Banyak orang yang beranggapan jika Kala itu pengangguran karena setiap harinya hanya menghabiskan waktu di tempat billiard dan bar. Padahal aslinya Kala punya bisnis yang 2 tahun ini meraup untung besar dan menyumbang pundi-pundi rupiah ke rekeningnya. Pria yang dijuluki manusia kulkas itu bekerjasama dengan dua orang temannya dengan membangun brand sendiri. Menjual kaos distro kekinian, tas, dan sepatu lokal secara online.
Dulu awal bisnis itu dibuka mereka masih menyewa ruko kecil sebagai tempat stok barang, tempat live dan packing. Kini usaha mereka semakin besar dan mulai menyewa tempat yang lebih besar juga. Membayar promotor dari kalangan selebgram atau bintang yang sedang naik daun.
Hari ini Kala dan beberapa tim lain melakukan meeting untuk membahas pemasaran produk mereka. Sebentar lagi akan ada tanggal cantik yang dimana banyak bonus gratis ongkir dan sale besar-besaran. Mereka tentu harus membuat strategi jitu agar target terpenuhi.
"Viorenita udah pernah kita pakai, dia juga udah nikah lumayan susah naikin traffic. Kita cari wajah baru," usul Kala ketika beberapa tim mengajukan ingin memakai salah satu selebgram dengan jumlah pengikut i********: yang sangat banyak itu.
"Wajah baru siapa? Susah nyari yang personal brandingnya bagus. Ingat nggak brand rucas, dia salah pakai brand ambassador akhirnya anyep. Tuh lagi balikin nama baiknya aja susah," sahut Shaka—teman yang menjadi rekan kerjasama Kala. Satu orang lagi adalah Inneke—satu teman seangkatan yang sebentar lagi akan menikah.
"Delvira Anastasya ini gimana?" Inneke memberikan usulan, menunjukkan profil salah satu selebgram yang dimaksud. "Namanya lagi naik daun karena goyang ubur-uburnya rame. Bisa kita pakai nih."
Semua orang memperhatikan wajah wanita cantik dengan lesung pipi yang manis itu. Pastinya sangat menggoda iman dan memanjakan mata memandang. Namun, bagi Kala jelas tidak ada yang spesial dari wanita itu karena ia sudah pernah bertemu. Bahkan mereka sudah dijodohkan.
"Bisa nih, Ke. Aku hubungi secara official nanti. Bening behhh ...." Shaka mengangguk cepat-cepat. Selain kecantikannya yang hakiki Shaka melihat pengikut wanita itu juga sudah banyak.
"Kala gimana?"
"Pasaran banget mukanya, gua tuh maunya wajah baru gitu." Kala tak menyembunyikan ketidaksukaan itu. "Misal nggak usah dari kalangan seleb gimana?"
"Cantik loh dia, personal brandingnya juga bagus. Gua yakin dia bisa naikin traffic jualan kita, sama pakai model yang lama nanti," tukas Inneke dengan dahi berkerut. "Kalau pakai wajah baru bisa aja, kita nanti pakai trend make over gitu. Cuma keburu nggak? Sebulan itu nggak lama loh, belum nanti ngedit gambarnya."
"Coba aja dulu. Yang lain siapa tahu pernah lihat seleb baru atau cewek yang suka hunting di area Kemayoran. Gua rasa kayak gitu lebih oke nggak sih?" ujar Kala.
Semua orang mengangguk menyetujui usulan yang diberikan Kala. Memang cukup menarik jika brand mereka memunculkan wajah baru, untung-untung bisa menarik pembeli dan menaikan traffic penjualan.
"Tapi Delvira ini juga cakep kata gua, masih diperlukan kalau misal dia setuju buat gabung," tutur Shaka rasanya sudah begitu tertarik dengan sosok Delvira yang cantik itu.
"Oke, berarti kita pakai dua orang kalau misal Delvira setuju. Sama pakai Anggun dan Leora yang artis lama. Kita coba dulu nyari orang sesuai usulan Kala dan hubungi kontak management-nya Delvira."
Inneke sebagai ketua diantara tim itu segera mengambil keputusan untuk strategi penjualan pada bulan ini. Meskipun saat ini traffic mereka masih bagus namun tentu harus mencari inovasi baru yang bisa mendobrak minat pelanggan.
Kala sebenarnya kurang setuju jika Delvira bergabung dalam bisnisnya namun ia tidak berkomentar lebih. Toh ia hanya akan menikmati hasil dan datang ketika ada rapat penting. Selebihnya ia hanya terima jadi sesuai hasil yang sudah disepakati.
***
"Dina, gaji kamu mau cash atau dikirim ke rekening?"
Di restoran tempat Dina bekerja semua karyawan berkumpul setelah pekerjaan mereka semua beres. Pada akhir bulan tentunya Bu Widia sebagai pemilik restoran memberikan gaji bulanan kepada semua karyawannya. Dina menjadi antrian paling akhir karena sengaja mengalah dengan yang lain.
"Kirim ke rekening aja, Bu. Kayak biasa." Dina menyahut dengan cepat.
"Kamu full time terus ya bulan ini, masih belum jadi daftar kuliahnya?" Widia mengecek dari tablet miliknya tentang absensi karyawan selama satu bulan ini.
"Belum, rencana tahun ini mau nyoba lagi, Bu," jawab Dina seadanya saja.
"Oh gitu. Saya udah transfer ya ke rekening kamu. Untuk bonusnya saya kasih cash, siapa tahu pengen jajan seblak," ujat Widia tersenyum kecil seraya menyerahkan amplop putih kepada wanita muda itu.
Mata Dina berbinar melihat amplop yang dikirim Widia. Ia mengambilnya dengan senyuman manis di bibir.
"Wah dapat bonus, Bu? Makasih banyak, saya doakan Bu Widia dan keluarga sehat-sehat. Makasih, Bu." Dina langsung meraih tangan Widia dan menciumnya sebagai bentuk rasa terima kasih.
"Iya makasih juga doanya." Widia terkekeh melihat tingkah Dina, wanita itu seperti anaknya karena masih sangat muda.
"Sekali lagi saya ucapkan terima kasih ya, Bu. Saya mau pamit, salam buat Mas Biru dan Mbak Grey," ucap Dina masih dengan senyum manisnya sebelum akhirnya meninggalkan ruangan bosnya itu.
Sikap Dina mungkin terlihat berlebihan karena gajinya tidak seberapa tapi Dina sangat bersyukur sekali karena uang yang didapatkan hasil dari kerja kerasnya sendiri. Bukan dari hasil bekerja kotor seperti yang pernah ia lakukan beberapa bulan lalu.
Dina menyimpan amplop pemberian Widia ke dalam tas lalu segera mencari ojek agar secepatnya pulang. Ia menyempatkan mampir ke IndoApril untuk membeli jajanan untuk adiknya di rumah. Malam ini Dina rasanya ingin pulang karena sudah lama tidak bertemu dengan Ibunya.
Begitu sampai di rumah ia disambut Akbar—adik laki-lakinya. Anak itu sedang bermain di depan rumah dan langsung menyambutnya. Bukan, lebih tepatnya menyambut makanan yang dibawa.
"Kakak bawa makanan enak?" Mata Akbar berbinar-binar cerah.
"Ini buat kamu." Dina mengangguk sebagai jawaban seraya mengangsurkan kresek putih yang cukup besar pada anak itu.
"Asyik! Aku mau, aku mau."
"Masuk ke rumah dulu."
Dina tertawa kecil melihat tingkah adiknya, ia mengajak anak itu masuk ke rumah kontrakannya yang kecil. Bagian depan hanya ada tikar dan telivisi tabung yang perlu dipukul baru ingin menyala, lalu ada satu kamar tidur yang pintunya tak tertutup sempurna. Di bagian belakang hanya dapur dan kamar mandi. Biasanya Dina akan tidur di depan televisi bersama Adiknya itu.
"Akbar, ibu mana?" tanya Dina melepaskan tas miliknya seraya duduk di atas tikar.
"Lagi disuruh nyetrika sama Bu Agnes." Akbar menyahut singkat, anak itu sibuk dengan makanan yang ada di kantong kresek.
Dina mengangguk tanpa suara. Ibunya memang kerap dipanggil beberapa orang berada untuk sekedar mencuci, menyetrika atau beres-beres rumah.
"Kalau bapak?" Meski tak begitu menyukainya, Dina tetap ingat jika masih punya orang tua.
"Palingan di rumah Mas Joko, nyari wifi buat nge-slot."
Dina berdecak geram, adanya judi online itu benar-benar membuat bapaknya yang pemalas itu semakin gila sekarang. Sangking gilanya pria itu rela mendorongnya untuk masuk ke dunia malam yang mengerikan.
"Alah Din, sekarang itu nggak akan ada cewek baik-baik. Ngapain kerja susah ngepel lantai, mendingan ngangkang cepat dapat duit! Buruan ikut."
Dina memejamkan matanya rapat-rapat ketika bayangan kejadian beberapa bulan lalu itu muncul. Sebuah kejadian yang dianggap paling mengerikan bagi Dina.
"Din."
Tak disangka-sangka orang yang dipikirkan itu muncul membuat Dina membuka mata lebar-lebar. Ia berdecih pelan, berpura-pura sibuk di depan lemari plastik yang ada di samping telivisi.
"Tumben lu main? Lu nggak dibuang sama Kalandra itu 'kan?" Suhendra memandang anaknya penuh selidik.
"Kalau pun dibuang, bapak 'kan udah untung banyak. Bapak jual berapa aku ke dia?" Dina menyahut sarkas. Padahal aslinya hatinya sangat perih saat mengatakan hal itu.
"Belum juga satu M." Suhendra mendengus malas. Ia beberapa kali menguap karena kantuk yang mendera. "Buatin gua kopi dong, Din."
"Aku mau langsung pulang aja." Dina tak begitu menggubris lantaran terlalu kesal dengan bapaknya itu.
"Aelah durhaka banget jadi anak. Buatin kopi, daripada gua beli. Nggak ada duit ini, atau lu mau kasih?" ujar Suhendra dengan tak tahu dirinya.
Dina lagi-lagi dibuat gregetan akan sikap Bapaknya. Mau tak mau ia akhirnya pergi ke dapur untuk membuatkan pria itu kopi. Ia juga memang belum ingin pulang lantaran hendak memberikan uang kepada ibunya.
Dina menyalakan kompor merebus air, baru saja ia mengambil gelas seketika matanya membulat sempurna. Secepat mungkin Dina beranjak kembali ke ruang ramu, benar saja Suhendra terlihat tergopoh-gopoh setelah mengambil sesuatu dari dalam tas miliknya.
"Bapak!"
Bersambung~