11. Nyaris saja

1080 Words
Saat pertama kali kedua mata Kalila terbuka, yang ditemuinya adalah wajah Dias yang terlihat begitu tenang. Kedua matanya memejam, bibir sensualnya tertutup, deru nafasnya teratur, sebagian rambut hitamnya sedikit berantakan. Malam kedua setelah mereka menikah, dan tidak ada yang terjadi tadi malam. Usai makan malam bersama dan nonton televisi sebentar, mereka sepakat untuk istirahat. Istirahat yang dimaksud adalah istirahat yang sebenarnya karena setelah keduanya masuk kedalam kamar, Dias langsung mematikan lampu dan tidur. Tidak ada yang terjadi di malam kedua, hanya pelukan dan kecupan singkat di kening saja. Jika sebelumnya Kalila gugup dan selalu ingin menunda, tapi sekarang ia justru berpikir apakah Dias tidak menginginkannya? Atau mungkin lelaki itu hanya lelah? Tapi waktu yang mereka habiskan sudah cukup untuk membuat rasa lelah berkurang. Tidak banyak kegiatan yang menguras keringat selain membereskan hal-hal kecil, seperti nyapu pel. Kalila menghela nafas, ia memberanikan diri mengusap wajah Dias yang masih terlelap dengan perlahan. Kalila juga memperbaiki posisi bantal yang sedikit kurang pas agar kepala Dias bisa berbaring dengan sempurna pada posisi seharusnya. Namun Kalila tidak menyangka pergerakannya itu justru membuat kedua mata Dias terbuka. Padahal Kalila melakukannya dengan sangat hati-hati. “Maaf, aku hanya ingin,” “Selamat pagi.” Ucapnya dengan suara khas orang bangun tidur. Dias tersenyum. “Aku tidak bermaksud membangunkanmu,” kalimat Kalila terputus kala Dias tiba-tiba meletakan tangannya di atas pipinya yang sangat dingin dan lembut. Kalila gugup, lantas menekan ludah. “Mau kemana?” Tanyanya dengan kembali memejamkan kedua matanya. “Aku mau ke dapur, buat sarapan untuk kita.” “Masih terlalu pagi. Jangan kemana-mana.” Pintanya dengan sedikit manja. “Tapi, sudah waktunya bangun. Kamu bilang mau ke kantor hari ini.” Kalila kembali mengingatkan. Kalila dan Dias sepakat untuk menunda jadwa bulan madu karena banyaknya urusan yang harus mereka selesaikan dalam waktu dekat. Khususnya Dias. Kalila memiliki waktu kerja yang sedikit fleksibel, kapan saja ia ingin pergi ia tidak perlu mencocokan jadwal karena di restoran ada beberapa orang yang bisa diandalkan saat dirinya tidak ada. Lain halnya dengan Dias, lelaki itu justru memiliki jadwal yang cukup padat bahkan sejak awal rencana pernikahan, lelaki itu sudah mengatakan akan menunda bulan madu mereka. Kalila tidak mempermasalahkannya, karena mereka bisa bulan madu dimana tidak perlu pergi keluar negeri. Kalila mengusap pipi Dias hingga ke bagian kepalanya dengan lembut. Dias sesekali membuka matanya ya g masih satu dan tersenyum. Kalila senang melihatnya kembali memejamkan mata, yang artinya usapan lembutnya membuat lelaki itu nyaman. Dias sudah kembali ke alam mimpinya dan Kalila pun turun dari atas tempat tidur untuk membersihkan diri. Saat ia melihat bercak merah di celana dalamnya, Kalila menghela lemah. “Belum juga dimulai udah berdarah duluan.” kesalnya. Kalila akhirnya ingat, ia memang sudah memasuki jadwal bulanan, dan selalu tepat waktu setiap bulannya. Ia dan Dias harus menunggu sekitar tujuh hari lagi. Kalila memang suka memasak, hobinya itu pada akhirnya bisa menjadi mata pencahariannya saat ini. Setiap hal yang berbau dengan masakan, Kalila sangat suka. Dan untuk pagi ini ia menyiapkan sarapan sosial untuk suaminya. Kalila tahu, Dias tidak terbiasa makan berat di pagi hari, lelaki itu hanya menyukai roti isi dan kopi. Kalila pun membuat roti isi yang sedikit berbeda dari sekedar roti isi selai pada umumnya. .setelah menyiapkan sarapan untuk mereka berdua, Kalila pun merapikan area dapur dan mencuci pakaian. Ternyata begini rasanya menjadi seorang ibu rumah tangga, tidak hentinya Kalila tersenyum karena ia merasa begitu menikmatinya. “Senyum-senyum, ada apa?” Dias muncul dari dalam kamar dengan penampilan sudah rapi mengenakan pakaian kantor. “Nggak.” Kalila menggelengkan kepalanya. “Masih terasa seperti mimpi saat aku bangun pagi, ada kamu disamping aku dan bikin sarapan seperti ini.” “Nggak mimpi, sayang. Ini kenyataan.” Dias menarik tangan Kalila. “Kenyataan indah yang akan kita lewati bersama setiap harinya.” Kalila tersenyum lembut. “Tentu, kita akan melewati hari bahagia bersama setiap harinya.” Dias mengusap puncak kepala Kalila. “Mau kemana hari ini? Ke restoran?” Tanya Dias. “Iya. Tapi nanti, sekitar jam makan siang.” “Dirumah sendiri nggak apa-apa?” Kalila terkekeh. “Nggak apa-apa, aku bukan penakut.” Dias menyunggingkan senyum lega, lalu mendekatkan wajahnya. Ibu jarinya mengusap bibir bawah Kalila dan ciuman lembut mendarat di bibir Kalila. Ciuman untuk yang pertama kalinya, karena selama ini Dias hanya mengecup singkat bagian-bagian tertentu di wajah Kalila. Seperti kening dan pipi. Tapi untuk ciuman, baru kali ini. Kalila tidak tahu bagaimana caranya berciuman yang baik, karena selain gugup ia pun merasakan sekujur tubuhnya lemas. “Ikuti aku,” bisik Dias dengan suara lembut. Dias menarik pinggang Kalila lebih dekat, agar merapat padanya. Ciumannya tidak terlalu memaksa, Kalila suka itu. Dias memberi jeda dan menatap Kalila selama beberapa detik, lalu tersenyum sebelum akhirnya kembali menciumnya. “Yas,” ucapan Kalila terputus karena Dias kembali menciumnya. Kalila bermaksud menghentikannya karena merasa sudah terlalu lama dan ritmenya jadi berbeda. Bahkan salah satu tangan Dias mulai bekelana masuk kedalam dress yang dikenakan Kalila. Ada gairah yang terasa mendesak. Tapi tidak sekarang, lantas Kalila pun memberanikan diri untuk memalingkan wajah ke samping hingga bibir Dias berakhir di wajahnya. Keduanya sama-sama mengatur nafas. Kalila bisa merasakan Dias yang paling bekerja keras mengatur deru nafas dan degup jantungnya. Sementara Kalila tidak bisa menahan pipinya yang mulai kembali memerah. “Aku, datang bulan.” Lirihnya pelan. Dias terkekeh. “Kamu nggak marah?” Tanya Kalila bingung. “Kenapa harus marah? Maaf, seharusnya aku bisa mengendalikan diri.” Dias mengusap belakang kepalanya. “Ayo sarapan.” Ajak Dias. Sementara Kalila membetulkan dress yang sudah tersingkap memperlihatkan paha putihnya. Dan mengikuti Dias menuju meja makan. Kalila tidak pernah membayangkan rasanya bisa seperti itu. Ia berusaha mengatur nafas dan degup jantungnya yang semakin menggila. Ya ampun, nyaris saja. Dias berangkat ke kantor terlebih dahulu, sementara Kalian di rumah untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan lainnya. “Kal, Lo belom ke restoran?” Kay menghubungi Kalila, sesaat setelah ia menjemur pakaian “Nanti siang.” Balas Kalila. “Pengantin baru, betah amat si rumah.” Sindirnya. Kalila hanya tersenyum saja sebagai jawaban. Lelucon Kay terlalu sensitif, Kalila malu membahasnya. “Lo dimana?” Tanya Kalila, mencoba mengalihkan pembicaraan. “Di kantor lah! Gue nggak punya pasangan yang akan menahan gue jauh-jauh dari tempat tidur.” “Apa sih, Kay. Makanya nikah, biar ada yang nahan Lo supaya tetap di atas tempat tidur.” tawa Kay terdengar nyaring. “Yang anti lelaki akhirnya tahu juga kenikmatan duniawi!” Sindir Kay. “Ketemuan yuk, Lo harus cerita ke gue bagaimana ganasnya Dias di atas ranjang.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD