7. Perkenalan yang baik

1108 Words
“Mah, kenalin ini Kalila,” dengan canggung dan malu, Kalila mengulurkan tangannya pada wanita paruh baya yang panggil Mamah oleh Dias. Meski usia Dias dan Kalila hanya terpaut tiga tahun saja, tapi orang tua Dias jauh lebih tua dibanding dengan orang tuanya. Mungkin karena kedua orang tuanya menikah di usia masih muda atau mungkin Dias memiliki kakak tidak seperti Kalila yang merupakan anak pertama. “Kalila, Tante.” untuk pertama kalinya Kalila merasa dirinya benar-benar gugup saat bertemu seseorang. Jika selama ini ia sering bertemu dengan berbagai macam pengunjung cafe dari mulai warga bisa sampai pejabat penting sekalipun, Kalila tidak pernah merasakan yang namanya gugup. Tapi kali ini luar biasa gugupnya. Kalila ingin mencari cermin dan melihat penampilannya saat ini. Apakah terkesan malu-maluin, atau sudah pas. Kalila tidak mempunyai persiapan apapun saat Dias mengajak ke rumahnya. Kalila mengira hanya pertemuan biasa saja, ternyata tidak. “Rani.” Balas wanita paruh baya yang meski usianya sudah tidak muda lagi, tapi ia tetap terlihat anggun dan cantik. “Ini Papah aku, Iskandar.” Dias memperkenalkan seorang lelaki yang juga terlihat begitu ramah dengan senyum persis seperti Dias. “Kalila, Om.” “Iskandar,” balasnya. “Ayo, kita kenalkan Kalila ke yang lain.” Ajak Rani, yang langsung menggandeng tangan Kalila menuju ruang tamu dimana beberapa orang sudah menunggu kedatangan Kalila dan Dias. . Kalila menoleh ke arah Dias, ia tidak bisa menutupi kegugupan di wajahnya tapi seolah mengerti bagaimana perasaan Kalila saat ini, Dias pun tersenyum dan menganggukan kepalanya seolah mengisyaratkan Kalila bahwa semuanya baik-baik saja. Kalila dikenalkan pada beberapa orang lainnya, diantaranya kedua kakak Dias yang satu perempuan dan satunya laki-laki. Mereka sangat baik menerima kedatangan Kalila, membuat kecanggungan yang sebelumnya terasa begitu menakutkan perlahan mulai mengikis. “Kal,” panggil Rani. “Sering-seringlah main kesini,” Ucapannya lagi. “Iya. Kapan-kapan Kalila kesini lagi.” Rani menganggukkan kepalanya. “Nanti Tante masak yang enak-enak untuk kamu.” “Kalila jago masak, Mah. Dia chef sekaligus pemilik restoran terkenal.” “Benarkah?” “Nggak terkenal, hanya restoran biasa. Dias bohong,” Kalila merasa usahanya masih dalam tahap merintis, meski beberapa orang sudah memasukan nama restoran Kalila sebagai salah satu restoran terkenal di Jakarta. “Mamah tahu Fun cafe? Restoran sekaligus cafe yang terkenal itu?” “Tau, itu punya Kalila?” “Iya.” Kalila tersenyum samar. “Masih dalam tahap merintis.” “Hebat sekali. Tante pernah dengar dari salah satu teman, katanya makanan disana enak-enak.” “Kapan-kapan Tante main ke sana, ya?” Ajak Kalila. “Tentu.” Masa perkenalan yang begitu singkat tapi Dias terkesan gerak cepat membuat Kalila begitu menikmati proses yang terjadi diantara mereka. Proses pendekatan yang berjalan sebagaimana mestinya. Meskipun mereka tidak memiliki banyak kesamaan, tapi Dias penyeimbang yang baik. Pembawaannya yang jauh lebih dewasa membuat Kalila merasa nyaman. Entah sudah berapa kali Dias mengalah untuk Kalila. Dias pun lelaki yang tidak pelit senyum, salah satu hal yang sangat disukai Kalila dari sosok Dias. Dia menceritakan bahwa dia anak bungsu dari tiga bersaudara, kedua kakaknya sudah menikah dan memiliki kehidupan rumah tangga masing-masing. Jadi tinggallah Dias seorang, si anak bungsu yang belum menikah. Itulah sebabnya Dias mengalami banyak tekanan dari kedua orang tuanya dan kedua kakak-kakaknya, agar ia segera menikah karena usianya sudah sangat matang. “Aku tidak memaksa, Kal. Tapi lebih cepat, lebih baik.” Ucapnya setiap kali obrolan mereka mengarah ke pernikahan. Jujur saja Kalila masih belum siap menikah, tapi hubungan yang terjalin sudah terlanjur dekat dan melibatkan keluarga, sudah pasti hubungan tersebut mengarah ke jenjang yang lebih serius. “Keluargaku tidak semenakutkan itu, kan?” Dias menoleh disela mengemudi, saat hendak mengantar Kalila pulang. “Iya. Tapi aku gugup,” “Aku tahu,” Dias mengusap lembut kepala Kalila. “Wajahmu kelihatan pucat kalau gugup.” Gias tersenyum. Sementara Kalila hanya menghela lemah. “Pecah telor ya?” Kalila kembali menganggukan kepalanya sebagai jawaban. Keluarga Dias memang menerima Kalila dengan baik, salah satu tanda bahwa mereka tidak keberatan dengan kedekatan yang terjalin diantara keduanya, tapi lain halnya dengan Regan. Lelaki itu selalu memasang wajah masam dan galak saat Dias datang berkunjung ke rumahnya. Sikap yang terkadang membuat Kalila gemas, karena sebelum statusnya dan Dias berubah menjadi pacar, Regan bersikap baik pada Dias. Sebagai salah satu rekan bisnisnya, tentu saja Regan harus bersikap sopan dan baik. Tapi setelah status Dias bertambah, sikap Regan justru ikut berubah. “Mau mampir?” Tawar Kalila saat Dias mengantarnya sampai lobi apartemen. “Nggak usah, udah malam. Lebih baik kamu istirahat.” Kalila membuka sabuk pengamannya, dan hendak keluar dari dalam mobil sebelum akhirnya Dias menahan satu tangan Kalila. “Kal.” Panggilnya. Kalila menoleh, “Kenapa?” Tiba-tiba saja Dias mendekatkan wajahnya dan mencium pipi Kalila dengan lembut. “Selamat malam. Sampai ketemu besok.” Seketika wajah Kalila memerah. “Oh,, iya.” Kalila menganggukan kepalanya dengan gugup dan segera bergegas turun. Dias kembali melakukan mobilnya, meninggalkan Kalila yang masih berdiri dengan satu tangan melambai ke arahnya. Setelah memastikan lelaki itu pergi, Kalila mengusap d**a, jantungnya berdegup kencang! Ya ampun! Kenapa Dias begitu mudah meluluhkan hatinya? Mungkin Dias memiliki banyak mantan yang membuatnya bisa bersikap semanis itu. Atau jangan-jangan sikap manisnya tidak hanya pada Kalila, tapi juga pada wanita lain? Kalila sering dihantui banyak pertanyaan yang terkadang membuatnya merasa tidak percaya diri. Tapi Dias selalu berhasil meyakinkannya bahwa saat ini hanya Kalila seorang yang dekat dan ada di hatinya. Saat ini Kalila tinggal sendirian di sebuah apartemen yang dibelikan Regan. Tapi hampir setiap minggunya Venus atau Regan datang bergantian. Bahkan lebih sering datang bersama. Seperti hari ini. Kalila mendapat informasi dari salah satu resepsionis yang sudah akrab dengannya, bahwa Regan dan Venus sudah menunggu kepulangan Kalila sejak tadi. Kalila hanya tersenyum samar sambil menggelengkan kepalanya. Ia akan kembali mendapat berbagai pertanyaan yang membuat Kalila pusing sendiri menjawabnya. Selain pertanyaan yang sama juga pasti akan terus diulang-ulang seolah Kalila sedang berbohong. Kalila memberitahu mereka berdua bahwa malam ini ia akan berkunjung ke kediaman keluarga Dias, bisa dipastikan Regan tidak akan bisa tenang sebelum mengintrogasinya. “Kal, kamu sudah pulang?” Regan langsung menghampiri Kalila saat mendengar pintu terbuka. Sementara Venus duduk di sofa depan televisi. “Iya. Kapan kalian datang?” Kalila membuka sepatunya tapi setelah itu Regan langsung menariknya menuju sofa dan sesi interogasi akan segera dimulai. “Bagaimana mereka? Kamu di apain aja? Bagaimana sikap mereka? Baik, kan?” “Pih, tunggu dulu. Kalila haus.” Kalila sengaja mengukur waktu, senang melihat wajah ayahnya yang terlihat panik. “Tunggu, Papi ambilkan.” Ucapnya dan segera berjalan menuju lemari pendingin. “Dia kayak ayam bertelur, nggak mau diem dari tadi.” Bisik Venus yang membuat kedua wanita itu tertawa bersama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD