Dias lebih sering menghubungi Kalila setelah pertemuannya hari itu. Intensitas kedekatan mereka pun sedikit membaik. Tidak seperti saat di awal, Dias terkesan acuh dan tidak begitu tertarik pada Kalila, tapi setelah bertemu lelaki itu semakin menunjukan rasa ketertarikannya pada Kalila.
“Maaf ya, waktu itu aku langsung ngajak kamu ketemu keluargaku. Kesannya sangat terburu-buru.”
Sepulang dari kantor, Dias mampir ke restoran Kalila.
Beruntung tamu tidak terlalu banyak, Kalila bisa menemani Dias menikmati hidangannya. Setelah diperhatikan, ternyata Dias memiliki selera makan yang cukup unik. Dia menyukai berbagai jenis makanan, bahkan dia mengatakan apapun makannya asal tidak beracun, Dias bisa menikmatinya. Tapi Dias tidak pernah mengganti menu yang dipesannya setiap kali datang ke restoran Kalila. Alasannya cukup sederhana. “Aku jarang ganti menu, kalau sudah suka itu ya itu aja.” Jelasnya saat Kalila menanyakan mengapa Dias tidak memesan makanan lain.
“Nggak apa-apa.” Kalila tersenyum samar.
“Pasti kaget ya?”
“Sedikit.”
Untuk membuat suasana nyaman minum canggung, Kalila pun ikut memesan makanan. Jam makan malam masih satu jam lagi, tapi tidak apa-apa. Daripada ia terlihat aneh dengan hanya menunggu Dias makan.
“Aku sudah pernah melihatmu beberapa kali, tapi aku nggak berani nyapa.”
“Oya? Kapan?”
“Waktu acara ulang tahun perusahaan Kak Rafa dan satu lagi waktu acara ulang tahun Kayla. Sudah cukup lama tapi aku nggak punya keberanian menyapa terlebih dulu, malah minta Kay buat comblangin.”
Tampang dan penampilan Dias rasanya tidak perlu membutuhkan Mak comblang untuk sekedar berkenalan. Kalila yakin senyum manis Dias mampu membuat wanita menerima uluran tangannya dengan mudah. Tapi mungkin tidak akan berlaku pada dirinya, karena Kalila akan menahan diri mati-matian agar tidak terlihat kecentilan.
“Tapi aku akan tetap mengajakmu bertemu keluargaku secepatnya.”
Cepat dalam artian satu bulan atau dua bulan, karena Kalila tidak mungkin mengenalkan Dias dalam waktu dekat kalau tidak mau ayahnya pasang taring dan langsung menyelidiki Dias sampai ke akarnya. Kegagalan Kania sudah membuat Regan bersikap waspada pada setiap lelaki yang mendekati kedua putrinya.
Kalila merasakan betul bagaimana perubahan Regan, karena setiap kali ia mengunjungi kedua orang tuanya, pertamanya yang sering Regan ucapkan adalah, “Kamu sudah punya pacar? Kenalkan sama Papi,”
Nada bicaranya biasa saja, tapi tatapan maut yang terlihat dari kilatan kedua mata Regan sudah menjelaskan bahwa tidak akan mudah mendapat restu darinya.
“Kenapa kamu buru-buru ingin mengenalkanku pada keluargamu? Kita baru kenal kemarin, belum ada satu bulan.” Selidik Kalila.
“Aku sudah terlalu tua untuk bermain-main, Kal
Hubungan yang serius akan membuat hidupku memiliki tujuan.” Alasan yang sangat masuk akal. Tapi Dias terlalu berlebihan jika menyebut dirinya tua, sebab bisa diyakini usianya belum mencapai kepala tiga.
Hubungan yang menjurus ke arah serius adalah tujuan Kalila.
Baginya hubungan tanpa tujuan hanya buang-buang waktu saja.
Saat ini Dias menawarkan hubungan serius, meski begitu Kalila tidak akan langsung menganggap hubungan mereka akan berhasil.
Tapi setidaknya Dias sudah menunjukan keseriusannya dalam menjalin hubungan.
“Mungkin nggak dalam waktu dekat banget, aku belum siap.” Tolak Kalila.
“Nggak apa-apa. Aku bisa menunggu kamu siap.”
Beruntung Dias tidak memaksa. Karena Kalila butuh waktu sedikit lebih lama lagi untuk meyakinkan hatinya. Pembawaan Dias yang begitu tenang dan dewasa membuat Kalila cukup nyaman dengannya.
Dari awal perkenalan sampai hari ini Kalila tidak melihat tanda-tanda aneh yang mengarah pada sisi negatif Dias.
Dias pamit pulang.
“Aku pulang dulu, Kal. Sampai ketemu lagi besok atau lusa.” Pamitnya.
“Iya. Hati-hati.”
Dias mengangguk dan melambaikan tangannya menuju mobil putih yang terparkir di area depan restoran. Kalila tau hubungannya masih terlalu dini untuk masuk dalam kategori saling cinta tapi untuk saat ini Kalila sudah masuk dalam tahap nyaman.
“Gimana Dias, oke kan?” Tanya Kay dari seberang sana, saat Kalila hendak menutup restoran. Kay menghubunginya.
“Oke dari segi apa nih?” Balas Kalila dengan senyum.
Kalila menginstruksikan pada beberapa karyawannya untuk mengunci pintu dengan aman dan memastikan tidak ada gas yang masih menyala. Setelah semuanya aman dan lampu dimatikan, Kalila dan berdoa karyawan lainnya menutup restoran dan mereka pulang bersama. Setiap harinya Kalila melakukan hal yang sama. Datang seperti karyawan lainnya dan pulang pun sama-sama. Kalila jarang meninggalkan restoran kecuali ada urusan mendadak yang tidak bisa diwakilkan. Kalila selalu memantau secara langsung perkembangan restorannya, bukan karena ia termasuk dalam golongan bos ketat cap kening size S. Kalila justru termasuk dalam kategori bos yang menyenangkan. Tidak jarang Kalila sering memberikan bonus pada setiap pencapaian yang mereka lewati bersama.
“Semuanya, Kal. Tampang, dompet dan masa depan.”
Kalila menyalakan mobil dan menyetel ulang sambungannya agar bisa menelpon tanpa harus memegang ponsel. Ia tidak mau membahayakan diri dengan berkendara sambil menggunakan ponsel, bukan hanya bahaya bagi dirinya saja tapi juga penghuni jalan lainnya.
“Ganteng, kan?” Tanya Kay lagi dengan nada menggoda.
“Iya. Ganteng,” jujur Kalila.
Tawa Kay menggema dari seberang sana.
“Jodoh emang nggak akan salah alamat, Kal. Yang cantik emang pasangannya yang ganteng.”
Filosofi dari mana itu?
Banyak pasangan yang memiliki kekurangan satu sama lain. Misal dari segi fisik, yang satu cantik dan satu lagi menarik. Tapi dalam sebuah hubungan bukan hanya soal fisik saja tapi tentang kenyamanan hati.
“Ngawur.” Balas Kalila.
“Kalau Lo bosen sama obrolannya yang sedikit absurd, Lo bisa pelototin aja wajah indahnya dan otot yang enak buat di jadikan sandaran.”
Sulit mengharapkan Kay bicara serius, tapi itulah saya tarik Kay. Dia tidak seperti Kalila yang selalu memikirkan segalanya dengan matang, tapi Kay seperti petasan. Meledak begitu saja.
“Dia ngajak ketemu keluarganya,”
Kalila tidak menghiraukan gurauan Kay.
“Gercep amat si Abang ini, jangan-jangan habis kenalan sama keluarga besarnya besoknya kalian nikah.”
Kalila tertawa.
“Nggak lah, Kay. Dias harus lolos seleksi ala Papi dulu.”
“Wah gue harap Dias lolos sih, meski tatapan bokap Lo setajam pedang Arthur.”
Kalila terkekeh. Ayahnya tidak seseram itu, hanya saja mode siaganya bisa membuat seseorang merasa tidak nyaman.
“Dia nggak ada kelainan kan, Kay. Misal ngajak nikah pura-pura serius padahal dia sedang menghindari sesuatu. Misal dia terpaksa cepat menikah karena paksaan atau jangan-jangan dia pecinta sesama batang?”
“Lo keseringan nonton berita yang nggak bermutu deh, Kal. Dibuntingin Dias baru tahu rasa Lo!”
Analisis Kalila tentu beralasan, banyak lelaki menyimpang di zaman sekarang dan berpura-pura normal hanya untuk menutupi penyimpangan yang dialaminya. Menjebak seorang wanita untuk menutupi aib yang akan menghancurkan reputasinya.
“Dias normal, Kal. Dia suka cewek ko. Malah gue denger dia pernah menjalin hubungan sesama seseorang, dulu.”
“Terus mereka putus?”
“Katanya sih iya. Kalau nggak salah orang tuanya nggak setuju.”
“Orang tua siapa?”
“Dias.”
Ketakutan mulai menyerang, mungkin hal serupa akan terjadi pada Kalila saat bertemu keluarga Dias nantinya.