Evelyn: Savana dan Gurun

1146 Words
Aku terbangun saat hari sudah gelap. " Ev,,, kau sudah sadar? " Suara yang sepertinya familiar itu ku dengar di antara kesadaranku yang belum pulih seutuhnya. Rupanya dia adalah Afhkar yang seorang penjelajah sepertiku. Berbeda denganku, dia bukan seorang arkeolog penjelajah. Namun dia adalah seorang pemburu. Dengan tubuh tinggi kekar, dan kulit berwarna coklat serta beberapa bekas luka di wajahnya, kurasa aksen pemburu sangat melekat pada dirinya. " Untunglah... Aku sangat cemas Ev. kau pingsan sudah 3 jam. Aku berencana membawamu kembali ke Eden kalau masih belum siuman juga. " lalu aku bertanya pada Afhkar. " Aku kenapa Af? Sebelum pingsan aku merasakan tabrakan yang sangat keras. " Afhkar menunjuk ke belakang ku sambil berkata, " Kau tertabrak itu Ev! " Ternyata aku tertabrak monster yang kami beri nama Cherna. Makhluk ini adalah monster herbivora dengan kepala lebar seperti perisai yang memiliki dua lubang ditengahnya. Berkaki pendek dan mempunyai kulit sangat keras yang berbuku-buku. Meski terlihat besar dan berat, Cherna adalah pelari yang cukup cepat. Makhluk ini tidak berbahaya, karena tidak akan menyerang jika tidak di ganggu. Pantas saja rasanya seperti tertabrak batu besar. Afhkar dan tiga teman lainnya yang belum aku kenal menundukan kepala sambil meminta maaf. mereka bilang, mereka sama terkejutnya karena melihatku tiba-tiba muncul di depan Cherna dari dalam hutan. Aku diam sebentar sambil mencoba memahami situasi. Afhkar bertanya. " Kau mau pergi kemana Ev? " Aku pun menjelaskan tujuanku pada Afhkar. Tidak ada yang ku rahasiakan karena aku mengenalnya dengan cukup baik. Kami berbincang sambil di temani kobaran api unggun yang hangat dan udara segar savana yang mulai sedikit dingin. Tak lupa cangkir besi khas penjelajah yang di isi teh herbal hangat di genggamanku. Suasana sangat nyaman. " Ev, kau bisa berangkat besok pagi setelah kendaraanmu kami perbaiki. " " Apa boleh buat! " kami tidur bergantian. satu orang berjaga, satu orang memperbaiki kuda besi ku, dan yang lainnya tidur hingga pagi pun menjelang. Matahari mulai mengintip dari ujung savana memberi kehangatan di sela udara yang dingin. Embun di atas rerumputan pun mulai menguap memberikan aroma khas padang rumput dan semak. " Kau pergi sekarang Ev? " " Ia. Perjalananku masih jauh Af. Kau akan kembali ke Eden? " " Ia. Setelah membedah Cherna dan mengambil yang diperlukan, kami akan kembali ke eden. Semoga mendapat hasil yang kau inginkan Ev. " Begitulah malam pertamaku di penjelajahan kali ini. Aku berjalan dengan pelan sambil sedikit melambaikan tangan pada Afhkar yang masih melihatku. Menikmati keindahan savana sambil merasakan angin lembut yang membelai wajahku, aku rasa aku tak perlu terburu-buru. Di savana ini aku beberapa kali melihat kawanan Cherna. Kalau di ingat-ingat, lucu juga saat aku sampai pingsan di terjang monster ini kemarin. melihat kawanan mereka memakan semak dan rerumputan dengan santainya, membuatku sedikit tersenyum. Di savana ini ada jalan yang biasa di lalui oleh penjelajah. Akibatnya, terbentuk jalan setapak yang tidak di tumbuhi rerumputan. aku hanya perlu menyusuri jalan ini. Karena terlalu menikmati pemandangan savana, tanpa terasa matahari pun sudah mulai menutup cahayanya dengan tirai yang di sebut malam sedikit demi sedikit. Rerumputan tinggi menari ke kanan dan kiri di hembus angin lembut, di selimuti remang cahaya kemerahan. Aku rasa aku akan bermalam disini sambil menikmati pemandangan damai ini hingga habis di telan malam. Kunyalakan api untuk menghangatkan udara sekitarku yang mulai dingin. Tak lupa cangkir penjelajah ku dengan kepulan asap dari teh herbal, selembar kain yang membantuku tetap hangat, kunikmati gemerlap cahaya bintang yang tak terhitung jumlahnya. tanpa sadar aku pun tertidur. Kali ini aku mendahului matahari. Aku terbangun sebelum ia menampakan cahayanya, dan langsung bergegas melanjutkan perjalananku. Aku tak ingin terlalu lama berada di savana ini. Semakin lama aku disini, semakin aku tak ingin pergi dari tempat damai dan indah ini. Ku pacu kuda besiku lebih cepat, dan saat matahari tepat berada di atas kepalaku, aku tiba di ujung savana yang seperti surga ini. Aku berhenti sejenak. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah lautan pasir berwarna kuning kecoklatan. kini aku berada di pintu masuk gurun dan disambut oleh angin panas gurun yang makin membuatku enggan meninggalkan savana yang aku lewati sebelumnya. Aku harus bergerak cepat di medan baru ini. Selain tempat ini sangat panas dan kering, ada bahaya lain yang mengintai dari bawah lautan pasir ini. Ada monster yang disebut Sandworm yang hidup dibawah gurun ini. Makhluk yang menyerupai cacing dengan ukuran panjang lebih dari 10 meter tanpa mata, dan barisan gigi runcing yang mengelilingi mulut bulatnya yang selalu terbuka, bisa saja menelanku secara tiba-tiba. Walaupun memiliki pergerakan yang lambat, sandworm adalah monster yang sangat berbahaya karena tinggal di bawah pasir dan tak terlihat. Sandworm mencari mangsa dengan merasakan getaran di atas permukaan pasir. Kupacu kendaraanku lebih cepat sambil berharap bisa bertemu penjelajah lain di gurun ini. Akan sulit beristirahat di malam hari sendirian di tempat berbahaya dan terbuka ini. Tidak mungkin melewati gurun ini dalam waktu satu hari. Jadi setidaknya aku harus bergegas. Belum lagi udara panas di gurun ini yang membuat staminaku cepat terkuras habis. Sebaliknya jika tiba malam hari, udara menjadi begitu dingin dan lebih berbahaya untuk ku bergerak sendirian. Karena iklim yang ekstrim inilah banyak penjelajah yang tidak kembali saat melewati gurun ini sendirian. Kupacu kuda besiku terus dan terus hingga malam hari pun tiba. Udara menjadi begitu dingin hingga nafasku pun menimbulkan kepulan asap tipis yang terbawa angin. Sepertinya malam ini aku tidak akan berhenti dan bersantai menikmati pertunjukan bintang dan teh herbalku? Hanya bermodal cahaya remang dari lautan bintang di langit malam, serta cahaya bulan dengan serpihan bekas kehancurannya, aku terus bergerak tanpa berhenti walau hanya sebentar. Kali ini aku benar-benar tak memperdulikan waktu. Tak peduli sudah berapa lama aku memacu kendaraanku di malam ini. Yang ku tahu hanya suhu tubuhku yang terus menurun membelah udara gurun yang begitu dingin. Rasanya jariku sedikit sulit untuk digerakan karena terlalu dingin. Pandanganku mulai kabur dan rasanya staminaku sudah mencapai batasnya! suhu gurun yang begitu ekstrim sudah menguras staminaku sampai hampir tak bersisa. Gawat! Aku akan pingsan! Jangankan mempertahankan kewaspadaanku pada medan sekitar, untuk mempertahankan kesadaranku saja sudah sangat sulit. Saat sudah benar-benar mencapai batasku dan hampir pingsan, tiba-tiba aku terpental ke arah depan dari kuda besiku. Mencium pasir gurun dan aroma khasnya, kesadaranku langsung kembali karena merasa sakit akibat benturan saat terjatuh. Aku langsung menoleh kebelakang untuk melihat kendaraanku. Astaga! Sandworm! Meski dengan pandangan masih sedikit buram, aku bisa melihat kuda besiku yang mulai ditelan monster cacing raksasa itu. Ditengah rasa panik dan nafas yang masih terengah-engah, tak ada pilihan lain selain merelakan kuda besiku di telan monster itu. Disaat itu langsung terbesit di pikiranku, bagaimana aku harus melewati gurun ini tanpa kuda besi ku? Setelah menelan kudaku, aku yakin dia akan langsung mengejarku karena aku masih dalam jangkauannya. Tanpa pikir panjang aku langsung menekan tombol darurat yang ada di jam di tangan kiriku, dan meledakan kendaraanku satu-satunya yang hampir ditelan seluruhnya. Ledakan yang kuat membuatku terpental beberapa meter ke belakang, di susul hujan daging dan darah sandworm.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD