Episode 3 : Demi Edelwais

1977 Words
“Hidup enggak melulu mengenai cinta dan kepuasan semata! Karena dalam hidup ini, kita juga harus memikirkan perasaan orang lain khususnya perasaan orang-orang yang kita sayangi!” Episode 3 : Demi Edelwais **** Bubu melangkah tergesa, menelusuri sebuah lorong rumah sakit elite yang terbilang kelewat sepi. Susah payah pria itu meredam emosi, mengatur napas pelan di tengah kesibukannya mengabaikan sosok pemuda di belakangnya. “Please, Bu!” Lantangan tersebut sukses membuat Bubu merasa dongkol. Tangan Bubu mengepal di sisi tubuh, berangsur terangkat, tak lama setelah pria bermata sipit itu juga berhenti melangkah. “Please, Bu.”  Raga, pemuda itu bersimpun, terengah-engah di hadapan Bubu. “Harus gimana lagi aku jelasin ke kamu, Bu? Konferensi pers itu demi masa depan karier kami. Aku sayang Edel, banget. Sumpah!” “Tapi kamu enggak bisa meninggalkan Honny. Hubungan kalian nyata! Kamu mengorbankan Edel!” Bubu menggeleng tak habis pikir. Kemarahan yang mati-matian ia tahan membuatnya enggan, tak sudi untuk sekadar melirik Raga. “Enggak ada lagi yang perlu dijelaskan, karena semuanya sudah sangat jelas, Ga!” Raga menengadah, menatap tak habis pikir lawan bicaranya. “Kurang apa aku, Bu? Aku sudah ngemis, nyembah-nyembah ke kamu. Begini balasanmu?” Balasan Raga membuat Bubu meradang. Ia menatap pemuda itu dengan dahi berkerut. “Kurang apa …? Kamu tanya, kamu kurang apa?” Bubu kembali menggeleng tak habis pikir seiring Raga yang berangsur berdiri. “Kalau aku minta kamu balikin Edel seperti dulu, kamu sanggup? Balikin langkah Edel! Balikin mental Edel! Balikin kebahagiaan keluarga Edel!” tegas Bubu dengan suara lantang. “Apa maksudmu …?” lirih Raga sambil menatap tak mengerti pria yang lebih tinggi darinya. Dirasanya, ada sesuatu yang sengaja orang-orang rahasiakan mengenai keadaan Edelwais yang sampai dirawat intensif di salah satu rumah sakit terpercaya, di Singapura. Bubu menghela napas, meredam kemarahan yang nyaris meledak. Tak mau kemarahannya benar-benar meledak dan membuatnya khilaf melampiaskannya kepada sang pelaku, pria muda yang mewarisi ketampanan seorang Rafael Veanso, selaku CEO sekaligus pemilik Veanzo Grup, yang bergerak di bidang perhotelan itu memilih berlalu. “Buana Harsa Rafin Veanso!” lantang Raga sambil menatap geram kepergian punggung Bubu. Bubu refleks menghentikan langkahnya, ia balik badan secara cepat bersama emosinya yang benar-benar meluap. Jaraknya dari Raga sekitar satu meter. “Edel lumpuh! Jiwanya terguncang! Itu kenapa orang tuanya mati-matian melarangmu menemui Edel!” tegas Bubu. Raga terdiam, tak percaya. Ia menggeleng beberapa saat, menegaskan apa yang tengah ia rasa. “Enggak mungkin. Edel enggak mungkin lumpuh ....” Bubu refleks menghela napas seiring ia yang sampai mengernyit, membuat kerut di dahinya kian bertumpuk. “Mobil yang Edel kendarai lompat dari jalan layang, dengan keadaan mobil hancur bahkan terbakar. Kamu tahu itu, Ga! Kamu bukan bayi lagi! Pakai otakmu buat kerja! Mikir!” “Hidup enggak melulu mengenai cinta dan kepuasan semata! Karena dalam hidup ini, kita juga harus memikirkan perasaan orang lain khususnya perasaan orang-orang yang kita sayangi!” “Berhentilah bersikap egois. Berhentilah meminta bahkan mengemis perhatian jika pada kenyataannya, kamu justru semakin tidak tahu diri!” Bubu bertutur penuh pengertian sekaligus penekanan. Raga tidak bisa menerima kenyataan. Ia kembali menggeleng sambil terus menatap Bubu, menepis anggapan pria itu. “Ini pasti hanya akal-akal kalian. Orang tua kalian sengaja mengarang cerita untuk memisahkanku dengan Edel ….” Raga tak kuasa berbicara dan melayangkan protesnya lagi, dikarenakan bogem dari Bubu sukses membuatnya tersungkur. “Setelah semua keegoisan yang kamu lakukan, kamu masih bisa menyalahkan orang lain, Ga?” tegas Bubu dengan keadaannya yang agak membungkuk tak lama setelah ia melayangkan bogem, membuat korbannya tak berkutik. “Perjodohan …? Baiklah!” Bubu mengangguk-angguk paham. Merasa mendapatkan ilham atas apa yang baru saja ia ucapkan. Ia meluruskan tubuh sambil mengipratkan kepalan tangan kanannya yang terasa cukup ngilu. “Aku akan membuat perjodohan di antara kami benar-benar ada.” “Aku akan menikahi Edel agar kamu tidak seenaknya mendekati, apalagi melukai Edel lagi!” “Kami benar-benar akan menikah. Tunggu saja tanggal mainnya!” Bubu menatap tajam Raga yang kini telah kembali menatapnya.  Sudut bibir kanan Raga memar dan berdarah akibat bogeman Bubu. Raga melepas kepergian Bubu bersama amarah yang susah payah ia redam. Tampak Bubu yang mengiprat-ngipratkan tangan kanan dan sepertinya pria itu sedang melakukan peregangan, setelah memberinya bogem mentah yang nyaris mematikan. Setelah memasuki lorong seberang, Bubu berhenti di depan sebuah ruang rawat yang di depannya dijaga oleh dua orang pria bersetelan hitam. Kedua pria berwajah kelewat tegas tersebut menyapanya dengan anggukan hormat. “Raga kembali datang?” tanya Bubu. Kedua pria tersebut langsung mengangguk membenarkan. Salah satu dari kedua pria berambut cepak tersebut menjawab. “Dia terus memaksa masuk, tapi kami tidak mengizinkannya.”  Bubu menanggapinya dengan anggukan. “Bagaimana keadaan Nona Edel?” Pria yang satu lagi langsung berkata, “Nona Edel tidak mau ditemui siapa pun. Nyonya dan Tuan juga ditolak. Selain itu, Nona Edel masih menolak makan dan … terapi.” Lantaran Bubu langsung menerobos masuk, kedua pria tersebut langsung menepi, memperlancar langkah pria muda itu. Apalagi boleh dibilang, Bubu menjadi satu-satunya orang yang masih Edelwais terima kedatangannya. **** Di ruang rawat yang kelewat sepi dan ia masuki, Bubu mendapati ranjang rawat Edelwais yang kosong. Akan tetapi, isak tangis yang terdengar dari sebelah kiri ranjang rawat, langsung membuat Bubu terjaga.  Bubu segera memutari ranjang rawat menuju sebelah kiri. Ia dapati, Edelwais yang memang ada di sana. Wanita yang ia cari tengah duduk selonjor dengan selang infus yang melilit leher. “Jangan sentuh aku, Bu. Aku mohon, tinggalin aku,” ucap Edelwais ketika Bubu jongkok kemudian bersimpuh di sisinya. Seperti biasa, pria yang sudah menjadi sahabatnya semenjak mereka kecil itu pasti akan membantunya, mengangkat tubuhnya tanpa kata-kata berarti. Bubu, pria itu memang menjadi mendiamkan Edelwais semenjak kecelakaan yang merengkuh langkahnya. Entah karena Bubu sangat marah, atau karena Bubu mengasihaninya? Bubu tak jadi merengkuh kemudian membopong tubuh Edelwais layaknya biasa. Selain itu, ia juga membiarkan wanita itu begitu saja. Bubu sengaja duduk di sebelah Edelwais. Ia meluruskan kakinya, memangku kedua tangannya yang sempat mendaratkan bogem kepada Raga. “Ayo kita menikah,” ucap Bubu masih belum menatap bahkan sekadar melirik wanita muda di sebelahnya. Edelwais terkesiap. Ia refleks menatap tak percaya pria di sebelahnya di tengah matanya yang masih basah. Dari tampangnya, Bubu terlihat sangat menderita. Sedih sekaligus tertekan. Bubu berangsur menoleh, membuatnya menatap Edelwais. “Ayo kita menikah!” Meski Bubu menatapnya tanpa ragu, pria itu teramat serius, Edelwais membalasnya dengan gelengan. “Enggak, Bu.” Bubu masih menatap Edelwais. “Ayo, kita menikah!” Edelwais tetap menggeleng. “Kapan?” lanjut Bubu. Edelwais menatap tak mengerti pria di sebelahnya. “Bu …?” “Aku capek lihat kamu terus melukai dirimu sendiri, Del.” “Mau sampai kapan? Memangnya, apa yang kamu dapatkan dari semua ini? Kamu enggak kasihan sama orang tua kamu? Adik-adikmu? Keluargamu?”  Edelwais tak kuasa menatap Bubu. Ia menunduk, terisak pilu. “Aku hancur, Bu ….” “Apa yang kamu harapkan dari Raga? Buka matamu! Harus berapa kali lagi, aku mengatakan semua ini? Dia bahkan enggak bisa memilih. Selalu begini. Masalah baru, masalah bertambah, kamu nangis, kamu menghukum diri sendiri, kamu mendiamkan semua orang, dan bodohnya, kamu masih mengharapkan Raga.” “Raga memang akan menikah! Dia akan menikah dengan Honny atau malah banyak wanita di luar sana!” “Cukup, Bu. Cukup, aku enggak mau dengar itu!” Edelwais sibuk menggeleng bersama kedua tangannya yang menekap telinga. “Cukup … aku enggak mau dengar apa pun … aku mau sendiri, Bu.” Edelwais terus merintih tanpa mengubah keadaannya. Bubu menghela napas dalam. Sebelah tangannya merengkuh kepala Eselwais, menyandarkannya pada pundaknya. “Kamu enggak boleh sendiri. Karena kami semua menyayangimu. Lupakan Raga, mulailah lembaran baru. Biarkanlah dirimu bahagia.” Kedua tangan Edelwais berangsur mendekap tubuh Bubu.  Kebersamaan mereka larut dalam keheningan. Tak ada kata, maupun rintih tangis layaknya sebelumnya. Cukup lama semua itu berlangsung, hingga Bubu memilih untuk menoleh, memastikan keadaan Edelwais. Seperti biasa, wanita itu akan tertidur ketika sudah lelah menangis, mengadu kepadanya. Di mana, jika keadaan sudah seperti itu, Bubu segera memboyongnya, membaringkan tubuh rapuh Edelwais kembali ke ranjang rawat. Tak lupa, meski ia bisa membenarkan infus, tapi ia tetap menekan nurse call, meminta perawat yang berjaga untuk memastikan keadaan Edelwais. Terhitung, sudah hampir satu bulan lamanya semenjak mobil yang Edelwais tumpangi terjun dari jalan layang, pemandangan Edelwais tak berdaya layaknya kini, memenuhi pandangan bahkan kehidupan Bubu.  Kenyataan tersebut pula yang membuat Bubu yakin, perjodohan sekaligus pernikahan antara dirinya dan Edelwais, akan membuatnya mengikat wanita itu. Bubu ingin mengubah cara pikir Edelwais. Ia ingin membuat wanita itu lebih peduli bahkan bila perlu mencintai dirinya sendiri, tanpa terus terjerat cinta buta seorang Raga. Raga yang jelas-jelas pria tak setia dan teramat sulit dipercaya. **** Bubu, pria itu masih terjaga untuk Edelwais bahkan meski tiga hari telah berlalu. Bubu membantu Edelwais melakukan semuanya. Tak hanya ketika Edelwais harus makan, meminum obat, juga menjalani terapi agar bisa berjalan lagi. Sebab hal-hal kecil sejenis seka dan aktivitas yang harus Edelwais lakukan di kamar mandi, juga turut pria itu urus. “Kamu enggak kerja, Bu?” tanya Edelwais sambil menerima sepiring potongan apel yang Bubu suguhkan. Bubu berangsur duduk di sofa sebelah ranjang rawat Edelwais. “Kalau aku kerja, kamu pasti enggak makan. Enggak terapi, enggak semuanya.” Edelwais mengerucutkan bibir, menatap tidak setuju Bubu atas anggapan pria itu. “Di mana-mana, orang enggak bisa makan, terapi dan semuanya, kalau mereka enggak kerja.” “Tapi aku enggak semiskin itu. Karena selagi aku masih bernapas, berarti aku masih ngasilin uang. Aku masih bisa nyiptain lapangan kerja.” Bubu menatap tegas Edelwais. Tak kalah tegas dari kata-kata yang baru saja terlontar. Edelwais mendengkus sebal. “Romantis dikit kenapa, Bu?” “Kalau kamu mau yang romantis, aku panggilin Mumu,” balas Bubu masih serius. “Enggak, ah. Berisik. Yang ada, nanti aku makin setres!” tolak Edelwais. Bubu langsung diam tanpa menanggapi. Sedangkan Edelwais yang menatapnya, berangsur memberikan sepiring potongan apelnya. Bubu menghela napas dalam. Ia tahu maksud Edelwais memberinya sepiring apel. Wanita itu minta disuapi layaknya biasa. Semanja itu memang Edelwais kepadanya. Sampai-sampai, Sandy dan Sunny selaku orang tua Edelwais mengatakan, kemanjaan yang Bubu berikan membuat Edelwais ketergantungan kepada Bubu. Edelwais memang pecinta semua hal romantis. Tapi Bubu tidak tahu apa sebenarnya yang dimaksud romantis. “Kalau kamu diminta pilih aku apa Mumu, kamu milih siapa?” Edelwais mengunyah suapan potongan apel dari Bubu, dengan hati-hati. Ia menatap pria itu dengan tatapan penuh harap. Karena bisa ia pastikan, Bubu pasti akan lebih memilih Mumu, pria periang berbakat menggombal dan teramat berisik. “Kamu maunya, aku jawab apa?” balas Bubu benar-benar ingin tahu. “Ya ampun, Bu. Sesusah itu sih kamu! Kamu bilang pengin nikahin aku. Tapi sekadar bikin aku seneng, romantis dikit saja masih enggak bisa! Kamu bohong, pura-pura romantis dikit, aku juga angsung seneng!” protes Edelwais jengkel. Bubu menghela napas. “Aku bukan pembohong apalagi tukang kibul yang dikit-dikit minta maaf, untuk membereskan masalah hanya untuk tetap bisa dianggap romantis, yah, Del.” “Bubu, aku nangis! Kenapa kamu bahas itu lagi!” isak Edelwais. Bubu langsung panik. “Sudah … sudah. Jangan dibahas.” Ia beranjak dan berdiri. “Peluk, Bu! Aku mau dipeluk!” protes Edelwais. “Jangan kebanyakan peluk, lah. Kita kan belum nikah.”  “Bu ….” Edelwais kian terisak-isak. “I-iya. Tapi jangan lama-lama.” “Apa salahnya, cuma pelukan juga!” Edelwais langsung membalas pelukan dari Bubu. “Lha … di mana-mana, hubungan laki-laki dan perempuan yang belum halal kan memang merugikan, khususnya buat kaum perempuan. Lihat tuh, Nanay sama Rean. Gandengan saja pakai perantara. Kita gitu saja.” “Itu kan cara mereka, Bu. Cara kita ya beda lagi!” protes Edelwais lagi. Bubu tak berniat menjawab, apalagi Bubu sadar, kalaupun ia menjelaskan, hasilnya sia-sia. Demi Edelwais, demi menjaga sekaligus memulihkan mental Edelwais agar tidak terus menerus bersedih, terpuruk terhadap Raga, Bubu akan melakukan semua cara asal tidak melewati batasan dalam hidupnya. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD