Tak terasa sudah 2 bulan berlalu Kala dan Dina menjalin rumah tangga. Mereka kini tidak lagi tinggal di rumah Kala, melainkan di salah satu Apartemen yang di beli oleh Kala. Pria itu sengaja tidak ingin Dina tinggal di rumah pribadinya karena wilayah itu jelas bukan wilayah yang aman untuk wanita seperti Dina yang terlalu polos.
Selama 2 bulan ini tidak ada kemajuan yang berarti dari hubungan mereka berdua. Kala masih dengan sikap jutek dan mengesalkan. Rasanya jika sehari saja Kala tidak melontarkan kata-kata pedas kepada Dina hari pria itu kurang menyenangkan. Dina pun sudah mulai terbiasa dengan sikap Kala itu, ia tidak terlalu mempedulikannya.
Bagi Dina saat ini ia masih bisa bekerja dan makan, tidur dengan nyaman itu sudah sangat cukup. Sekarang mungkin sedikit lebih baik karena ia tidak perlu memikirkan besok ingin makan apa karena Kala memberikannya uang bulanan yang cukup banyak.
Selain itu, Dina merasa tenang karena Kala pun tidak pernah meminta service seperti sebelum mereka menikah. Pria itu jarang di rumah dan mereka biasanya akan bertemu di malam hari. Itu pun hanya sebentar karena Dina sering ketiduran saat Kala sudah pulang.
Hari ini Dina libur bekerja karena hari Jum'at, wanita itu mencoba memasak di dapur minimalis yang terletak di Apartemen. Ia hanya membuat mie instan karena stok di kulkas juga habis, ia belum pergi berbelanja lagi.
"Wangi banget, jadi makin nggak sabar makan." Dina mendesis pelan, tak sabar ingin melahap mie instan yang mengeluarkan aroma yang sangat harum itu.
"Medina!"
Baru saja Dina duduk dan memegang sendok ketika terdengar suara Kala memanggil. Panggilan dengan nama lengkap itu sudah menjadi alarm tanda jika dirinya harus segera datang.
"Iya!" Dina menyahut singkat seraya beranjak ke dalam kamar Kala.
Terlihat Kala sedang berkacak pinggang di depan lemari dengan handuk yang melilit di pinggang.
"Ada apa?" tanya Dina.
"Lu yang kemarin ngerapiin ini?" Kala balas bertanya, ia memutar tubuhnya menatap Dina cukup tajam.
"Ehm, iya. Aku lihat kemarin bajunya Mas Kala berantakan, aku cuma lipat doang. Aku sumpah nggak ambil apa-apa. Yang kotor juga baru aku bawa ke belakang belum aku apa-apain." Dina menyahut cepat. Tatapan mata Kala itu membuatnya gugup. Menduga Kala kehilangan sesuatu atau bagaimana.
Kala mengernyit dahinya, bibirnya sedikit tertarik menjadi senyum tipis melihat wajah Dina yang ketakutan itu.
"Tumben lu baik?" desisnya tak menyembunyikan wajah sinis.
"Mas Kala itu aneh, rapiin baju suami kan emang tugas istri. Lain kali ambilnya pelan-pelan aja, udah capek-capek aku rapiin," ujar Dina tanpa sadar menarik napas lega karena Kala tidak marah.
"Istri?" Mendengar itu rasanya aneh sekali. Selama ini ia bahkan lupa jika sudah menikah dengan Dina.
Dina mengangguk ragu. "Udah? Mas Kala manggil aku cuma buat tanya itu doang?"
"Bukan, gua lagi nyari celana dalam gua. Lu taruh mana?"
"Hah?" Otak Dina mendadak ngelag. Ia langsung terbayang beberapa celana dalam yang kemarin sempat ia pegang. Membayangkannya wajah Dina menjadi merah.
"Din!"
"Ah iya, aku taruh di lemari yang atas sebelah kiri. Campur sama celana pendek." Dina tersadar dari lamunan gilanya barusan.
Kala menyipitkan matanya, ia jelas tahu wajah Dina saat ini sedang merona. Ia menyeringai, rasanya ingin sekali menggoda wanita polos itu. Dengan santainya ia melipat tangan di depan perut seraya memandang wanita itu semakin tajam.
"Lu bilang gua nggak boleh berantakin bajunya, lu coba ambilin," ucap Kala.
"Emm baiklah."
Dina menurut tanpa banyak protes, ia melangkah mendekati Kala lalu membuka lemari tempat dimana ia menyimpan celana dalam pria itu.
Dina awalnya sangat percaya diri bisa mengambil, tapi ia lupa jika kemarin saat menaruhnya harus naik menggunakan kursi kayu yang ada di meja makan. Jika tidak menggunakannya ia harus menjinjit karena tubuhnya terlalu pendek.
Sementara Kala diam-diam terus melirik apa yang akan wanita mungil itu lakukan. Pandangan matanya tertuju pada betis Dina yang telihat ototnya itu. Entah kenapa hal itu menurutnya sangat menarik. Ditambah pagi itu Dina memakai piyama pendek motif boneka. Rambutnya dibiarkan terurai karena masih setengah basah. Dina benar-benar seperti bocah jika memakai pakaian seperti itu.
"Mas Kala, aku nggak nyampek. Mas Kala ambil aja disitu," kata Dina memanyunkan bibirnya menyerah.
"Lu bilang nggak boleh diberantakin, ya lu ambilin lah." Kala diam di tempaynya.
"Aku nggak nyampek, udah ambil sendiri aja." Masih dengan wajah setengah cemberut Dina memandang Kala sayu.
Entah apa yang Kala pikirkan, pria itu mendekati Dina. Bukan mengambil celana dalam miliknya sendiri, akan tetapi ia justru merengkuh pinggang Dina dengan kedua tangan lalu mengangkatnya.
"Mas Kala!" Dina berseru syok.
Kala memejamkan matanya, saat ini wajahnya berada tepat di belakang pinggang Dina yang menguarkan harum shampo dari rambut wanita itu. Tangannya itu bergerak mencengkram pinggang wanita itu tanpa sadar.
"Ambilin, Din." Kala berbisik lirih, suaranya itu terdengar berat karena gejolak hasrat yang bangkit.
"b******k, aku sudah lama tidak menyentuh wanita ini. Aroma tubuhnya membuatku ingin memakannya s**t!"
Kala mengumpat dalam hatinya, ia menyadari jika 2 bulan ini ia jarang meminta service dari Dina karena memang terlalu sibuk. Kini ia seperti tak bisa mengendalikan otaknya.
Dina menurut dengan menahan gugup, buru-buru ia mengambil celana dalam milik Kala lalu menyerahkan pada pria itu.
"Ini, udah aku ambilkan. Turunkan aku, Mas."
Kala menurunkan Dina perlahan namun tangannya masih memegang pinggang wanita itu dengan sangat erat. Kini bibirnya tepat berada di sisi telinga wanita itu karena tubuh Dina terlalu mungil jika berdampingan dengannya seperti ini.
"Din." Kala berbisik lirih. Hembusan napasnya sangat berat pertanda jika dirinya sudah diliputi nafsu. Ia menunduk mencium bahu Dina yang terbuka karena baju yang dikenakan sedikit longgar.
"Mas Kala." Dina memejamkan matanya dengan tangan yang menggenggam celana dalam itu kuat-kuat.
Kala tidak menjawab panggilan itu, kini bibirnya sudah berganti mencium tengkuk Dina yang membuat pikirannya semakin liar. Kakinya begerak tanpa diminta memeluk wanita itu cukup erat. Tanpa bisa dikendalikan oleh otaknya, satu tangannya menyusup halus dibalik kaos itu mengusap perut Dina yang rata lalu ke atasnya lagi.
"Mas Kala ini ...." Dina menggigit bibir menahan suara laknat yang hampir keluar dari bibir. Tubuhnya yang polos itu gemetaran karena sentuhan itu, ditambah bagian tengkuk adalah area sensitifnya membuat bulu kuduknya meremang. "Mas Kala ...."
Kecupan demi kecupan itu semakin liar, Kala tak segan menggigit tengkuk Dina hingga memerah. Kedua tangannya meremas lembut d**a padat yang ia rasa semakin besar dari saat pertama kali menyentuhnya. Ia mengusap ujungnya pelan seraya menekan miliknya yang sudah bangkit.
"Akh!" Dina membesarkan matanya begitu merasakan sesuatu yang keras menyentuh pinggangnya. Remasan lembut di d**a itu membuat ia semakin resah. Dina mungkin belum pernah melakukan hal aneh-aneh, tapi ia paham dengan gestur dari Kala. Suaminya itu sedang dilanda gairah yang meresahkan.
"Mas Kala, ini masih pagi. Aku ehm ...."
Kala memejamkan matanya singkat sebelum akhirnya melepaskan wanita itu. "Pakai rok lu, Din."
Hanya kata itu yang ia ucapkan sebelum akhirnya merampas celana dalam yang dibawa Dina lalu masuk ke dalam kamar mandi.
"s**t! Kenapa gua jadi nafsu banget sama dia?" Kala mengumpat kasar begitu sampai di dalam kamar mandi. Otaknya kali ini sepertinya mulai terkontaminasi dengan hal-hal gila karena kepolosan Dina.
"Gua nggak bisa kayak gini terus, argh!" Kala memijat kepalanya yang kini terasa pening luar biasa. Ia melirik bagian dirinya yang masih menegang karena gagal mengganti oli. "Ck, lu nggak tahu sikon banget anjing. Dina masih kecil, jangan sampai gua trabas!" Rasanya Kala ingin memukul keperkasaan miliknya karena unjuk diri di waktu yang tak seharusnya.
"Tapi ... bukannya dia emang udah pernah kayak gitu?" Kala mengerutkan dahi. Teringat saat ia menemukan wanita itu ... Dina baru keluar dari ruang karaoke bersama Om-om tidak jelas.
Kala tersenyum sinis tanpa sadar. "Harusnya dia nggak sepolos itu, ck muna banget jadi cewek."
Bersambung~