3 Pandangan pertama

1142 Words
Hari yang dianggap konyol oleh Kalila pun akhirnya tiba. Setelah mengatur waktu dengan jadwal di restoran, akhirnya Kalila, Kayla dan Dias. Mereka sepakat untuk bertemu di restoran milik Kalila. “Konyol banget,” Kalila menatap Kay yang tengah menikmati makanannya. Entah terbuat dari apa perut wanita itu, karena setiap kali datang Kay selalu memesan menu yang sama dengan porsi besar. Boleh saja Kay mengaku kenyang, tapi wanita itu tidak akan bisa menolak makanan dari restoran milik Kalila. Tapi ia tidak pernah memanfaatkan kedekatan mereka dengan menikmati makanan secara gratis. Kay tetap membayar, bahkan tidak jarang Kay memberikan uang lebih untuk para pelayan restoran. “Gue nggak seharusnya ngikutin kemauan Lo untuk ketemu dia hari ini.” “Kenapa?” “Dia nggak tua kan, jangan-jangan dia kayak kakek-kakek. Gue dijodohin sama Datuk maringgih dong?!” Kay tertawa sampai tersedak. “Kal, Lo kayak manusia jaman old banget pake ngomongin Datuk maringgih segala. Ya ampun!” Kay menggeleng sambil terus tersenyum. “Dia teman baik gue, seharusnya umur kamu sepantaran. Beda dikit paling, tapi nggak bakal jomplang kayak Siti Nurbaya dan Datuk maringgih.” Tawa Kay kembali menggema. “Laki-laki seperti apa yang minta dijodohkan sama temannya? Apalagi lelaki zaman modern seperti sekarang ini yang sangat ahli dalam mencari pasangan, entah dari aplikasi atau berburu sendiri.” “Kenapa berburuk sangka banget, Kal. Gue hanya menjembatani kalian untuk saling mengenal bukan menjadi penghulu yang akan menikahkan kalian detik ini.” Kay meneguk minumannya. “Kalau suka silahkan lanjut, nggak cocok yaudah tinggalin aja. Simple kan, hanya kenalan loh Kal, bukan menikah.” Kay menekan mata menikah. Memang bukan menikah, tapi Kalila merasa dirinya seperti jomblo ngenes yang tidak laku. “Kenalan aja, oke?! Jangan selalu berburuk sangka. Dia baik, ko.” Kay meyakinkan. Beberapa hari lalu Kay memberikan nomor ponsel Kalila pada Dias. Keduanya sempat bertukar pesan. Hanya saling sapa, tidak lebih dari itu bahkan Kalila tidak menangkap sinyal lelaki itu tertarik padanya. Meski terlalu dini menyimpulkannya saat ini apalagi hanya dari sekedar bertukar pesan. Pertemuan kali ini disepakati Kalila beberapa hari lalu, sempat juga Dias mengirim voice note dan suaranya lumayan enak di dengar. Tapi Kalila tetap bersikap waspada, sebab suara tidak bisa menjadi patokan untuk menilai fisiknya. Foto profil yang digunakan Dias tidak berubah dari pertama kali Kalila menyimpan nomornya, gambar seorang lelaki dengan ajah menyamping. Dari sisi gambar itu diambil, wajahnya memang sudah mengarah pada ketampanan, tapi bisa saja lelaki itu menggunakan foto orang lain. Zaman digital seperti saat ini gambar-gambar seperti itu banyak ditemukan di berbagai aplikasi. “Dia nggak ganti foto profil.” “Memangnya ada kewajiban ganti foto kayak ganti celana dalam, Kal?” “Bukan.” Ya ampun Kay memang terkadang sulit diajak bicara, tapi terkadang juga obrolannya terlalu serius. “Bisa aja ia merasa wajahnya nggak terlalu ganteng, sampai nggak mau ganti foto profil.” “Lo juga gitu, Kal. Lo cantik, tapi Lo pasang foto makanan yang Lo buat. Memang hampir setiap hari Lo ganti, tapi sama aja kan, Lo nggak mengumbar wajah asli Lo!” “Gue ngerasa nggak laku,” keluh Kalila. “Udah sih, jangan mendramatisir keadaan. Gue udah bilang kan cuman kenalam aja, kalau Lo nggak suka besok Lo boleh blokir nomor dia dan gue bakal bantu cari cara melarikan diri dengan baik. Oke?” Kalila meraih ponsel yang sejak tadi disimpannya di atas meja. “Seharusnya dia sudah datang, tapi belum juga kelihatan. Kayaknya nggak jadi deh,” “Dia orangnya tepat waktu, Kal. Tunggu lima menit lagi,” Tapi saat Kalila kembali menutup ponselnya, Kay sudah terlebih dulu mengangkat tangannya yang membuat Kalila langsung menoleh ke arah pintu masuk. “Yas, sini!” Kay beranjak dari tempat duduknya hendak menyambut kedatangan Dias. Sementara Kalila tiba-tiba saja kebingungan sendiri. Bahkan di saat Dias berjalan mendekat, bisa-bisanya Kalila merapikan rambut dengan kedua tangannya secara asal tapi hanya itu satu-satunya cara untuk menutupi gugup yang mulai menyerang. “Maaf telat,” suara merdunya mengalun lembut memenuhi telinga Kalila, bahkan lebih merdu dari suara voice note beberapa waktu lalu. “Ini Kalila,” Kay memperkenalkan. “Dias,” lelaki itu mengulurkan tangannya dan disambut hangat oleh uluran tangan Kalila. “Kalila.” Dia bukan lelaki jelek, dekil banyak jerawat seperti yang ada dalam bayangannya. Dias rapi, bersih, wangi dan yang paling menonjol lelaki itu tampan. Kalila mengakuinya. Kalila menoleh ke arah Kay, wanita itu bersorak tanpa suara yang membuat wajah Kalila semakin memerah saja. “Kayaknya gue bakal ganggu acara perkenalan kalian. Kalau begitu, gue balik duluan ya.” Kalila ingin menahannya, tapi bibirnya kelu. “Baik-baik ya sama temen gue, kalau dia nangis gara-gara Lo, gue laporin sama Tante Arin.” Dias mengangkat ibu jarinya sebagai bentuk persetujuan. Kalila memandang Kay pergi seolah berharap wanita itu kembali dan duduk kembali bersamanya. Tapi sayangnya yang ada di hadapan Kalila justru Dias. Laki itu terlihat jauh tenang daripada dirinya. Ia lantas mengambil buku menu dan membolak-balik nya. “Di sini makanan yang paling enak apa? Maksudnya yang paling banyak dipesan orang-orang.” Tanya nya. “Yang ini.” Tunjuk Kalila pada salah satu menu yang paling best seller di restorannya. “Kamu nggak makan?” Tanyanya. “Nggak, tadi sudah makan bareng Kay.” “Saya makan dulu, nggak apa-apa kan? Belum makan siang.” “Silahkan. Semoga cocok dengan makanan disini.” Kalila memperhatikan Dias dengan seksama. Model lelaki seperti Dias pasti tidak akan butuh Mak comblang seperti Kay untuk dikenalkan pada seseorang. Dia sangat memenuhi kriteria lelaki idaman calon suami masa depan. Sudah sangat lengkap apalagi Kay sempat menceritakan latar belakang keluarga Dias. Lalu kenapa dia bersusah payah minta dikenalkan? “Makanannya enak.” Dias mengusap mulutnya dengan tisu saat sudah menghabiskan makanan yang dipesannya tadi. “Terima kasih.” “Kamu yang membuat resepnya?” Kalila mengangguk. “Iya, selanjutnya saya memberikan resep pada chef.” “Enak. Semuanya pas.” Obrolan selanjutnya tidak terlalu membosankan meski Kalila tahu bahwa ia tidak pandai mengimbangi obrolan Dias. Lelaki itu lebih mendominasi sementara Kalila lebih banyak menjawab. Sejauh ini Dias lelaki yang menyenangkan, itu hal pertama yang mampu Kalila tangkap. “Minggu depan ada acara?” Tanya Dias. “Minggu depan? Belum tahu, aku harus lihat jadwal dulu.” Karena Kalila pemilik restoran, ia harus menyesuaikan kegiatannya dengan hal-hal yang menyangkut usahanya. Kalila tidak bisa pergi begitu saja, meninggalkan tanggung jawabnya. “Atau kapan punya waktu luang?” “Belum pasti. Aku tidak bisa memastikannya. Kenapa?” Tanya Kalila. “Aku ingin mengajakmu ke rumahku.” Jantung Kalila terasa berhenti seketika. “Ke rumah?” “Iya.” Dias tersenyum mengiyakan. Senyum yang terlihat begitu manis dan semakin menambah ketampanannya. “Apa tidak terlalu terburu-buru? Maksudku,” “Kita bukan anak remaja kemarin sore, kamu pasti paham maksudku, kan?” “Tapi,” “Aku akan menunggu waktu luangmu. Terserah kapan. Besok atau lusa juga nggak apa-apa. Lebih cepat, lebih baik.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD