13. permainan di mulai

1089 Words
“Ayo,” ajak Dias. Kalila menyambut uluran tangan suaminya, menggenggam erat tangan itu seperti biasanya. Sayangnya tatapan Dias kali ini tidak selembut biasanya. Apakah sesuatu terjadi padanya di kantor, atau karena saat datang menjemput Dias melihat Kalila tengah bersama Randi? Bahkan setelah lima belas menit perjalanan Dias tidak kunjung bicara. Lelaki itu fokus menatap lurus kedepan dengan satu tangan menyiku ke arah jendela. Kalila tidak nyaman dengan sikap suaminya seperti itu. “Dia Kak Randi, mantan tunangan Kania.” Kalila membuka pembicaraan. Dias menoleh, menatap sekilas lantas kembali fokus ke depan. “Aku pernah cerita sebelumnya, kan? Kania pernah gagal bertunangan.” Lanjutnya. “Iya. Aku masih ingat. Dia yang pernah naksir kamu itu, kan?” Dias kembali melirik Kalila dengan kening mengkerut. Kalila menghela nafas panjang. “Dulu, hanya cinta monyet.” Kalila merasa tidak ada yang perlu ditutupinya dari lelaki yang kini menjadi suaminya itu. Termasuk kejadian beberapa waktu lalu, saat Kania dan Randi batal bertunangan karena salah paham. Kalila pikir akan lebih baik Dias tahu permasalahan itu darinya langsung bukan dari orang lain yang tentunya sudah dibumbui dengan banyak karangan cerita. “Sepertinya dia masih suka sama kamu.” Kalila menggelengkan kepalanya. “Nggak mungkin, kami hanya berteman. Kebetulan hari ini dia datang untuk reservasi tempat, untuk acara ulang tahun ibunya.” “Memangnya dia pernah bilang udah nggak suka kamu lagi?” Cara Dias mengatakannya memang dibarengi senyum, tapi Kalila tahu suaminya itu tidak suka dengan kedekatan Randi dan dirinya. “Kami nggak ada hubungan apapun lagi, sejak dulu, sejak aku memutuskan pindah ke Swiss. Apalagi sekarang aku sudah punya suami,” “Setelah kita menikah aku hanya fokus pada satu lelaki, yaitu kamu.” Kalila memiringkan tubuhnya untuk memeluk satu lengan Dias yang sedang bebas karena tidak memegang setir. Kalila menyandarkan kepala di bahu Dias. Bermanja-manja dengan suami hal yang wajar bukan? Entah mengapa Kalila merasa takut jika suaminya sampai salah paham apalagi cemburu. Dias tersenyum luluh dan perlahan melepaskan tangannya dari pelukan Kalila untuk dialihkannya ke punggung dan bahu Kalila. Sesekali tangannya mengusap kepala Kalila. “Aku sangat beruntung punya istri seperti kamu, Kal.” Bisiknya sambil sesekali mengecup puncak kepala Kalila. Kalila mendongak, menatap Dias. “Kenapa menjemputku di jam seperti ini? Bukankah kamu harus kerja? Bukankah kamu sibuk?” Dias sempat mengatakan akhir-akhir ini ada masalah yang cukup serius di perusahaannya, sampai-sampai ia harus lembur. Kalila memang tidak mengerti bagaimana cara kerja di perkantoran sebab ia tidak pernah terjun secara langsung. Hanya sesekali saja ia pernah mendengar dari cerita ibu atau ayahnya. “Benar, aku sangat sibuk sampai kepalaku sakit. Makanya aku butuh waktu untuk menjernihkan pikiran sejenak.” “Kita mau kemana?” Tanya Kalila. Ia tidak tahu Dias akan membawanya kemana, sebab lelaki itu tidak mengatakan tujuan yang akan mereka datangi. “Ke tempat yang tepat untuk kita berdua.” Dias menoleh dengan senyum penuh arti. “Untuk melakukan sesuatu,” “Apa?” Kalila tidak mengerti. “Tentu saja tidur bersama.” Tiba-tiba Kalila kesulitan menelan ludahnya sendiri. “Aku sudah lama menahannya, dan aku tidak bisa terus menahannya lebih lama lagi, Kal.” Kalila pikir Dias bercanda. Ternyata tidak. Lelaki itu jauh lebih serius dari yang diucapkannya tadi. Sangat serius sampai akhirnya Kalila sadar siapa yang ada di atasnya saat ini. Dias mengatur nafas perlahan, begitu juga dengan Klika. Jarak wajah keduanya sangat dekat, titik-titik keringat dari wajah Dias sebagian menjatuhi wajah Kalila. “Kal,” panggilannya, karena Kalila terpaku diam tidak bereaksi apapun. “Kamu baik-baik saja?” Tanyanya. Dias mengulurkan satu tangannya untuk mengusap kening Kalila. “Iya.” Balas Kalila dengan suara sangat pelan. “Apa aku menyakitimu?” Tanyanya lagi dengan suara dalam dan memabukkan. “Iya,” jawab Kalila lagi. Sulit mengatur nafas setelah apa yang mereka lakukan. Dias hanya terkekeh pelan, lantas mencium gemas bibir Kalila. “Terima kasih karena telah menjadikanku yang pertama.” Wajah Kalila kembali merona merah, apalagi saat Dias kembali mengecup keningnya sebelum akhirnya dia melepas penyatuan dan berguling ke samping Kalila. Mereka berdua sama-sama terlentang, menatap atap putih polos sembari menautkan kedua tangannya. Suasana yang begitu tenang, dengan penerangan tenteram yang membuat suasana semakin romantis. Kalila tidak menyangka ia akan melakukannya di tempat ini, di rumah kedua yang dimiliki Dias. Entah mengapa lelaki itu justru memilih rumah ini untuk melakukan malam pertama mereka. Bukan malam lebih tepatnya tapi siang, sebab mereka melakukannya di siang hari, delapan hari pasca menikah. Awalnya Kalila sempat berpikir apakah Dias tidak berniat menyentuhnya, sebab setiap kali mereka tidur atau berciuman yang nyaris saja melakukan hubungan badan, tapi Dias langsung menahan dirinya seolah ia menunggu sesuatu. Dan hari ini momen tersebut terjadi. Cepat atau lambat Kalila dan Dias akan melakukan itu, karena menikah dan berhubungan badan adalah satu paket lengkap. “Kal,” panggil Dias. Kalila hanya menggumam pelan, sebagai jawaban. “Bagaimana kalau kita menunda punya anak.” “Kenapa?” Untuk saat ini Kalila memang belum siap memiliki anak, tapi bukan berarti menunda Ia dan Dias sudah cukup dewasa untuk memiliki anak bahkan kondisi keuangan keduanya pun sudah sangat mencukupi untuk memiliki anak lengkap dengan satu pengasuh yang akan membantu Kalila dalam mengurus si kecil nantinya. Tapi kenapa Dias justru ingin menundanya? “Kita belum lama pacaran, jadi menurutku tidak ada salahnya kalau kita menundanya sedikit lebih lama.” “Kamu tidak mau punya anak dariku?” “Kal,” Dias memiringkan tubuhnya, mengusap kening Kalila dan menyelipkan anak rambut ke belakang telinganya. “Kenapa kamu berpikir seperti itu? Menunda bulan berarti tidak ingin.” Kalila terdiam. Memang terlalu dini membahas perihal anak disaat rumah tangga Mereka baru menginjak sepuluh hari. Masih sangat terlalu dini bukan? Tapi keinginan Dias untuk menunda anak ternyata sedikit mengganggu pikiran Kalila. “Kita butuh waktu berdua, sebelum perhatian dan kasih sayang terbagi dengan anak. Aku ingin menghabiskan waktu berdua denganmu lebih lama, sebelum kamu menjadikanku yang kedua karena hadirnya buah hati kita nanti.” Jelasnya lagi. Kalila hanya tersenyum dan mengangguk samar, membiarkan tubuhnya ditarik Dias kedalam pelukannya. Pelukan hangat yang terasa begitu nyaman dan menenangkan. Kalila bisa merasakan bagaimana Dias mengusap lembut punggungnya. Telinga Kalila menempel di dekat dadanya, sehingga bisa mendengar detak jantung Dias dengan jelas. Detik itu juga keraguan yang ada dalam diri Kalila perlahan luntur, berganti dengan sebuah keyakinan akan perasaanya. Tidak apa menunda kehadiran buah hati, karena mereka akan tetap bersama bukan? Dias juga benar, waktu yang mereka lewati untuk masa pendekatan sangatlah singkat, akan lebih baik sekarang mereka menikmati momen rumah tangga rasa pacaran yang tentunya takan terasa lebih menyenangkan karena mereka bisa bebas melakukan apa saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD