Mata Aluna melebar saat pintu terbuka, menunjukkan Kaivan yang melangkah ke arahnya. Bukankah tadi Kaivan mengatakan dia akan pergi? Apakah Kaivan hanya membohonginya? batin Aluna.
Aluna merasa gugup dan canggung apalagi saat melihat Kaivan membuka pakaiannya.
“Ta– tadi kau bilang kau akan–”
“Aku berubah pikiran,” potong Kaivan. Ia lalu masuk ke dalam bak mandi setelah seluruh pakaiannya terlepas membuat tubuh Aluna gemetar melihat bagian tubuhnya di bawah perut yang berdiri tegak.
Air dalam bak lumer, jatuh membasahi lantai saat Kaivan telah ikut berendam. Posisinya saat ini berada di seberang posisi Aluna.
Aluna menelan ludah saat ia memutuskan menyelesaikan acara berendamnya. Ia pikir lebih baik ia segera pergi.
“Ka- kalau begitu aku–”
Belum selesai Aluna bicara saat ia hendak berdiri tatapan Kaivan menjadi begitu datar.
“Duduk!” perintah Kaivan.
Tubuh Aluna menegang hingga kaku. Ia lalu kembali pada posisinya duduk.
Aluna menundukkan kepala tak berani menatap Kaivan. Namun, tiba-tiba saja Kaivan berdiri dan mengambil langkah ke arahnya. Bak mandi itu besar, Kaivan mengambil 2 langkah kaki pendek hingga berdiri tepat di depan Aluna.
“Lihat aku,” titah Kaivan.
Aluna menelan ludah susah payah. Ia tahu Kaivan berdiri tepat di depannya. Jika ia mengangkat kepala dan menatap Kaivan, itu artinya ia akan melihat semuanya. Namun, pada akhirnya Aluna menuruti perintah. Ia mengangkat kepala menatap Kaivan yang berdiri menjulang di depannya. Dan seperti yang ia duga, dengan posisi ini ia melihat sepenuhnya tubuh depan Kaivan juga sesuatu yang tegak menunjuk wajahnya.
Hari telah siang saat Aluna dan Kaivan keluar dari kamar mandi di mana Aluna berada dalam gendongan suaminya itu. Kaivan menggendongnya ala bridal style, dan membaringkannya ke ranjang dengan hati-hati. Tak perlu dijelaskan apa yang telah mereka lakukan sebelumnya, sudah jelas memuaskan hasrat Kaivan yang sama seperti Aluna, ia juga baru merasakan indahnya bercinta tadi malam.
Tubuh Aluna begitu lemas sampai-sampai ia terus memejamkan mata sejak dirinya terbaring di ranjang. Kaivan benar-benar memonopoli dirinya seakan seluruh sendi tubuhnya nyaris lepas.
Kaivan menatap tubuh istrinya sejenak sebelum menyelimutinya, memandang indah tubuh Aluna yang telah ia ukir dengan kissmark. Ia kemudian berbalik dan melangkah keluar kamar hanya dengan memakai handuk yang melilit pinggang.
Tak lama kemudian, Kaivan kembali dengan dua potong sandwich di atas piring dan segelas s**u. Ia meletakkan nampan berisi sarapan itu ke atas nakas kemudian memandangi Aluna yang sepertinya tertidur pulas.
Kaivan duduk di tepi ranjang tanpa melepas perhatian dari Aluna. Entah apa yang ia pikirkan, tapi tiba-tiba tangannya terulur hendak membeli wajah ayunya itu. Namun, gerak tangannya terhenti saat Aluna seperti akan membuka mata.
Aluna membuka matanya perlahan dan merasakan langit ruangan seperti berputar.
Kaivan menarik kembali tangannya lalu mengambil nampan yang sebelumnya ia letakkan. Ia lalu kembali duduk dan menyuruh Aluna bangun.
“Saatnya sarapan.”
Perhatian Aluna jatuh pada Kaivan. Ia memang lapar, karena itu lah ia terbangun.
Aluna memegangi kepalanya yang berat saat ia berusaha menegakkan punggungnya. Melihat itu, Kaivan membantunya duduk dan meletakkan bantal di belakang punggung sebagai sandaran.
“Jam berapa sekarang?” tanya Aluna segan suara parau.
“Sebelas,” jawab Kaivan. Ia lalu memberikan sepotong sandwich pada Aluna.
Aluna menatap sandwich yang Kaivan berikan sejenak. Ia lalu menerimanya dengan tangan gemetar lalu memakannya tak sabaran. Ia benar-benar kelaparan.
Tak lama, Aluna telah menghabiskan sepotong sandwich buatan Kaivan. Ia lalu meminum segelas s**u yang Kaivan berikan.
“Mau lagi?” tanya Kaivan setelah Aluna menghabiskan segelas susunya. Ia lalu memberikan sandwich bagiannya.
Aluna menatap sandwich itu dan Kaivan bergantian. Ia lalu menerimanya dan kembali memakannya.
Kaivan menatap Aluna dalam diam, menyaksikan wanita itu begitu lahap seperti sangat kelaparan. Entah karena belum pernah memakan makanan itu, atau karena benar-benar lapar.
“Terima kasih. Ini sangat enak,” ucap Aluna setelah menghabiskan sandwich kedua dan membersihkan mulutnya. Ia cukup malu karena mungkin Kaivan akan menganggapnya rakus, tapi ia benar-benar lapar karena tidak makan sejak semalam dan Kaivan telah menguras tenaganya.
Kaivan hanya diam di mana perhatiannya tertuju pada sudut bibir Aluna. Ia lalu mendekatkan wajahnya dan menjilat sudut bibir Aluna hingga membuat Aluna melebarkan mata.
Aluna terpaku saat Kaivan mengambil jarak lalu menyapu bibirnya dengan ibu jari.
“Manis,” ucap Kaivan setelah menikmati sisa saos di sudut bibir Aluna.
Jantung Aluna berdebar melihat bagaimana Kaivan melakukan itu. Pria tampan itu terlihat begitu seksi saat mengatakannya. Tapi, manis? Bagaimana bisa saos pedas terasa manis?
Kaivan bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju walk in-closet untuk memilih pakaian. Setelah ia memakai panjang celana dan kaos, ia kembali pada Aluna sambil membawa baju untuknya.
“Pakai ini,” kata Kaivan seraya memberikan apa yang ia bawa pada Aluna. Ia bukan hanya memberi Aluna kaos dan rok, tapi juga bh dan CD.
Aluna terkejut melihat pakaian yang Kaivan sodorkan. Ia berpikir, itu punya siapa?
“Ini baru. Sesuai ukuran tubuhmu,” ucap Kaivan. Mendengar itu sontak Aluna begitu terkejut hingga menatap Kaivan.
“Bagaimana bisa–”
“Jangan banyak tanya. Pakai saja.”
Aluna hanya diam lalu menerima pakaian yang Kaivan berikan. Meski ia penasaran, tapi ia pikir lebih baik diam.
Setelah Aluna menerima pakaiannya, Kaivan membawa nampan dan gelas yang sudah kosong menuju dapur, meninggalkan Aluna sendirian.
Aluna menatap pintu kamar yang luas itu dalam diam. Ia bertanya-tanya, seperti apa Kaivan sebenarnya? Dia bak seorang penculik, tapi memperlakukan sanderanya dengan baik.
Sesampainya di dapur, Kaivan langsung mencuci piring bekas dan gelas. Ia kemudian duduk di kursi meja makan dan membuat sandwich untuknya. Tanpa sadar sesekali ulu hati Kaivan mencelos teringat bagaimana Aluna mengerang di bawahnya, bagaimana ia menggauli istrinya itu seperti singa lapar, dan bagaimana dirinya begitu puas setelah permainan mereka.
Kaivan meminum segelas s**u setelah sandwichnya habis. Ia kemudian bangkit dari duduknya dan kembali menyusul Aluna di kamar. Sesampainya di sana, ia melihat Aluna telah memakai pakaiannya.
Kaivan berjalan menghampiri Aluna hingga akhirnya berdiri di sisi ranjang.
“Kau mau aku apakah pria itu?” tanya Kaivan. “kau mau dia mati mengenaskan? Atau, menjadi gelandangan?”
Aluna cukup terkejut mendapat pertanyaan demikian.
“Kau … mau membunuhnya?” tanya Aluna dengan suara pelan.
“Kau mau aku jadi pembunuh?”
Aluna menggeleng. Tentu saja tidak. Meski ia tak mengenal Kaivan, tapi status Kaivan sekarang adalah suaminya. Bisa-bisa dirinya akan terseret kasus hukum jika Kaivan membunuh Aldo.
“Sebelum itu, boleh aku tahu sesuatu?” tanya Aluna dengan hati-hati.
Kaivan hanya diam tanpa melepas perhatian dari Aluna.
“Kenapa … kenapa kau mau membantuku? Kenapa aku harus jadi istrimu,” ucap Aluna. Ia merasa ada yang aneh, jika niat Kaivan hanya untuk membeli tubuhnya, tak perlu ada pernikahan. Kaivan juga tak perlu menawarkan bantuan untuk membalas dendam.
Kaivan hanya diam, lalu tangannya terulur meraih dagu Aluna dan sedikit mengangkatnya membuatnya setengah mendongak.
Pandangan Aluna sepenuhnya tertuju pada jelaga Kaivan yang menatapnya, seakan terkunci hingga dirinya tak bisa bergerak atau mengalihkan pandangannya sedetikpun. Dan saat Kaivan membuka mulut mengatakan satu kalimat, Aluna hanya bisa melebarkan mata.