Papa Roby hanya memberikan anggukan singkat pada Lidia, lalu tatapannya langsung beralih pada putranya. “Masih menggunakannya sebagai tameng?” suaranya datar, tapi sarat makna. Roby hanya menaikkan sebelah alis, lalu dengan santai menegakkan tubuhnya, genggaman di pinggang Lidia tidak sedikitpun longgar. “Lebih efektif daripada harus basa-basi yang tidak perlu,” jawabnya ringan. Mama Roby tertawa kecil dan menepuk tangan putranya yang masih berada di pinggang Lidia. “Kalau memang tidak ada wanita lain, kenapa tidak sama Lidia saja? Mama sudah lama setuju kalau dia cocok untukmu.” Ucapan itu membuat Lidia membeku sepersekian detik. Ia bisa merasakan panas merayap ke pipinya, apalagi genggaman Roby di pinggangnya masih terasa jelas. Namun, respon Roby datang cepat, tajam, dan tanpa ragu. “Tidak akan pernah, Ma,” ujarnya dengan nada tegas. “Lidia sekretarisku. Dan akan tetap begitu. Tidak aka nada yang berubah” Papa Roby mengangguk setuju, seolah kalimat itu sudah menjadi kesepakatan lama di antara mereka. “Memisahkan urusan pribadi dan profesional adalah hal yang tepat.” Kata-kata itu menancap di hati Lidia, membuatnya merasakan perih halus yang ia sembunyikan di balik senyum sopan. Tapi meski hatinya sedikit tersentil, ia tetap berdiri tegak di samping Roby, membiarkan tangannya yang hangat dan kokoh masih melingkari pinggangnya, seolah tidak ada yang berubah. Namun, dalam hati, ia sadar—setiap sentuhan yang Roby lakukan malam ini, entah hanya untuk alasan taktis atau bukan, akan tersimpan lama dalam ingatannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD