Dalam hidup kadang ada hari dimana kesialan datang bertubi-tubi. Dari pagi, sampai sore hari. Apapun yang dilakukan tetap salah, perasaan yang mencuat hari itu hanya emosi negatif. Dalam artian lebih singkatnya, hari tersebut bisa dibilang sial.
“Mbak Kal, bagaimana ini?” Tanya Stevi gusar.
Stevi salah satu karyawan kepercayaan Kalila, tugasnya yakni sebagai asisten pribadinya.
“Panggil chef Irman.”
“Baik.” Dengan gerakan cepat, Stevi langsung pergi dari ruangan Kalila, menuju dapur belakang dimana Irman berada.
Irman pun salah satu orang kepercayaan Kalila, tugasnya sebagai kepala chef yang mengatur bagian belakang, di bagian dapur. Kalila dan Irman sering berdiskusi berdua untuk membuat menu-menu baru di restoran milik Kalila supaya lebih variatif agar pengunjung tidak merasa bosan.
Selama dua tahun menjalani bisnis kuliner, pasang surut yang dirasakan Kalila cukup membuatnya menjadi pribadi yang lebih tenang saat masalah menghampiri. Seperti yang terjadi hari ini.
Kesalahan terjadi karena pihak customer salah mengkonfirmasi tanggal dimana mereka akan membooking restoran untuk sebuah acara. Tepatnya acara ulang tahun.
Kalila menyediakan paket ulang tahun atau acara lainnya, dengan konsep dan menu makanan yang bisa disesuaikan dengan tema yang diinginkan konsumen.
“Duduk.” Kalila mempersilahkan Irman dan Stevi duduk.
“Bagaimana awal mula kesalahan ini terjadi, coba ceritakan.” Kalila masih berusaha tetap tenang, sepertinya ia sudah terlatih untuk tidak bersikap berlebihan saat marah. Begitulah yang dipelajari Kalila selama ini. Mengalah adalah motto hidupnya.
“Mereka booking tempat untuk acara ulang tahun pernikahan tanggal enam belas, dengan tamu sekitar tiga puluh orang. Menu yang mereka pilih, Chinese food dengan tambahan empat porsi makanan tradisional.” Irman menjelaskan.
“Saya dan Stevi deal, semuanya berjalan sesuai prosedur bahkan mereka sudah mengirimkan uang DP. Tapi tiba-tiba pihak suaminya membatalkannya tadi pagi, dan minta waktunya diundur menjadi tanggal tujuh belas, dimana tanggal tujuh belas kita sudah ada reservasi lain dan tidak bisa di ganti. Dia ngotot, bahkan mengatakan kami tidak profesional.” tutur Irman.
“Saya sudah mencatat dan meyakinkan beliau tanggal serta menu yang harus kami siapkan. Kesepakatan awal tetap tanggal enam belas, tapi tiba-tiba minta di ganti ke tanggal tujuh belas. Nggak bisa, Mbak.” Stevi paling panik dan ketakutan apalagi dia orang pertama yang langsung mendapat komplain.
Kalila menganggukan kepalanya, “Orangnya sudah menghubungi saya tadi pagi.” Bukan hanya Stevi dan Irman saja, Kalila pun tidak luput dari amukan customer yang tidak terima penolakan pihak restoran Kalila.
“Dia tetap bersikeras, Mbak.” Lirih Stevi.
“Tidak apa-apa, kita bisa menolaknya. Karena kesalahan ada pada mereka, mengganti tanggal seenaknya saja. Untuk uang DP yang sudah mereka berikan, kita kembalikan saja.”
“Tapi, mereka mengancam akan menyebar luaskan restoran kita sebagai salah satu tempat yang tidak bertanggung jawab.”
“Tidak apa-apa. Kehilangan satu customer tidak akan membuat kita rugi, lagipula itu kesalahan mereka. Bukan kesalahan kita.”
Stevi dan Irman mengangguk secara bersamaan.
“Abaikan saja kalau dia menghubungi kalian, segera kembalikan uang DPnya.”
“Baik.” Stevi langsung membuka aplikasi perbankan dan ia akan segera mengembalikan uang DP pada di customer.
“Bagaimana dengan persiapan makanannya, semua bahan-bahan sudah kami siapkan, dan jumlahnya tidak sedikit.”
“Nggak apa-apa, buatkan saja nasi kotak, kita bagi-bagi ke orang yang lebih membutuhkan.”
“Kalian boleh keluar,” lanjut Kalila.
“Baik.” Kedua orang itu keluar dari ruang kerja Kalila, yang kini hanya menyisakan dirinya sendiri. Kalila menghela lemah, hal-hal seperti ini terkadang sering terjadi. Tidak jarang customer menganggap dirinya raja, bisa memesan dan membatalkan seenak udelnya saja. Belum lagi caci maki yang harus Kalila terima setiap kali kesalahan kecil maupun kesalahan yang tidak disengaja membuat Kalila akhirnya terbiasa mengalah dan minta maaf untuk kesalahan yang tidak pernah dilakukannya. Jika di pikir-pikir lagi, Kalila memang sering mengalah, bukan untuk orang lain tapi juga untuk keluarganya sendiri.
Hari ini benar-benar buruk, apalagi Kalila belum sempat sarapan dan harus mendengarkan ocehan orang yang tidak dikenalnya.
Sampai siang harinya Kalila dan beberapa karyawan lainnya menyiapkan nasi kotak yang direncanakan Kalila pagi tadi. Bahan makanan yang sudah terlanjur di olah tidak mungkin habis dalam satu hari oleh pengunjung apalagi bahan makanan yang mudah basi, harus dihabiskan hari ini juga. Daripada berakhir di tong sampah, lebih baik dimanfaatkan untuk keperluan lainnya.
Ponsel Kalila berdering saat ia tengah menyiapkan nasi kotak.
“Iya, Bu.” Venus, menghubunginya.
“Bubu lagi apa? Udah makan siang?” Kalila menyudahi kegiatannya membantu menyiapkan nasi kotak, ia lebih memilih untuk bicara dengan ibunya melalui sambungan telepon.
“Belum. Tunggu Papih, lagi meeting.”
“Bubu mau nasi kotak? Kebetulan kami buat banyak hari ini.”
“Wah enak kayaknya!” Seru Venus. “Bubu mau, sekalian buat rekan meeting Papih boleh?”
“Tentu. Berapa orang? Kal kirim sekarang.”
“Tapi Bubu maunya Kal yang antar sendiri.” Venus merajuk.
“Boleh. Buat Bubu apa sih yang nggak.”
“Asik!”
Kalila tersenyum mendengar seruan sang ibu dari seberang sana.
Venus memang sudah tidak begitu aktif di kantor, hanya sesekali saja dia datang untuk menemani suaminya. Kebetulan hari ini dia ada di kantor dan Kalila bisa mengirim beberapa kotak nasi kesana, sisanya akan dibagikan di beberapa titik dimana tempat orang-orang yang lebih membutuhkan berada.
“Stevi, tolong buatkan tiga puluh kotak untuk ke kantor Papi. Saya yang akan mengantarnya, untuk sisanya kalian bagikan saja ke beberapa tempat.”
“Baik Mbak.”
Dibantu oleh dua orang pekerja lainnya, Kalila merapikan tuga pulih kotak nasi ke dalam mobilnya.
“Kalian nggak usah ikut, biar saya aja yang bawa.”
“Baik, Mbak.”
Kalila enggan di panggil Ibu, ia lebih senang karyawannya memanggilnya dengan sebutan Mbak. Menurutnya panggilan Mbak jauh lebih akrab, daripada Ibu yang terkesan lebih formal.
Kalila sampai di lobi kantor Regan dimana kedatangannya sudah di tunggu Venus dan sekertaris Regan.
“Kal,” Venus langsung memeluk Kalila dan mencium kedua pipi Kalila. Venus masih menganggap Kalila adalah putri kecilnya, bukan lagi gadis dewasa yang sudah siap menikah.
“Papi masih meeting tapi dia tahu kamu akan datang.”
“Yah,, Kal kira bakal jadi kejutan.”
“Tapi Papih nggak kalah senang kamu datang hari ini. Lihat ini,” Venus menunjukan chat dari suaminya diman Regan terus menanyakan kedatangan Kalila.
“Nyebelinnya awet ya?” Kalila meringis pelan.
“Kayaknya emang udah mendarah daging, nyebelin dan Papi udah satu paket.”
Venus dan Kalila tertawa bersama.
“Ayo kita ke atas!” Ajak Venus.
Nasi kotak di bawa oleh seorang petugas keamanan dan Sari, sekretaris Regan. Sementara Venus menggandeng tangan Kalila dengan begitu erat. Sampai akhirnya mereka sampai di ruang meeting yang kebetulan baru saja selesai. Regan langsung menghampiri Kalila.
“Anak Papi,” Regan tanpa ragu memeluk Kalila.
“Makin cantik aja!” Pujinya.
“Papi makin tua aja.” Balas Kalila dengan senyum jahil.
“Kalau muda terus vampir dong!”
Kalila tertawa.
Bola mata Kalila menelusuri ruang meeting dimana masih ada beberapa orang disana. Tatapan Kalila tertuju pada kursi dimana Kania berada.
Adiknya itu tengah berbincang dengan seseorang yang tidak asing lagi bagi Kalila.
“Kalila,”
“Dias.”
Keduanya saling menyebut nama masing-masing.