5. Sebuah Dilema

1242 Words
Anjani tiba di rumah pukul sepuluh malam. Dan tentu saja, rumah sudah dalam keadaan sepi begitu ia menginjakkan kaki di ruang tamu. Ia bahkan menemukan sebagian lampu sudah dipadamkan. “Baru pulang, Nak?” Anjani yang awalnya akan langsung menuju kamar, menemukan Suseno tengah membaca sebuah buku di ruang keluarga. Ia pun mendekat dan duduk di samping sang papa setelah sebelumnya menyalami pria itu. “Papa kok belum tidur?” tanya Anjani, merebahkan kepalanya pada d**a sang papa. “Jani kan sudah chat tadi kalau nggak usah ditungguin.” “Mana bisa Papa tidur kalau anak gadis Papa belum sampai di rumah.” Suseno mengusap lembut kepala sang puteri. Rasanya, Anjani tumbuh terlalu cepat. Ia masih ingat saat malam-malam menggantikan popok Anjani bayi yang mengompol dan buang air besar. Masih ingat dengan jelas pula, saat pertama kali ia mengajarinya bersepeda. Juga mengajari mengendarai motor. Sekarang bahkan sang puteri sudah sangat mandiri. Tidak pernah lagi meminta uang jajan padanya. Bahkan setiap bulan ia tahu, Anjani rutin membelanjakan kebutuhan rumah. Sebagai ayah, Suseno sangat bangga dengan pencapaian puterinya saat ini. Anjani tumbuh menjadi sosok wanita mandiri yang tidak pernah mengandalkan siapa pun termasuk dirinya. Namun ada satu hal yang kadang mengganggu pikirannya. Hingga Anjani berumur 24 tahun, puterinya itu belum sekali pun memperkenalkan seorang pemuda, baik padanya maupun pada Sinta. Bukan berarti Suseno menginginkan puteri semata wayangnya menjalin hubungan dengan sembarang pemuda. Ia hanya khawatir ketakutannya menjadi kenyataan, jika sang puteri memiliki trauma masa lalu, yang membuatnya enggan menjalin hubungan dengan pemuda manapun. Ia semakin khawatir jika hal ini berkaitan dengan Arjuna. “Papa kok melamun?” Anjani mendongak mengamati wajah sang papa yang nampak sedang berpikir. “Sampai berkerut-kerut begini. Papa mikirin apa sih?” Anjani mengusap kening sang papa yang berlipat-lipat. Suseno memandang sang puteri dengan tatapan teduhnya. Ia tersenyum kecil sebelum mendaratkan kecupan ringan pada pelipis Anjani. “Anak Papa sudah dua puluh empat tahun. Sudah sangat dewasa dan mandiri,” gumamnya. Anjani menyipitkan pandangan. Nampak aneh dengan sikap sang papa malam ini. Namun ia tidak bisa menebak apa sebenarnya yang membuat sang papa serisau sekarang. Lalu ia teringat kado untuk sang papa yang ia beli sebelum ia dan sahabatnya tiba di kafe. Sebuah jam tangan berwarna silver yang ia pikir sangat cocok dikenakan sang papa ketika bekerja. Papa Suseno memang bukan seorang pengusaha kaya raya, atau punya jabatan mentereng di sebuah perusahaan. Papanya hanyalah seorang PNS di kantor kecamatan dengan gaji yang cukup untuk menghidupi keluarga kecilnya. Anjani tentu bersyukur terlahir di tengah keluarga rukun yang saling menyayangi. “Ini untuk Papa,” ucap Anjani menyerahkan bungkusan kado yang ia ambil dari dalam tas. Suseno menerima kado tersebut dengan senyum mengembang sembari menggumamkan terima kasih. “Maaf, Jani lupa kalau hari ini Papa ulang tahun, jadi telat kasih kadonya.” “Nggak apa-apa, Sayang. Terima kasih ya, sudah menyempatkan beli kado buat Papa.” Suseno mengusap lembut kepala sang puteri. Anjani pun akhirnya pamit menuju kamarnya. Ia ingin segera merebahkan tubuhnya yang terasa lebih letih dari biasanya. Semua gara-gara Arjuna yang dengan tanpa perasaan berdosa datang ke rumahnya dan memaksanya untuk berbicara. Om Juna, nyebelin! … Satu kesimpulan yang didapat Arjuna ketika akhirnya bisa berbicara langsung dengan Anjani siang tadi. Anjani masih mencintainya. Ia yakin itu. Dan hal tersebut justru membuatnya semakin merasa bersalah. Tidak seharusnya Anjani yang masih muda, cantik dan cukup sukses mencintai pria tua seperti dirinya. Anjani jelas, sangat layak dicintai seorang pria yang jauh lebih baik darinya dan lebih sukses tentunya. Arjuna menghela napas, ia menoleh pada Anggita—istri kontraknya yang kini menyusulnya ke rumah ibu. Rencananya rupanya gagal. Awalnya ia pikir dengan menikahi Anggita akan membuat Anjani membencinya, dan melupakan perasaan cinta yang dimiliki untuknya. Namun faktanya, siang tadi ia justru mendapati kenyataan yang membuatnya layak disebut sebagai pengecut. Pengecut karena enam tahun lalu ia memilih kabur dari pernyataan cinta Anjani. Bukan memberi pengertian pada gadis itu, jika tak seharusnya Anjani mencintainya. Arjuna kembali menghela napas lantas menatap jam yang terpasang pada dinding di atas kabinet TV. Sudah pukul sebelas malam, dan ia belum merasakan kantuk sama sekali. Padahal ia memiliki jadwal praktik pagi di RSUD sebelum praktik di klinik pribadinya. “Masih kepikiran Anjani?” Anggita yang sejak tadi memejamkan mata namun tidak benar-benar tidur bertanya. Namun wanita itu masih setia dengan posisinya memunggungi Arjuna. Arjuna menoleh, sedikit terkejut dengan pertanyaan yang terlontar dari bibir sang istri. Ia pikir Anggita sudah tertidur. Rupanya, meski dengan posisi memunggungi, Anggita tahu jika dirinya belum bisa terlelap karena masih memikirkan pertemuannya dengan Anjani siang tadi. “Kenapa dulu kamu nggak jujur saja pada Anjani? Mungkin meminta waktu pada Anjani sampai dia benar-benar dewasa sebelum kalian jujur pada keluarga kalian,” ujar Anggita pelan. “Tidak semudah itu, Git. Bisa jadi semua tambah rumit begitu kami mengutarakan perasaan kami dulu.” “Lalu apa bedanya dengan sekarang? Kalian saling mencintai tapi tidak bisa memperjuangkan perasaan kalian. Terlebih kamu, Ar. Seharusnya bisa lebih tegas dan berani mengambil keputusan. Bukan pergi begitu saja, tanpa menjelaskan apapun pada Anjani,” tukas Anggita. Ia gemas sendiri melihat kisah cinta Arjuna dan Anjani. Saling mencintai, namun tak bisa memperjuangkan. Lebih-lebih pada Arjuna yang seenaknya pergi. Jika ia berada di posisi Anjani, ia juga tak akan sudi mengenal Arjuna lagi. Arjuna menghela napas kesekian kali. Pria itu menoleh pada Anggita yang masih setia memunggunginya. “Saya pikir dengan menikah denganmu, Anjani bisa melupakan perasaannya pada saya, Git,” ujar Arjuna lemah. Anggita yang terlalu gemas dengan Arjuna memutuskan duduk menghadap pria itu. “Tapi kenyataannya Jani masih menyimpan perasaan itu kan, Ar? Ditambah Jani juga membenci kamu sekarang. Aku pernah di posisi Anjani kalau kamu lupa. Dan sangat sulit bagi kami melewati semuanya.” Arjuna terdiam. Ia sempat mendengar jika Anjani pernah mengurung diri di kamar setelah peristiwa itu. Sungguh saat itu pun, ia ingin pulang dan menenangkan Anjaninya. Sayangnya ia takut pertahanan dirinya runtuh. Ia takut tak bisa mengendalikan perasaannya dan berakhir mengacaukan semuanya. Baginya, perasaan CINTA antara dirinya dan Anjani terlalu TABU untuk diperjuangkan. Ada dinding tak kasat mata yang begitu terjal yang menghalangi hubungan mereka, bernama status keluarga. “Aku bisa membantumu kalau kamu ingin memperjuangkan Anjani, Ar.” Anggita berbicara sungguh-sungguh, meski itu artinya, ia harus mengubur perasaannya sendiri. Enam tahun menjadi istri kontrak seorang Arjuna, bohong jika ia tak memiliki perasaan sedikit pun pada pria itu. Tampilan fisik Arjuna begitu maskulin. Bahunya kokok dan lebar. Perutnya memang tidak berbentuk kotak-kotak, tapi juga tidak buncit karena Arjuna cukup rutin berolahraga. Belum lagi tutur kata Arjuna yang begitu terkontrol. Selama menjadi istrinya, Anggita belum pernah mendengar Arjuna berteriak. Dengan segala pesona yang dimiliki Arjuna, tentu ia tidak bisa untuk tidak jatuh cinta pada pria itu. Namun sejauh ini ia cukup sadar posisinya. Jika ia hanya sebatas istri kontrak yang jika Arjuna menginginkan perpisahan, maka ia tak bisa berbuat apa-apa selain setuju. Bersyukur, ia dulu diselamatkan Arjuna dari keberengsekkan sang pacar yang tidak bersedia bertanggung jawab atas kehamilannya. “Tidak, Git. Saya dan Anjani akan tetap menjadi keluarga sampai kapan pun,” ujar Arjuna dengan keyakinan penuh. “Kamu yakin dengan apa yang baru saja kamu katakan, Ar?” “Ya.” Arjuna mengangguk cepat. “Kamu tentu tahu tujuan kepulangan saya ke sini, Git. Saya ingin memperbaiki hubungan kami. Tidak mungkin selamanya kami akan seperti ini, sedangkan status kami adalah keluarga.” “Keluarga tanpa ikatan darah, Ar,” ucap Anggita mengingatkan. “Dan kalian sangat diperbolehkan untuk bersama, karena secara hukum dan agama kalian tidak melanggar apapun.” Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD