8. Gerbang pernikahan

1202 Words
“Lo udah membuat keputusan yang tepat dengan memilih Dias.” Kay datang setelah dua minggu mereka LDR akibat Kay yang ditugaskan Rafa di proyek baru yang lokasinya ada di luar pulau. Kay hampir mirip dengan Vanus, sama-sama menyukai desain entah eksterior atau interior. Hanya saja jam terbang Kay belum setinggi Venus dan ia pun masih dalam tahap belajar. Tapi perlu diacungi jempol untuk hasil karya Kay, diantaranya langsung diterima pasar dengan sangat baik. “Gue biasanya nggak pernah salah menilai orang.” Lanjutnya dengan mulut penuh. “Makanan disini bikin kangen, Kal. Setiap hari gue kangenin masakan lo!” Kay menyantap hidangan makan malamnya dengan begitu lahap lengkap dengan porsi super jumbo yang dipesannya. “Kami akan menikah,” “Hah? Kapan? Kenapa mendadak? Lo hamidun?!” Selidik Kay. “Nggak lah! Ngaco! Ciuman aja belom!” “Apa?” Satu detik berikutnya suara tawa Kay menggema memenuhi seluruh ruangan. Beruntung saat ini restoran sudah dalam keadaan sepi dan akan tutup dalam waktu kurang dari lima belas menit lagi. Tapi Kay masih saja santai dengan tawanya yang tidak kunjung berhenti. “Jadi selama ini kalian ngapain aja? Pegangan tangan kayak anak TK?” Tawa Kay kembali menggema. “Kal, gue kasihan deh sama si Dias. Dia pasti mati-matian nahan supaya nggak nyium lo!” “Gue justru ngerasa aneh, kenapa dia nggak nyium gue kecuali pipi, beberapa waktu lalu.” “Dias menang banyak, dapat perawan ting-ting yang belom pernah dijamah lelaki lain kecuali di cium sama Bapaknya yang super galak.” “Dias punya banyak mantan?” selidik Kalila. Hal yang seharusnya tidak diketahui Kalila, tapi rasa penasaran itu terus saja menggerogoti hatinya. Jika selama ini Kalila hanya pernah mencintai satu lelaki saya, yaitu Randi, entah dengan Dias. Dari wajahnya sudah dipastikan lelaki itu tidak mungkin hanya memiliki satu atau dua mantan kekasih. Puluhan mungkin. “Nggak tahu sih, gue nggak nanya. Tapi setahu gue, dia pernah deket sama cewek namanya Amy, kalau nggak salah mereka teman sejak kecil gitu.” “Oh, dimana Amy sekarang?” “Katanya sih di luar negri, persisnya gue nggak tahu.” Kalila berharap hubungan Dias dengan wanita bernama Amy itu benar-benar sudah selesai. Karena setelah ini hubungan mereka akan masuk ke jenjang yang lebih serius lagi. Masa lalu belum usai hanya akan menjadi bom waktu untuk hubungan di masa depan. Keputusan Kalila untuk menikah tentu saja bukan tanpa pertimbangan, bukan juga tanpa alasan kuat mengapa ia bersedia menikah dengan lelaki yang baru saja dikenalnya selama kurang dari empat bulan. Masa pendekatan yang sangat singkat bukan? Tapi Dias sudah menawarkan banyak hal baru ada dunia Kalila yang selama ini hanya tertuju pada satu hal, yaitu Randeas. Bohong kalau Kalila sudah melupakan lelaki itu, cinta pertamanya yang membuat Kalila mengalami fase patah hati yang begitu lama. Tapi hadirnya Dias sungguh memberikan warna baru dalam hidup Kalila. Lelaki itu tidak pernah sungkan menunjukan perhatian dan rasa sayangnya yang membuat Kalila secara perlahan menempatkan Dias pada hatinya. Lantas bagaimana reaksi Regan saat Kalila dan Dias akhirnya memutuskan menikah. Tentu saja menolak mentah-mentah, Regan tidak langsung menyetujui meski Dias selalu menunjukan niat baiknya dan berusaha membuat kedua orang tua Kalila setuju. Tidak mudah meyakinkan Regan, bahkan jauh lebih sulit daripada meluluhkan hati Kalila. Acara pernikahan Kalila dan Regan masih satu bulan lagi, tapi setiap harinya Regan selalu terlihat uring-uringan. “Papi ini kenapa, sih?” Kalila kesal karena Ayahnya itu datang dengan muka masal lengkap dengan taring yang siap menerkam siapa saja yang mendekatinya. “Datang-datang pasang wajah cemberut begitu. Nggak enak dilihat banget!” Kalila menatap tajam Regan, yang juga sama-sama menatap tajam ke arahnya. “Kal,” Regan menghela. “Kamu yakin?” Suaranya pelan disusul dengan raut wajah yang mulai melunak. “Apanya yang yakin? Menikahnya?” Regan mengangguk. “Yakin, Papihku sayang.” Kalila ikut tersenyum. Paham betul bagaimana kekhawatiran yang dirasakan Regan saat ini. Tapi sikapnya terlalu berlebihan, Kalila menikah bukan pergi berperang dan tidak akan kembali. “Aku mau nikah loh, bukan mau terjun ke medan perang.” Kalila mengusap lembut pundak ayahnya. “Kamu tahu Kal, menikah jauh lebih dari sekedar berperang. Apalagi kamu hanya beberapa bulan mengenal Dias. Ibaratnya kamu sedang berjudi dan mempertaruhkan segalanya yang kamu miliki.” “Kenapa Papi bisa berpikir seperti itu? Bukannya dulu pun kalian menikah tidak saling mencintai tapi akhirnya Papi bucin setengah mati?” Balas Kalila. “Kasusnya beda, Kal.” “Bedanya apa? Malah papi dan Bubu dulu nggak lama pacaran, tiba-tiba menikah. Aku dan Dias saling mengenal bahkan kami tidak langsung memutuskan menikah kalau salah satu diantara kami merasa nggak cocok.” “Empat bulan waktu yang sangat singkat.” “Empat bulan atau empat tahun nggak akan jadi jaminan langgengnya suatu hubungan Papi ku sayang, Kania dan Kak Randi contohnya. Pacaran lama tapi pada akhirnya mereka tidak yakin satu sama lain dan memutuskan untuk berpisah.” “Randi nggak konsisten aja. Suka dia cewek dalam satu waktu,” sindir Regan. “Aku sudah meyakinkan diri sendiri, dan aku yakin Dias memang lelaki yang tepat untukku. Dia penyeimbang yang baik.” Regan menatap lekat wajah Kalila. “Kal, kamu anak Papi selamanya akan seperti itu. Papi janji, siapapun yang menyakitimu akan berhadapan langsung dengan Papi.” Kalila terkekeh. Regan memang sudah membuktikan ucapannya, yaitu dengan menjauhkan kedua putrinya dari Randi. Randi yang sudah di cap red flag oleh Regan, tidak lagi diberikan kesempatan untuk mendekati Kania maupun Kalila. Regan seolah memasang tembok tinggi untuk melindungi kedua putrinya dari lelaki yang di cap plin-plan olehnya. “Kal percaya.” Kalila menganggukan kepalanya. “Jika suatu hari Dias menyakitimu, Papi akan membawamu pulang dan tidak akan membiarkan lelaki itu kembali. Meski dia memohon sekalipun. Ingat janji Papi, Kal.” Kalila kembali menganggukan kepalanya. “Iya Papiku yang paling cerewet.” Saat Kalila memutuskan untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius, Regan adalah orang yang paling panik sekaligus ketakutan. Hal yang seharusnya dirasakan oleh seorang ibu. Tapi karena rasa bersalah yang selalu ada dalam hati Regan pada Kalila membuat Regan selalu ingin melindunginya. Regan menganggap dirinya gagal dalam membahagiakan Kalila sejak masih dalam kandungan Venus. Hingga akhirnya perasaan bersalah itu terus tertanam dalam hatinya hingga saat ini. Sikapnya mungkin dianggap tidak adil oleh Kania, yang menganggap Regan jauh lebih menyayangi Kalila dibanding dirinya, tapi sebenarnya Regan sama-sama mencintai kedua putrinya. Setelah kepergian Regan, datanglah tamu yang selama ini selalu ditunggu kehadirannya oleh Kalila, yaitu adiknya Kania. Nia datang dengan sendirinya, padahal biasanya Nia selalu menolak saat Kalila mengajaknya bertemu. “Nia, masuk.” Kalila mempersilahkan Kania masuk, ke ruang kerjanya. “Papi barusan dari sini, kenapa nggak bareng?” Kalila selalu merasa senang saat Kania mau membuka diri untuknya meski Nia pelit bicara dan pelit senyum. “Sengaja nggak bareng.” balasnya singkat. “Mau makan nggak? Biar aku pesankan.” “Nggak. Minum aja.” “Oke. Tunggu sebentar ya?” Meski Kania hanya memesan minuman tapi Kalila justru memesan beberapa menu andalan yang ada di restorannya. “Aku datang hanya ingin menawarkan diri, siapa tahu kamu butuh bantuan untuk acara pernikahan nanti.” Ucap Nia datar. “Tentu. Aku sangat butuh bantuanmu.” “Kalian yakin akan menikah?” Tanya Nia “Tentu, kenapa?” Kania menggeleng. “Nggak, hanya bertanya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD