Bab 1

755 Words
Gaun biru gelap dengan potongan elegan membalut tubuh ramping Lidia Putri dengan sempurna malam itu. Rambutnya yang panjang disanggul setengah, menyisakan beberapa helaian ikal lembut di sisi wajah, menambah kesan anggun tanpa terlihat mencolok. Ia terlihat begitu siap menghadiri perayaan 50 tahun perusahaan tempatnya bekerja—Darma Corps. Namun, sebelum berdiri di tengah sorotan lampu dan lantunan musik pesta, Lidia harus menuju sebuah tempat yang sudah sangat akrab baginya: rumah mewah milik Roby Darmawan, atasannya. Mobil yang membawanya berhenti tepat di depan gerbang hitam keemasan yang menjulang tinggi. Petugas keamanan segera mengenalinya dan membukakan gerbang tanpa pertanyaan. Sudah tujuh tahun Lidia menjabat sebagai sekretaris pribadi CEO Darma Corps. Tak hanya sekadar tahu kebiasaannya, ia bahkan bisa menebak suasana hati Roby hanya dengan mendengar langkah kakinya. Saat tiba di halaman depan rumah bernuansa modern klasik itu, seorang asisten rumah tangga menyambutnya. “Selamat malam, Nona Lidia. Tuan Roby menunggu Anda di lantai atas.” Lidia mengangguk sopan sebelum melangkah menaiki anak tangga marmer yang berkilau. Tablet digital yang ia genggam erat berisi daftar tamu penting untuk malam ini—orang-orang yang harus disapa dan diperhatikan secara khusus oleh Roby. Semua sudah ia persiapkan dengan teliti, seperti biasa. Sesampainya di depan pintu kamar utama, Lidia mengetuk pelan. “Masuk saja,” terdengar suara berat dan datar dari dalam. Ia membuka pintu dan menemukan Roby sedang berdiri membelakangi jendela besar. Ia hanya mengenakan celana panjang dan kemeja putih yang belum dikancingkan. Sinar senja yang menyelinap dari balik tirai menciptakan siluet yang nyaris sempurna di tubuh pria itu. Tanpa menoleh, Roby berbicara, “Pilihkan dasi. Jangan yang mencolok.” Lidia berusaha menampilkan senyum terbaiknya sambil memberikan anggukan, walau sama sekali tidak dilihat oleh atasannya itu. Ia berjalan mendekati rak dasi di sisi lemari, memilih beberapa yang sekiranya cocok dengan setelan jas hitam yang sudah tergantung. Saat ia berbalik hendak menunjukkan pilihannya, tubuhnya hampir saja bertabrakan dengan Roby yang kini berdiri terlalu dekat. Hanya beberapa inci jarak di antara mereka. Lidia membeku sejenak, matanya bertemu dengan dad4 bidang Roby yang belum tertutupi kemeja yang ia kenakan karena memang belum terkancing. Ketika Lidia mendongkak ke atas, tatapan dingin Roby menatapnya seperti biasa, tak menyimpan emosi apapun. Berada pada posisi seperti ini, membuat jantung Lidia berdetak lebih cepat dari biasanya. “Yang abu tua ini akan cocok,” ujarnya pelan, berusaha terdengar tenang di hadapan atasannya itu. Roby mengangguk tipis. “Pasangkan untukku.” Tangan Lidia sempat ragu. Namun, ia maju dan mulai merapikan kemeja Roby serta mengancingkan satu persatu kancing kemeja hingga tidak ada lagi pandangan dad4 telanjang Roby di hadapannya. Kemudian Lidia melingkarkan dasi di leher Roby dengan gerakan hati-hati. Sentuhan ujung jarinya yang tak sengaja menyentuh kulit pria itu serta hembusan nafas yang terasa di wajah Lidia membuat wajahnya memanas, namun ia tetap menjaga ekspresi tenangnya. Sekuat tenaga. Roby menyadari sesuatu. “Kamu gemetar,” ucapnya, nyaris tanpa intonasi. “Saya... hanya sedikit kedinginan,” jawab Lidia cepat. Mengingat gaun yang ia kenakan ini mengekspose area bahu nya. Roby akhirnya hanya memberikan anggukan tanpa berkomentar lagi. Lidia kemudian bergerak mundur setelah selesai memasangkan dasi pada Roby, kemudian ia berjalan menuju tempat jas di gantung lalu mengambilnya dan menyerahkan benda tersebut pada Roby. Setelah mengenakan jasnya, Roby melangkah menuju meja kerja kecil di dalam kamar. Ia duduk, dan Lidia mengikutinya sambil membuka tablet digital di tangannya. Ia menjelaskan satu per satu tamu penting yang akan hadir malam ini—dari mitra bisnis, investor, hingga perwakilan kementerian. Ia bahkan mencatat siapa yang perlu disambut lebih dulu berdasarkan urutan kedatangan. Roby menyimak dalam diam, hanya sesekali mengangguk atau mengernyitkan alis. “Seperti biasa, kamu sudah atur semua dengan baik,” katanya singkat. “Kamu tahu siapa saja yang harus saya perhatikan. Kalau saya lupa... ingatkan sayya.” “Baik Pak. Seperti biasa, saya akan selalu ada di dekat Anda malam ini,” jawab Lidia dengan nada formal. Roby menatapnya sejenak, sebelum berkata dengan nada datar namun nyaris seperti pengakuan: “Saya merasa tenang kalau kamu ada.” Kata-kata itu menusuk hati Lidia lebih dalam daripada yang bisa ia tunjukkan. Ia hanya menunduk, pura-pura mengecek daftar undangan di tabletnya, menyembunyikan gelombang emosi yang tiba-tiba melanda. Setelah beberapa menit, ia menutup tabletnya dan berdiri. “Saya akan turun lebih dulu untuk memastikan semua sudah sesuai. Anda bisa menyusul nanti.” Roby hanya mengangguk, kembali menatap layar ponselnya. Lidia berjalan ke arah pintu dengan langkah ringan, tapi hatinya berat. Sudah tujuh tahun ia berdiri di sisinya. Menjadi sekretaris yang cekatan, profesional, tanpa cela. Namun tetap saja, ia hanya dianggap sebagai bagian dari sistem kerja Roby.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD