Siang harinya setelah pasangan pengantin baru itu merapikan barang-barang miliknya, mereka siap untuk pulang. Pulang yang dimaksud yaitu pulang ke apartemen Dias, bukan lagi apartemen Kalila.
Keduanya sepakat, setelah menikah mereka akan tinggal di kediaman Dias. Yakni apartemen yang kini dituju mereka, lokasinya sedikit jauh dari restoran tempat bekerja Kalila, tapi itu tidak akan menjadi kendala sebab Dias bersedia antar jemput setiap harinya. Itu janji yang sempat Dias ucapan beberapa waktu lalu, bahkan saat masa pacaran keduanya yang terbilang sangat singkat itu.
Kalila pernah berkunjung beberapa kali ke apartemen Dias, tapi hanya sebatas berkunjung dan duduk di sofa depan televisi saja. Bahkan Kalila tidak Pernah menginjakan kakinya di dapur atau tempat lainnya karena Kalila merasa canggung berada di kediaman seorang lelaki apalagi saat itu hanya ada dirinya dan Dias saja. Tapi saat ini, kecanggungan itu harus dihilangkan sebab setiap harinya Kalila akan merasakan kehadiran Dias.
“Belum sempat aku rapikan, beberapa waktu lalu sibuk ngurusin pernikahan kita.” Ucapnya sambil mengambil pakaian yang berceceran di atas sofa.
“Biar aku yang kerjakan. Karena mulai hari ini, aku yang akan bertanggung jawab mengurus rumah.”
“Kal,” Dias menyentuh tangan Kalila yang hendak mengambil pakaian Dias lainnya. “Aku menikah bukan mencari seseorang yang bisa membersihkan rumah, kita bisa sewa asisten nantinya.”
“Nggak perlu.” Tolak Kalila. “Aku lebih suka hanya kita berdua saja, nggak ada asisten kecuali kalau kita sudah punya bayi, nanti.”
Wajah Kalila kembali bersemi merah, bukan membayangkan bayi kecil yang akan menghangatkan suasana rumah tapi proses pembuatannya itu yang masih dalam tahap bayangannya.
“Yakin?”
“Tentu. Aku sudah terbiasa merapikan rumah karena selama ini pun aku hidup sendiri.”
“Tolong beritahu aku kalau kamu mulai lelah dan butuh bantuan asisten. Aku nggak mau kamu sampai terbebani.”
Kalila menganggukan kepalanya, dan mulai merapikan beberapa hal yang terlihat begitu mencolok dan berantakan.
Untuk pakaian Kalila sendiri, ia hanya membawa satu koper pakaian karena Kalila belum mau membawa semua barang miliknya dari apartemen lama. Meski saat ini ia akan lebih banyak menghabiskan waktu di apartemen bersama Dias, tapi Kalila tetap akan merawat rumah lamanya dengan baik.
“Mungkin terlalu maskulin untuk selera kamu,” ucap Dias saat mereka berkeliling. Dias benar, pilihan perabot yang hampir semua bernuansa minimalis dengan warna netral memang mengesankan maskulinitas. Wajar saja, karena tidak mungkin Dias memilih warna-warna soft seperti peach atau pink muda yang lebih banyak diminati kaum hawa.
“Nanti bisa kita ganti sesuai selera kamu. Perempuan biasanya suka make over rumah.”
Kalila hanya menganggukan kepalanya. Sejujurnya ia tidak terlalu mempermasalahkan hal-hal seperti itu, toh yang terpenting adalah fungsinya bukan warnanya.
“Kamu pasti suka masak, pasti banyak menghabiskan waktu di dapur.” Dias menarik tangan Kalila menuju bagian dapur, “Belum tapi dan lengkap, tapi secara perlahan nanti kita bisa buat dapur sesuai keinginan kamu.”
Sentuhan lembut terasa di pinggang Kalila, Dias pun merapatkan tubuhnya yang menimbulkan rasa hangat pada tubuh Kalila.
“Nggak sabar pengen dimasakin kamu,” ia tersenyum samar.
“Makan malam aku masakin, gimana?”
“Tapi aku nggak punya banyak bahan makanan.”
“Kita bisa membelinya.”
“Boleh, kalau kamu nggak capek.”
Kalila menggelengkan kepalanya, “Nggak. Masak untuk suami masa capek.”
Dias terkekeh.
“Sekarang kita lihat kamar utamanya,”
Punggung Kalila seketika tegak. Senyum Dias berbanding terbalik dengan Kalila yang kembali dibuat gugup. Ruangan yang membuat alarm dalam kepala Kalila berdering kencang. Karena di kamar itu mereka akan menghabiskan setiap malamnya bersama.
Kamar Dias tidak memiliki banyak barang, hanya ada beberapa lemari pakaian, lemari kecil untuk menyimpan buku dan televisi. Seperti yang sudah Kalila lihat sebelumnya, nuansa rumah Dias begitu maskulin khas lelaki begitu juga dengan kamar tidurnya.
“Minggu depan kita belanja keperluan untukmu, meja rias dan yang lainnya.” Ucapnya karena Kalila tidak menemukan meja rias di kamar tersebut.
Kalila mengangguk.
“Untuk sementara pakaiannya simpan di lemari sebelah ya? Ayo aku bantu.” Ajaknya lagi.
Selama menunjukan rumah yang akan mereka tempati rasanya seperti room tour, karena banyak hal yang tidak pernah Kalila ketahui sebelumnya.
“Untuk sementara disini dulu, sebelum kita beli lemari baru untukmu.” Dias menarik koper milik Kalila yang berisi pakaian.
Saat Kalila hendak menaruh pakaiannya ke dalam lemari, ia lihat bingkai foto yang terletak tidak jauh dari lemari. Kalila mengamatinya dengan seksama, “Itu,”
“Aku dan temanku. Teman masa kecil.” Jawabnya saat Kalila hendak bertanya.
“Namanya Amira,” lanjut Dias, lantas mengambil foto tersebut dan memasukannya kedalam sebuah laci.
“Ayo, kita rapikan pakaianmu.” Dias tidak memberikan kesempatan untuk Kalila bertanya lebih jauh mengenai sosok wanita yang ada di foto tadi. Melihat dari gambarnya dimana Dias merangkul wanita itu dengan senyum merekah sempurna di wajahnya, sepertinya hubungan mereka cukup dekat atau sangat dekat.
Foto tersebut seakan mengingatkan Kalila pada sosok Randi, dimana keduanya dekat satu sama lain hingga menimbulkan percikan api cinta dari keduanya. Apakah Dias dan wanita itu merasakan hal yang sama, seperti yang terjadi pada Kalila dan Randi?
Atau mungkin keduanya memang hanya sebatas teman kecil saja.
Kalila tidak tahu, karena selama mereka dekat tidak sekalipun Dias menyebut nama Amira. Satu-satunya nama wanita yang pernah dekat dengannya hanya Amy, itupun menurut informasi dari Kay. Atau mungkin saja Amira dan Amy adakah orang yang sama?
Kalila benar-benar dibuat bingung tapi bertanya pun sungkan. Mengorek informasi sama saja kembali mengingat masa lalu. Karena apapun yang terjadi pada kisah asmara Dias dan maslalaunya bagi Kalila itu tidak penting lagi. Sebab saat ini Dias adalah suaminya, hanya miliknya. Begitulah pemikiran Kalila saat ini.
Kalila merapikan pakaiannya kedalam lemari sementara Dias membersihkan kamar utama dengan menggunakan penyedot debu. Beberapa hari tidak ditempati debu terlihat memenuhi hampir di seluruh penjuru rumah, tidak terkecuali kamar.
Cukup melelahkan, sampai akhirnya Kalila duduk di tepian tempat tidur sambil memijat pelan tangannya.
“Capek?” Dias datang dengan membawakan air minum.
“Sedikit.” Balas Kalila.
“Kalau begitu nggak usah masak, apalagi kita nggak punya bahan-bahan lainnya. Lain kali saja.”
Kalila pun setuju.
“Nanti kita pesan makanan, ya?”
Kalila hanya mengangguk saja, tanpa sadar ia menguap menahan kantuk. Dari sebelum sampai sesudah acara pernikahan, Kalila mengalami kurang tidur. Entah banyaknya hal penting yang harus segera selesai juga karena Kalila selalu gugup akan hal baru dalam hidupnya. Wajar saja ia merasa gugup karena setiap hal yang terjadi adalah hal pertama untuknya.
Dias terkekeh. “Pasti lelah, kan?” Lalu tangannya mengusap lembut kepala Kalila.
“Maaf, aku sedikit lelah.”
“Aku tahu. Kamu pasti lelah karena acara pernikahan kita. Kalau begitu istirahat. Tapi sebelum itu,”
Dias secara perlahan menarik Kalila kedalam pelukannya. Rasanya begitu hangat dan nyaman.