4. Tak Yakin Dengan Perasaannya

1488 Words
Tiba di kamar, Fitri menghentikan tangisnya dan dengan santainya duduk di ranjang Anjani yang tampak rapi. “Amit-amit. Amit-amit. Kalau bukan demi lo, Jan, gue nggak akan acting pura-pura putus sama Yoga, deh. Awas aja kalau sampai lo ingkar soal traktir jajan seminggu,” tukas Fitri sembari memukul-mukul kepalanya dan berdoa aktingnya hari ini tidak menjadi kenyataan. “Tapi akting lo jagoan banget, Fit. Cocok deh jadi pemain sinetron di TV ikan terbang,” sahut Ami sembari terkikik. “Enak aja lo.” Fitri yang tak terima diledek menjadi pemain sinetron salah satu TV swasta Indonesia itu melempar bantal ke arah sahabatnya. “Nggak ada yang bagusan sedikit apa? Series di WeTV atau Netflix kek. Malah sinetron yang kalau ketabrak gerobak aja bisa koma.” Anjani dan Ami tergelak keras dengan kesewotan Fitri. “Bisa aja sih, Fit. Tapi lo cocoknya meranin Lidya gimana?” “Lidya Layangan Putus?” “Ya siapa lagi.” Ami tersenyum lebar. “Sialan lo, Mi. Kagak ada peran yang lebih bagus lagi apa buat gue. Ya kali gue jadi pelakor. Nggak deh. Ntar kalau pas gue jalan-jalan ke Mal, gue dijambak ibu-ibu baperan lagi.” Anjani dan Ami kembali tergelak keras. Namun tak lama tawa mereka terhenti setelah mendengar seseorang mengetuk pintu kamar Anjani. “Siapa?” tanya Anjani berjalan menuju pintu. Tanpa menunggu jawaban dari sosok di balik pintu, Anjani memutar kunci dan membuka pintu tersebut tanpa curiga sosok dibaliknya adalah Arjuna. “Saya mau bicara,” ucap Arjuna tanpa basa-basi begitu pintu terbuka. Ia tak tahan dengan sikap Anjani yang terus menghindarinya, maka ia memutuskan menyusul Anjani ke kamar. Mengabaikan raut penasaran dari orang-orang di meja makan. “Nggak ada yang perlu dibicarakan, Om,” tolak Anjani tanpa berpikir panjang. Tangannya pun bergerak ingin menutup pintu, namun Arjuna dengan cepat menahannya menggunakan bahu kokohnya. “Om, Jani nggak mau membuat keributan yang nanti menimbulkan pertanyaan orang-orang.” “Saya hanya ingin bicara, bukan membuat keributan. Kasih saya kesempatan untuk menjelaskan Jani.” Arjuna kembali memohon dan berhasil membuka pintu kamar lebih lebar. “Menjelaskan apa?” tantang Anjani menatap paman tirinya dengan marah. Sebisa mungkin ia tidak berteriak karena tidak ingin membuat kehebohan, mengingat keluarganya masih berkumpul di ruang makan. “Menjelaskan apa, Om? Menjelaskan kalau kejadian enam tahun hanya sebuah kesalahan, begitu?” Kali ini suara Anjani terdengar bergetar. Gadis itu bahkan merasakan tremor di jari-jari tangannya karena emosi yang tak bisa dilampiaskan. Arjuna bergeming di tempatnya. Memandangi wajah sendu Anjani yang menatapnya penuh amarah dan kecewa. Semua salahnya. Salahnya yang telah membuat Anjani terluka. Salahnya yang tak bisa bersikap gentle selayaknya pria dewasa. “Maafkan saya, Jani,” ucap Arjuna akhirnya. “Saya salah. Tidak seharusnya memang saya pergi begitu saja waktu itu. Tapi saya ….” “Om nggak salah,” sergah Anjani memotong kalimat sang paman. “Jani yang salah. Seharusnya Jani bisa mengontrol diri waktu itu.” “Jani ….” Arjuna seolah kehilangan kata-kata. Ia sungguh tidak tega menyaksikan Anjani yang menyalahkan diri sendiri atas kejadian masa lalu. Jika saja situasi memungkinkan, ia ingin merengkuh tubuh mungil yang dulu kerap memeluknya lebih dulu. Membisiki kata-kata penenang, agar gadis itu tak lagi marah padanya. “Sudah ya, Om. Jani mau siap-siap pergi.” Tanpa menunggu jawaban Arjuna, Anjani menutup pintu kamarnya. Sementara itu, Arjuna dengan gontai melajukan tungkai kembali menuju lantai satu. Membiarkan Anjani sementara waktu. Dan ia akan kembali mencoba mencari waktu yang tepat untuk bisa berbicara kembali dengan Anjaninya. “Om, Jani nggak mau panggil Om Ar. Mulai sekarang Jani mau panggil Om Juna aja.” “Kenapa memangnya?” “Supaya nama panggilan kita mirip. Juna dan Jani. Boleh kan, Om?” “Boleh, Jani.” “Makasih ya, Om. Jani sayang Om Juna. Selamanya.” Arjuna masih sangat mengingat percakapan singkatnya itu dengan Anjani yang kala itu tengah merayakan hari ulang tahunnya ke lima belas. Ia sama sekali tidak keberatan dengan nama panggilan yang diberikan Anjani padanya. Justru ia merasa spesial. Hingga ia menggunakan nama Juna untuk nama klinik giginya—Juna Dental Care. … Anjani bersama kedua sahabatnya menghabiskan malam minggunya di sebuah kafe yang menyuguhkan pertunjukkan musik. Ketiganya larut mengikuti suara penyanyi yang tengah mengalunkan lagu-lagu galau, yang seolah mengerti apa yang kini tengah dirasakan Anjani. Fitri dan Ami saling berpandangan mendapati Anjani yang begitu mengkhayati Jangan Rubah Takdirku milik Andmesh. Mengikuti suara penyanyi di atas panggung sana. Tuhanku cinta dia Kuingin bersamanya Kuingin habiskan, nafas ini berdua dengannya Jangan rubah tadirku Satukanlah hatiku dengan hatinya Bersama sampai akhir “Biasa aja kali, Jan, nyanyinya. Mengkhayati banget deh,” ledek Fitri diakhir lagu. “Tahu nih. Udah enam tahun lho, Jan. Masa kamu belum move on juga sih, dari si Om.” Ami mengimbuhi. Namun bukan untuk meledek. Ami benar-benar menginginkan sahabatnya move on dari masa lalunya. Karena ia sendiri tak tega, melihat Anjani yang selalu menghindar ketika seorang laki-laki berusaha mendekati sahabatnya itu. Anjani yang tengah meneguk jus lemonnya mendelik tajam kepada kedua sahabatnya. Namun ia sama sekali tidak marah. Ia sudah kebal dengan berbagai nasihat yang diberikan Fitri dan Ami padanya untuk mengubur perasaan cintanya pada sang paman—Arjuna. Tetapi mau bagaimana, ia merasa tidak mampu melakukannya. Karena semakin ia berkeras melupakan Arjuna, berbagai kenangan bahagia yang ia lewati bersama Arjunanya kian melekat diingatan. Ia pun lelah dengan perasaannya sendiri. Karena ia tahu, sampai kapan pun Arjuna tidak akan pernah menjadi miliknya. Pertama, Arjuna adalah bagian dari keluarganya. Meski hanya sebatas paman tiri. Kedua, jarak umur mereka yang terpaut jauh. Selamanya, Arjuna pasti akan menganggapnya seperti anak kecil. Dua hal di atas tentu sudah sangat cukup untuk membuat keluarganya menolak mentah-mentah andai benar ia menjalin hubungan dengan Arjuna. Dan satu hal lagi yang selama ini menjadi pertanyaan besar di kepala Anjani. Apakah Arjuna pernah menyayanginya bukan sebagai keponakan tiri? Anjani yakin Arjuna menyayanginya. Namun ia yakin jenis kasih sayang macam apa yang dimiliki Arjuna padanya. Jelas bukan kasih sayang ketertarikan antar lawan jenis. Tiga fakta di atas seharusnya sudah lebih dari cukup membuat Anjani bertekad melupakan Arjuna. Namun sayangnya, hingga perbincangannya tadi siang di depan kamar pribadinya dengan pria itu. Anjani sadar, perasaannya pada Arjuna masih sekuat enam tahun lalu. Meski kenyataan sudah menamparnya berkali-kali. Arjuna menolaknya tanpa penjelasn. Arjuna telah berkeluarga. Dan Arjuna sudah pasti tidak pernah mencintainya. “Woi, Jan.” Fitri menepuk lengan Anjani yang sedari tadi melamun. “Kok malah melamun sih! Ayo, dong nyanyi lagi! Kita ke sini kan mau senang-senang. Mumpung gue sama Ami lagi libur barengan nih.” Rungu Anjani menangkap kini para personil band tengah mengiringi penyanyi membawakan lagu Peri Cintaku—Ziva Magnolya setelah sempat break selama beberapa saat. Lagu yang juga mewakili perasaannya. Dan Anjani tersenyum, namun ia tak berniat beryanyi lagi. “Makasih ya, kalian udah selalu ada buat gue,” ucap Anjani pada kedua sahabatnya. Anjani merasa sangat bersyukur, meski dalam hal percintaan ia bisa dikatakan gagal. Namun ia memiliki kedua sahabat yang benar-benar menyayanginya. Padahal mereka bersahabat belum terlalu lama. Anjani, Fitri dan Ami bertemu pertama kali saat mereka mengenyam pendidikan keperawatan. Ketiganya menjadi akrab karena kerap mengerjakan tugas bersama atau menghabiskan waktu istirahat. Terlebih arah rumah mereka yang searah, membuat ketiganya kerap pulang bersama dan membuat hubungan ketiga sahabat itu menjadi semakin akrab. Dan tak segan untuk berkorban satu sama lain. “Lo kayak sama siapa aja, Jan,” tukas Ami. Ia tak segan membantu kedua sahabatnya karena baik Fitri maupun Anjani juga selalu siap siaga setiap ia membutuhkan bantuan. “Ya gue ke siapa lagi kalau mau minta tolong kalau bukan ke kalian. Timbang akting pura-pura putus sih, hal sepele buat Fitri. Iya nggak, Fit?” Ami tersenyum meledek pada Fitri. “Sialan lo, Mi. Ini kan ide lo. Awas aja kalau gue sama Mas Pacar putus beneran, lo mesti tanggung jawab!” ancam Fitri dengan memasang wajah serius. “Enak aja. Kalau memang udah takdirnya putus gimana coba? Yang nikah aja bisa cerai, Fit, apalagi cuma pacaran,” sahut Ami. “Bentar-bentar, ngomong-ngomong soal cerai.” Air muka Fitri kini nampak serius dari sebelumnya. Gadis itu bahkan mencondongkan tubuhnya ke tengah meja. Ia menatap Anjani dan Ami secara bergantian sebelum kembali berbicara, “kenapa kita nggak bikin Om Juna cerai sama istrinya aja, biar Om Juna bisa balik sama kamu, Jan,” ujar Fitri mengutarakan ide konyolnya. “Gila lo, Fit!” seru Ami jengkel seraya melemparkan gulungan tisu bekas pada Fitri yang ditepis dengan mudah oleh gadis itu. “Jangan didengerin ide gilanya Fitri, Jan. Ada-ada aja. Dasar sinting!” “Gue kan cuma kasih saran aja,” dalih Fitri dengan ringisan lebar tanpa rasa bersalah. “Masalahnya, gue sendiri nggak yakin. Begitu Om Juna pisah sama istrinya, apakah dia benar-benar akan sama gue? Gue nggak yakin kalau Om Juna memiliki perasaan yang sama seperti perasaan gue ke dia, Fit, Mi. Jadi gue rasa percuma kalau sampai kita susah-susah buat Om Juna pisah sama istrinya, kalau pada akhirnya, Om Juna tetap nggak bisa menjadi milik gue.” Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD