Liburan singkat atau lebih tepatnya bulan madu singkat itu membuat Kalila maupun Dias tidak bisa kembali ke kantor atau restoran. Keduanya sepakat untuk langsung pulang ke rumah saja.
“Aku baru tahu kalian punya rumah itu,” ucap Kalila saat ia menghampiri Dias yang tengah duduk di atas sofa sambil memperhatikan ponselnya. Rautnya begitu serius.
“Iya. Aku membelinya sekitar dua tahun lalu. Tapi belum sempat merenovasinya. Kenapa? Kamu mau tinggal disana?”
Kalila duduk di samping Dias, “Disana sangat nyaman dan tenang, aku suka. Tapi terlalu jauh dari pusat keramaian.”
“Itu sebabnya aku menggunakan rumah itu untuk momen penting saja, salah satunya kita tadi.”
Wajah Kalila bersemu merah, saat Dias kembali menyinggung kejadian tadi siang. Rasanya masih sangat malu, dan membuat wajah Kalila merona seketika.
“Nanti aku belikan rumah baru untuk kita, sebagai kado pernikahan.”
“Disini nyaman, aku suka tinggal disini.”
“Aku tahu, tapi aku tetap harus memberimu rumah. Sebagai tanggung jawabku,”
Kalila tersenyum samar, dan kembali bersandar di bahu Dias. Rasanya sangat menyenangkan bisa bermanja dengan suami sendiri.
“Tapi mungkin masih lama, karena akhir-akhir ini perusahaan mengalami kerugian yang cukup besar.” Lirihnya.
Kalila menarik tubuhnya dan menatap serius ke arah Dias. “Kenapa? Terjadi sesuatu yang buruk pada perusahaan?” Selidik Kalila.
“Iya. Kami butuh investor baru untuk proyek selanjutnya, tapi sampai saat ini belum,”
“Aku bisa bantu.”
Kalila segera memotong ucapan Dias.
“Aku punya sedikit saham di perusahaan Papi, aku bisa menggunakannya untuk membantumu. Kita bisa kerja sama.”
“Kal,” Dias memegang tangan Kalila dengan lembut dan hangat.
“Perusahaanku adalah tanggung jawabku dan aku harus bisa melewati masa-masa sulit seperti ini tanpa memanfaatkanmu.”
“Aku nggak merasa dimanfaatkan, kita pasangan suami istri sudah sewajarnya saling bantu, kan?”
“Tapi, Kal.”
“Aku akan mencoba untuk bujuk Papi. Dia pasti setuju, tenang aja.”
Dias menatap Kalila dengan lembut dan mengusap wajahnya. “Aku benar-benar tidak ingin merepotkanmu, Kal.”
“Aku nggak merasa direpotkan, kita kerja sama.”
Dias kembali tersenyum menatap kedua bola mata Kalila yang terlihat begitu teduh dan jernih
“Pikirkan kembali baik-baik, aku nggak akan melibatkanmu dalam masalahku.”
.Kalila menganggukan kepalanya, sebagai jawaban dan ia pun kembali menyandarkan kepalanya di bahu Dias.
Sesuatu yang aneh dan asing tiba-tiba menyeruak dalam hati Dias. Apa yang direncanakannya tidak berjalan sesuai rencana. Ia harus mengubah strategi, sebab Kalila ternyata jauh lebih berbahaya dari dugaanya.
“Lo dimana?” Tanya Dias, melalui sambungan telepon.
“Di tempat biasa.” Jawab seorang lelaki dari seberang sana.
“Gue kesana, sekarang.” Ucapnya, lantas mematikan sambungan.
Dias menghampiri Kalila yang sudah terlebih dulu berada di kamar.
“Kal, aku keluar sebentar. Ada perlu,”
“Kemana? Jangan malam-malam.” Ucap Kalila yang sudah berada di atas tempat tidurnya.
“Kumpul sama temen, sebentar. Nggak lama.”
Pamit Dias lantas mencium kening istrinya dan pergi.
Dias berencana menemui Panji, satu-satunya teman baik yang dimilikinya setelah beberapa teman lainnya mengkhianati Dias. Sejak saat itu hubungan Dias dan Panji sangat dekat, hingga alasan menikahi Kalila pun diketahui lelaki berusia tiga puluh tahun itu.
“Ngapain kesini sih, Lo seharusnya bulan madu sama istri Lo. Puas-puasin deh sebelum dia tahu kebusukan suaminya. Selagi dia mau membuka lebar kedua kakinya tancap aja, Man! Jangan ragu! Kalian menikah, nggak dosa lo manfaatin keadaan!” Sindir Panji.
Dias hanya berdecak kesal.
“Gue nggak bisa manfaatin Kalila.” Ucap Dias,
“Kenapa? Masa baru satu Minggu udah jatuh cinta beneran aja sih?!” Cibir Panji.
“Nggak asik Lo!”
“Nget Man, Lo punya hutang sama si brengseek Dodi, kalau Lo nggak bayar bisa dipastikan Lo masuk penjara.”
Dias menghela lemah. “Gue pasti tanggung jawab dan gue akan membayar semua kerugian yang diakibatkan kelalaian gue.”
“Sejak awal gue saranin untuk menikahi Diva, sebagai salah satu bentuk tanggung jawab Lo. Eh, Lo malah nolak.”
“Diva dan Amy berteman baik, Lo tahu itu. Kalau gue menikahi Diva, bagaimana perasaan Amy.”
“Apa bedanya dengan sekarang? Lo emang menikahi Kalila yang notabene bukan saudara atau teman dari Amy, tapi cewek Lo itu bakal tahu kekasih tercintanya sudah menikah.”
“Gue bisa cerai,” balas. Dias pelan.
“Kapan? Nunggu si Amy balik? Terus pas di Amy balik dan Lo belum juga cerai gimana?!”
Dias terdiam. “Intinya gue nggak bisa manfaatin Kalila.”
Panji kembali berdecak. “Lo salah sasaran Man. Sejak awal gue bilang, deketin Kania, bukan Kakaknya. Dari tampang aja Kalila udah kelihatan cewek baik-baik dan mudah banget di tipu.”
Dias kembali terdiam memikirkan ucapan Panji yang memang benar adanya.
“Kalau Lo deketin Kania dan manfaatin dia doang, nggak bakal melibatkan perasaan lagian si Nia ini kaki banget. Nggak bakal main perasaan juga. Tapi Kalila,” Panji mengangkat kedua tangannya. “Gue nggak ikutan deh kalau Lo akhirnya menyesal karena udah manfaatin wanita sebaik dia.”
Benarkah Dias akan menyesal?
Bahkan sekarang pun keinginannya untuk memanfaatkan Kalila hilang perlahan.
Dias sudah sangat berpengalaman dalam menjalin sebuah hubungan bersama lawan jenis. Meski hatinya hanya ada Amy seseorang, tapi Dias sering memanfaatkan wanita yang jatuh cinta padanya dan mau melakukan apa saja untuknya. Wajah tampan yang dimilikinya selalu memudahkan Dias dalam menarik perhatian lawan jenis.
Saat berada didekat Kalila, Diaa merasakan hal yang sangat berbeda.
Ketulusan dan perhatian Kalila sangat dirasakannya. Bagaimana Kalila selalu bersikap baik dan peduli akan apa yang terjadi padanya. Hal yang tidak pernah dirasakannya dari wanita manapun.
Panji benar, saat ini Dias sudah salah mengambil keputusan. Salah dalam memilih pasangan karena Kalila terlalu baik untuk dimanfaatkan. Tapi sudah terlanjur melangkah jauh, ia tidak bisa mundur lagi apalagi membatalkan rencana yang sudah disusun sebelum menikah.
“Lo nggak punya pilihan lain selain maju, Man! Lo cuman butuh beberapa persen saham milik Kalila Mahendra untuk menutupi hutang Lo sam Dodi. Setelah itu Lo bisa nyicil bayar ke Kalila, kalau Lo emang mau pisah dan kembali ke cinta mati Lo si Amy.”
Mengucapkannya memang mudah, tapi prakteknya tidak segampang itu bahkan sejak awal Dias memantapkan hatinya untuk tidak menyukai Kalila apapun yang terjadi. Nyatanya semua rencana itu gagal!
Bahkan hanya satu Minggu setelah mereka menikah saja Dias sudah berada di fase ragu.
Lantas bagaimana dengan hati-hati selanjutnya?
Apakah akan semakin sulit?
Di tambah lagi dalam waktu dekat Amy akan kembali ke Jakarta dan mungkin wanita itu juga akan menuntut penjelasan mengapa Dias mengkhianatinya dengan menikahi wanita lain.
“Gue cuman bisa bantu dia, Yas. Apalagi Amy bakal balik kurang dari sebulan.” tegas Panji seolah kembali mengingatkan Dias bahwa wanita itu akan datang dalam waktu dekat.