3. Derita Aluna

1444 Words
"A- apa maksud semua ini?” Aluna bertanya pada Kaivan yang duduk tenang di sebelahnya. Saat ini ia dan Kaivan duduk berdampingan, berhadapan dengan dua orang di depannya juga dua di sisi kanan dan kirinya. Kaivan menoleh pada Aluna lalu mengatakan, “Sudah kukatakan, semua yang aku katakan adalah hal mutlak yang harus kau patuhi. Kau harus menikah denganku.” Mata Aluna melebar selebar-lebarnya. Menikah? Dengan pria yang baru saja ia kenal? Ah, tidak, mereka bahkan tidak berkenalan. “Tidak!” ucap Aluna lantang saat ia berdiri. “aku, tidak akan menikah denganmu.” Kaivan hanya diam kemudian berdiri dari duduknya lalu mencengkram tangan Aluna dan menyeretnya ke tempat lain. Ia membawanya ke kamarnya. Aluna tak bisa mengelak saat Kaivan terus menarik tangannya. Cengkraman Kaivan begitu kuat membuat pergelangan tangannya perih dan merah. “Akh!” Aluna meringis saat Kaivan melepas cengkramannya dengan kasar setelah mereka telah memasuki sebuah kamar. “Apa yang membuatmu berubah pikiran,” ucap Kaivan seraya memberi tatapan suram pada Aluna. “Aku bersedia melakukan apapun asal kau memenuhi keinginanku, tapi tidak dengan menikah,” ucap Aluna tegas. “aku tidak akan menikah dengan orang asing, orang yang tidak aku kenal,” pungkasnya. Mata Aluna melebar saat tangan Kaivan tiba-tiba terulur, berhenti di belakang kepalanya lalu menariknya ke arahnya sementara pria itu setengah membungkuk dan mempertemukan bibir mereka. Mata Aluna membulat sempurna merasakan tekanan bibir Kaivan pada bibirnya. Dalam sepersekian detik dirinya kehilangan kesadaran, terkejut atas perlakuan Kaivan yang tiba-tiba. Ia baru tersadar saat Kaivan kian menekan kepala belakangnya juga bibirnya bahkan berniat menelusupkan lidahnya. Aluna mendorong Kaivan sekuat tenaga, kepalanya menggeleng agar ciuman mereka terlepas. Dan usahanya itu berhasil, Kaivan akhirnya melepas pertemuan bibir mereka dan mengambil jarak. Aluna mengusap bibirnya kasar, wajahnya memerah sempurna. Bukan karena menikmati ciuman mereka melainkan karena ia marah. Kaivan mengusap bibirnya yang basah menggunakan ibu jari. Alih-alih marah dengan pemberontakan Aluna, dirinya justru merasa tertarik dan tertantang. “Kita sudah saling mengenal sekarang, bibir kita telah saling merasakan. Kau hanya punya dua pilihan, Aluna Riana. Menjadi wanita penurut maka aku akan menjadi pelindungmu, atau sebaliknya dan aku akan jadi orang kesekian selain pacarmu, juga adik dan ibu tirimu yang akan membuatmu menderita sampai kau berpikir mati mungkin lebih baik,” ucap Kaivan dengan pandangan menatap lurus pada netra Aluna. Aluna terdiam, matanya pun tak berkedip, seakan-akan terhisap pada jelaga Kaivan yang menatapnya. Tubuhnya bahkan seolah tak sanggup bergerak. Kata-kata Kaivan terus terngiang terlebih saat pria itu mengatakan akan menjadi orang kesekian yang akan membuatnya menderita. Sebulir keringat menetes melewati pelipis Aluna. Bisakah ia memilih untuk tidak memilih? Kaivan membelai wajah Aluna membuat Aluna merinding seakan tangan dingin Kaivan adalah sebuah katana yang begitu tajam. Keringat Aluna sampai pada ujung dagu, dan saat ia menelan ludah, setetes keringatnya itu pun jatuh. “Waktumu hampir habis. Jika itu terjadi, kau akan kehilangan belas kasihku. Tidak ada permintaan, dan aku, akan membuatmu hidup seperti di neraka,” bisik Kaivan di akhir kalimat tepat di telinga Aluna. Aluna menunduk sambil menggigit bibir bawahnya sementara kedua tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya. Pilihan apa yang harus ia ambil? Tetes demi tetes air jatuh dari ujung dagu Aluna, berasal dari ujung mata serta keringat. Mengusap wajahnya yang basah, ia mengangkat kepala menatap Kaivan dan mengatakan, “Aku … aku akan melakukan apapun, termasuk menikah denganmu. Tapi, buat mereka menderita, buat mereka menyesal seumur hidup mereka.” Kaivan tak mengalihkan pandangannya di mana raut wajahnya pun tak berubah. Namun, seringai yang begitu tipis tercipta kala ia menuntun Aluna keluar untuk dinikahinya. Aluna berjalan dengan pasrah, mengikuti setiap langkah Kaivan hingga ia kembali ke tempat sebelumnya di mana sudah menunggu penghulu, wali hakim dan saksi yang akan mengantarnya melangkah ke kehidupan baru bersama pria yang baru ditemuinya. Sementara itu di tempat lain …. “Bagaimana, Bu?” Flora bertanya pada sang ibu yang baru saja menerima surat-surat dari pengacaranya. Surat berupa sertifikat tanah juga beberapa aset yang telah resmi menjadi miliknya. Padahal, beberapa di antaranya adalah hak Aluna. Desi tersenyum puas menatap lembaran kertas di tangan. “Semua beres. Semua harta ayahmu sudah atas namamu dan ibu,” ucap Desi tanpa bisa melunturkan senyum liciknya. Beberapa Minggu yang lalu dirinya berhasil memaksa Aluna menandatangani kertas kosong yang dimanfaatkannya untuk merebut semua miliknya. Sekarang, Aluna telah kehilangan warisan ayahnya termasuk rumah. Flora ikut tersenyum puas. Dirinya merasa di atas angin sekarang karena telah berhasil menghancurkan hidup Aluna dan merebut haknya. Desi mengeluarkan uang yang sudah ia simpan sebelumnya dan meletakkannya ke atas meja di depan pengacaranya. “Ini untukmu. Terima kasih,” ucapnya. Pria berwajah picik itu mengambil segepok uang yang Desi berikan padanya kemudian menghitungnya. “Hm, sesuai perjanjian. Lain kali jika butuh sesuatu, katakan saja padaku,” kata pengacara itu kemudian memasukkan bayarannya ke dalam tas. “Oh, tentu saja. Kau sangat membantu dan bisa diandalkan,” kata Desi sambil mengeringkan mata. Pria itu tertawa kemudian undur diri untuk pulang. Setelah ia pergi, Desi dan Flora tak bisa menahan kesenangan. Mereka melempar lembaran sertifikat ke udara bak uang sambil menari-nari. “Sekarang kita punya segalanya.” “Dan aku tidak perlu berbagi dengan Aluna bodoh itu.” Desi dan Flora saling berpegang tangan lalu berdansa tanpa iringan musik terdengar. Namun, sama sekali tak mengurangi keceriaan di wajah keduanya. Setelah merasa lelah, keduanya terduduk di sofa dan kembali menatap sertifikat yang berceceran. “Untung saja ayahmu sudah mati, Flo. Jika tidak, kita tidak bisa bersenang-senang seperti ini,” ucap Desi tanpa rasa bersalah ataupun bedosa padahal, dirinya adalah penyebab utama kematian suaminya, Fahmi, ayah Aluna. “Ibu pintar sekali. Aku benar-benar bangga pada ibu,” ucap Flora kemudian memeluk sang ibunda. “tapi, Bu, bagaimana dengan Aldo?” tanyanya tiba-tiba. “apa rencana ibu untuk membuat Aldo kembali padaku?” Desi mengusap lembut mahkota sang putri dan mengatakan, “Sayang, tenang saja. Ibu punya seribu satu cara membuatnya kembali padamu. Tenang, ya, Sayang. Tapi sebelum itu, bukankah lebih baik kita bersenang-senang dulu? Kita nikmati keberhasilan kita ini. Kau mau ke mana? Jepang? Paris? LA? Kita akan ke sana untuk merayakan kemenangan ini.” Raut wajah Flora yang sebelumnya sedikit murung membicarakan Aldo, seketika menjadi berbinar cerah. “Ibu benar. Kita harus bersenang-senang dulu untuk merayakan kemenangan.” *** “Apa yang kau lakukan di sini?” Aluna bertanya pada Flora menemukan adik tirinya itu berdiri di depan cermin lemari sambil memakai pakaiannya. “Oh, hai, Kak. Aku pinjam bajumu, ya,” ucap Flora tanpa sungkan padahal ia belum meminta izin sebelumnya. Flora kemudian membuka lemari dan mengambil heels koleksi Aluna dan memakainya. “Wah, cantik sekali. Lihat, Kak, aku cocok sekali, kan?” Flora menunjukkan kakinya lalu kembali berputar bak seorang putri. Aluna hanya diam. Sejak ayahnya meninggal, Flora semakin tak tahu aturan. Adik tirinya itu kerap kali mengambil barang miliknya tanpa izin bahkan merusakkannya. Seperti kemarin, Flora meminjam tas, tapi mengembalikannya dalam keadaan rusak. Dia beralasan tas itu dirusak teman kuliahnya. “Flo, ambil saja baju dan sepatu itu, tapi setelah ini jangan meminjam apapun lagi,” ucap Aluna baik-baik. Flora menatap Aluna dengan dahi berkerut tajam. “Apa maksud kakak bicara begitu?” sungutnya, merasa tak terima dengan ucapan Aluna. “Bukan apa-apa. Tapi kau punya lebih banyak koleksi baju daripada aku, kenapa tidak–” Ucapan Aluna terhenti diganti dengan ringisan sakit saat heels yang Flora pakai terbang ke arahnya, tepat mengenai pelipis. Flora melepas heels yang satunya dan kembali melempar ke arah Aluna. Namun, kali ini Aluna bisa menghindar. “Bilang saja nggak boleh! Pelit!” sungut Flora kemudian pergi dari kamar Aluna. Aluna memegangi kepala yang berdenyut terutama pada pelipisnya. Dan saat menyentuh pelipis bekas tempat heels menghantam, terdapat darah yang membuatnya seketika membuka mata. Aluna membuka mata lebar lalu menyentuh pelipisnya. Namun, ia tak menemukan apapun. Rupanya, apa yang dialaminya hanyalah mimpi. Kejadian nyata di masa lalu yang terulang di alam mimpi. Sekujur tubuh Aluna terasa lemas. Ia pun menatap langit ruangan dalam diam, tenggelam pada ingatan masa lalunya. Semenjak ayahnya tiada beberapa tahun lalu, perlakuan dan kelakuan ibu tiri juga adik tirinya berubah 180 derajat. “Sudah sadar.” Aluna tersentak mendengar sebuah suara. Ia lalu bangun menegakkan punggungnya dan menemukan Kaivan duduk di sofa dan menatap ke arahnya. Seketika ia pun ingat apa yang terjadi sebelumnya. Tepat setelah dirinya dan Kaivan dinyatakan sah, ia jatuh pingsan. Dirinya begitu berat menerima kenyataan meskipun itu adalah pilihannya sendiri. Kaivan bangkit dari duduknya kemudian berjalan ke arah ranjang, tempat di mana Aluna duduk terdiam. Sambil membuka satu persatu kancing kemejanya, pandangannya menatap lurus pada Aluna. Kriet …. Derit ranjang terdengar saat lutut kaki kanan Kaivan menekan tepi ranjang. Tangannya lalu terulur meraih dagu Aluna dan menarik ke arahnya. “Karena sudah sadar, saatnya malam pertama.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD