6. Kalila yang dikorbankan

1217 Words
“Kamu kenal Ardias?” Selidik Venus. “Kami sudah saling kenal,” Ardias tahu namanya disebut langsung menghampiri. “Cukup dekat.” Lanjutnya dengan senyum penuh arti. “Saya tidak tahu kalau Kalila anak Ibu Venus dan Pak Regan.” “Kalian dekat?” Kali ini Regan mendekat. dengan tatapan menyelidik, Regan menatap ke arah Dias dan Kalila secara bergantian. “Iya, Pih. Dekat biasa,” balas Kalila dengan senyum samar. “Masih dalam tahap pendekatan,” tapi Dias justru terlihat tidak canggung untuk menunjukan kedekatan diantara mereka berdua. “Pendekatan?” Kening Regan kian mengerut. “Benar, saya ingin mengenal Kalila lebih dekat. Kebetulan Pak Regan dan Bu Venus ada disini, bisa sekalian izin.” Dias dengan sopan mengutarakan niat hatinya. Bahkan tidak sedikit pun terlihat keraguan dimatanya. Sementara Regan justru bersikap sebaliknya ia terlihat begitu waspada. “Kal bawain nasi kotak, boleh dibagikan ke yang lain. Sudah waktunya jam makan siang.” Waktu sudah menunjukan pukul dua belas lebih tiga puluh menit, belum melewati batas jam makan siang. Dibantu oleh Sari dan petugas keamanan, Kalila membagikan makanan ke beberapa orang yang ikut menghadiri meeting kali ini. “Kal, ikut Papih.” Ajak Regan dengan menarik satu tangan Kalila, sebelum Dias kembali mendekati Kalila. Diikuti oleh Venus dan Kania dari belakang, mereka berempat menuju ruang kerja Regan. “Siapa dia? Kenapa kalian bisa saling kenal?” Selang beberapa detik setelah pintu tertutup, Regan langsung memberondong Kalila dengan banyak pertanyaan. “Jangan lupa makan, Pih. Sesi interogasi nya bisa pelan-pelan.” Venus memberikan satu kotak nasi pada Regan. “Duduk sini,” Regan seperti tidak sabar dan menarik Kalila duduk disampingnya. “Pih, Bu, aku makan di luar ya?” Ucap Kania yang juga sudah membawa satu bok nasi. “Disini saja, Nia.” “Aku mau makan di luar aja, Kak. Nanti kesini lagi.” Seberapa besar usaha Kalila mencoba mendekati Kania, ia justru tetap menjauh. Sulit sekali mendekatinya, meski Kalia sudah menggunakan berbagai cara. “Biarkan saja,” balas Regan, yang ternyata ucapannya itu masih bisa didengar jelas oleh Kania. Nia hanya tersenyum samar dan jauh dalam hatinya ia semakin yakin, bahwa anak kesayangan kedua orang tuanya hanya Kalila. Lihatlah betapa paniknya Regan saat tahu Kalila dekat dengan seorang lelaki. “Kal, jawab Papi!” Kalila menoleh saat Regan kembali menarik dagunya, dimana Kalila menatap sedih ke arah Kania. “Jawab apa?” Kalila balik bertanya. “Papih kenal siapa Dias, bahkan kalian ada di satu tempat yang sama, meeting bareng. Artinya Papi kenal Dias, dong!” Balas Kalila. “Dia salah satu rekan bisnis Papi, bukan pemilik sih, Dias hanya salah satu orang kepercayaannya. Tapi menurut informasi yang Papi tau, usaha yang dijalankannya adalah usaha keluarga.” Kalila menganggukan kepalanya, ia justru tidak tahu seluk beluk usaha yang dijalankan Dias karena bagi Kalila terlalu dini untuk menanyakan hal tersebut. “Menurut Papi dia orangnya gimana?” Kalila tersenyum jahil, dan menoleh ke arah Venus. “Dias baik, selama bekerja sama dengan kami dia adalah orang yang bisa dipercaya dan bertanggung jawab. Hampir satu tahun ini kami menjalani kerja sama dan tidak ada kendala.” balas Venus, ia menyuapi suaminya dengan satu sendok penuh nasi, sebab Regan tidak kunjung membuka kotak nasi miliknya. Regan lebih tertarik dengan sesi interogasi nya pada Kalila. “Menurut Papi, gimana? Tadi versi Bubu, sekarang giliran Papi.” “Anaknya baik dan benar kata Bubu, dia sangat bertanggung jawab.” “Boleh dong kalau Kal dekat sama dia?” Kalila senang melihat wajah cemberut Ayahnya, Dimata Kalila itu terlihat sangat menggemaskan. “Kenapa cemberut, kan cuman dekat aja.” “Dia bertanggung jawab dalam hal pekerjaan, tapi Papi nggak tahu apakah dalam hal lain dia juga bertanggung jawab. Misal pada komitmen hubungan.” “Kal bilang kan dekat, bukan berarti menikah dalam waktu dekat. Saling mengenal saja, kalau nggak cocok bisa putus.” “Tapi, Kal.” Regan terlihat enggan menyetujui, tapi saat menoleh ke arah istrinya yang menganggukan kepala, Regan hanya bisa menghela lemah. “Hanya sampai tahap dekat, Kal. Nggak sampai menikah!” Tegas Regan. “Papi mau aku jadi perawan tua?!” “Bukan begitu, Kal.” Rasanya masih sulit menerima bahwa Kalila kecilnya kini sudah tumbuh menjadi wanita dewasa. Bahkan Kalila sudah memiliki penghasilan dan usaha sendiri yang bisa memenuhi segala kebutuhannya. Kalila pun sudah memiliki karyawan yang memang jumlahnya tidak sebanyak karyawan Regan di kantor, tapi semua jerih payah Kalila dilakukannya sendiri tanpa bantuan Regan ataupun Venus. “Kalau begitu boleh, ya?” Kalila tersenyum jahil. “Bilang Papi kalau dia macam-macam!” Kalila dan Venus sama-sama tertawa. Kalila tahu kekhawatiran yang dirasakan Ayahnya saat ini, apalagi setelah insiden dua tahun lalu saat Kania membatalkan acara pertunangannya dan Randi. Kalila dijadikan alasan batalnya pertunangan itu, padahal Kalila tidak pernah tahu bahwa Randi juga mencintainya. Kisah lama yang pasti masih teringat dalam benak Kalila dan keluarganya. Bahkan keluarga Randi pindah rumah selang satu bulan setelah batalnya acara pertunangan waktu itu. Hubungan persahabatan Venus dan Dita berantakan karena ulah anak mereka masing-masing. Kalila hanya menghabiskan setengah makanannya, lantas kembali menuju ruang meeting dimana Dias menunggunya. “Belum pulang?” Tanya Kalila saat ia menemui Dias. “Tunggu kamu.” Dias tersenyum samar. “Makanannya enak, sampai habis nggak tersisa.” Dias menunjukan kotak nasi miliknya yang sudah habis tidak tersisa. “Enak atau lapar?” “Bisa jadi keduanya.” Dias terkekeh. “Aku baru tahu kamu anak Pak Regan dan Bu Venus, artinya kamu adik Kania?” Kalila tertawa. “Aku kakaknya. Kelihatan kecil ya?” “Serius?! Kamu kelihatan kayak adiknya.” “Kania lebih tinggi dariku, makanya banyak yang mengira aku adiknya.” “Buka karena itu, Kal. Tapi karena kamu kelihatan jauh lebih muda.” “Dih bohong! Aku kasih tahu Nia ya, kamu ngatain dia tua.” “Kenyataannya, Kal.” Dias tertawa. Sepertinya proses pendekatan Dias tidak akan terlalu sulit apalagi setelah mendapat izin dari ayah Kalian. Ia hanya perlu mengenalkan Kalila pada kedua orang tuanya dan meyakinkan Kalila untuk menikah. Hanya tinggal satu langkah lagi, maka semua permasalahan yang terjadi akan selesai. “Mau pulang bareng? Mau ke restoran, kan?” Tanya Dias. “Iya. Aku bawa mobil sendiri ko,” tolak Kalila. “Kalau begitu sampai ketemu nanti sore, Kal.” Kalila menganggukan kepalanya. “Sampai ketemu nanti,” balasnya. Dan keduanya pun berpisah. “Kalila.baik banget, asli!” Dias menemui Panji, salah satu teman baiknya. “Lo kayaknya salah orang, Yas.” Balas Panji. Keduanya bertemu di salah satu cafe terkenal, di kawasan Kuningan. “Tapi gue nggak punya waktu lagi, gue butuh Kalila.” “Untuk bisnis Lo? Bagaimana dengan Ami? Dia pasti kaget tiba-tiba aja Lo nikah.” “Ami pasti ngerti, ko.” “Hebat, Lo jadikan Kalila tumbal, Yas.” “Nggak ada pilihan.” Dias menghela. “Kenapa nggak Lo deketin si Nia aja?” “Nia nggak menarik di mata gue.” Panji menyipitkan matanya. “Hati-hati, Lo terjebak dengan permainan yang Lo buat sendiri. Lo bisa aja jatuh cinta setengah mati sama si Kalila,” “Nggak. Gue akan usahakan nggak,” “Cinta nggak pilih sasaran, Man! Lo bisa aja bilang nggak sekarang, tapi suatu hari nanti kalau Lo ngemis-ngemis sama si Kalila baru tahu rasa Lo!” Dias hanya berdecak. “Gue nggak punya pilihan.” Ulangnya lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD