Satu menit lagi, adalah genap satu jam Listya menunggu Mahesa. Ia kebetulan tidak memiliki pulsa dan paket internet sekarang. Bahkan, Listya mencoba meminjam pulsa siaga atau pulsa darurat pada operator yang pembayarannya otomatis potong pulsa saat mengisi pulsa, tapi gagal. Kalau sudah seperti ini, tidak ada pilihan selain menunggu pria itu datang. Sedari tadi, Listya hanya bisa mengamati hilir-mudik orang yang keluar maupun masuk bengkel.
Listya melirik uang di dompet yang jumlahnya sangat membuat miris. Sepertinya masih bisa untuk membeli pulsa secukupnya. Ia tidak bisa terus-terusan di sini. Akhirnya, Listya berjalan menuju konter pulsa yang letaknya tepat di samping bengkel. Tidak butuh waktu lama, pulsanya sudah terisi. Ia pun kembali ke bengkel agar bisa segera menelepon Mahesa.
Sesampai di sana, ia melihat Mahesa tersenyum ke arahnya. Sial, percuma isi pulsa!
"Saya kira kamu udah ke sini duluan," ucap Mahesa tanpa merasa berdosa.
"Saya udah di sini dari satu jam yang lalu. Saya barusan beli pulsa, mau nelepon kamu. Kenapa lama banget, sih?"
"Kamu nungguin saya?"
"Pakai nanya, nih lihat nih." Listya menunjukkan layar ponselnya yang menunjukkan stopwatch aktif yang baru saja ia stop, bertuliskan 01:11:33. "Kamu udah bikin saya nunggu satu jam lebih."
"Sori ya. Bukan salah saya kalau kamu pulang kerja lebih dulu daripada saya."
"Ya udah buruan ambil motornya, tadi saya udah nyoba ambil sendiri malah nggak bisa. Harus sama kamu."
"Iya, tunggu ya, Nengsih. Kamu duduk dulu."
Listya kemudian mengangguk, ia duduk di kursi yang tersedia. Beberapa saat kemudian, ia terperanjat dan memikirkan berapa rupiah yang harus ia bayar. Astaga, kenapa Listya baru kepikiran sekarang? Uang pinjaman bahan kue orangtuanya sudah dibayarkan pada Mia. Lalu, bagaimana nasibnya sekarang?
Tanpa pikir panjang, ia langsung menghubungi Mia. Ternyata pulsa lima ribunya berguna juga. Listya yakin, hanya Mia dan selalu Mia yang bisa membantunya kali ini.
"Iya, Lis?" sapa Mia di ujung telepon sana. Terdengar suara berisik, membuat Listya sedikit menjauhkan ponselnya.
"Miong ... lo lagi di mana, sih? Berisik banget. Ngomong-ngomong, lo bisa bantu gue, kan? Darurat, nih."
"Halo? Apa Lis? Ulangi, gue lagi di acara ulang tahunnya saudara nih, jadi nggak bisa dengar omongan lo." Mia setengah berteriak.
"Lo bisa transfer dua ratus ribu ke rekening gue sekarang? Gue butuh banget buat bayar ke bengkel."
"Iya, Lis. Di sini ada wafer, kok. Banyak malah, pulang dari sini gue bawain ke rumah lo, ya."
"Transfer, Mia. Bukan wafer! Lo keluar ruangan dulu bisa, kan? Ini darurat banget!" Listya mulai mengeluarkan seperempat tanduknya.
"Iya darurat, iya. Jomlo mah aneh, wafer doang dibilang darurat. Tapi serius loh, nanti gue mampir ke rumah lo sekalian gue mau ketemu Tante Ratih. Dia pasti belum tahu kalau gue mau nikah."
"TRANSF…."
Belum sempat Listya melanjutkan kalimatnya, bunyi tut panjang menandakan panggilan sudah terputus karena pulsanya habis. Selama beberapa saat Listya masih berharap-harap cemas, menunggu sahabatnya menelepon balik. Namun, sepertinya Mia benar-benar sibuk.
Andai saja tadi Mia bisa mendengar ucapan Listya dengan jelas, pasti sahabatnya itu tanpa ragu langsung meminjamkan uang padanya, tanpa ada keraguan sedikit pun. Sahabat seperti Mia memang harus diabadikan agar tidak punah.
Listya juga tidak habis pikir, kenapa paket internetnya harus habis hari ini? Padahal seharusnya ia bisa menelepon Mia via w******p atau setidaknya mengirim pesan. Sial, sial, sial!
Sekarang yang jadi masalahnya adalah Listya tidak tahu harus berbuat apa. Semoga di bawah tiga puluh ribu, sehingga ia tidak perlu pusing mencari uang untuk membayarnya.
"Halo Kakak!" Suara seorang gadis berhasil membuat Listya terkejut.
Gadis itu sudah berdiri tepat di hadapan Listya. Listya berusaha mengingat-ingat, karena rasanya ia sudah pernah melihat gadis dengan pakaian dan aksesori serba pink sebelumnya.
"Kakak lagi apa di sini?"
"Lagi benerin motor yang bocor," jawab Listya. Ia baru ingat, gadis di hadapannya adalah teman Tio. Namun ia lupa siapa namanya.
"Kak, masih inget aku nggak?"
"Ingat."
"Siapa coba, Kak?"
"Temannya Tio, kan?"
"Yes! Betul. Selamat Kakak mendapatkan payung cantik," kekeh Jesica. "Iya, aku temannya Tio. Jesica Iska Nandar."
"Bodo amat!" Tentu Listya mengucapkannya dalam hati.
"Ngapain kamu di sini, Jesica?" tanya Listya. Setidaknya ia masih orang Indonesia yang pandai berbasa-basi, meski sebenarnya ada hal yang lebih penting untuk dipikirkan daripada menyapa Jesica.
"Biasa, aku lagi mempercantik motor," jawab Jesica sambil menunjuk motornya yang sedang ditangani oleh seorang mekanik.
"Suka banget sama warna merah muda, ya?"
"Cinta banget, Kak. Banget-bangetlah pokoknya," jawab Jesica dengan mata berbinar.
Ya ampun, apa kecintaan terhadap sesuatu bisa membuat seseorang menjadi fanatik?
"Motornya udah bisa diambil," ucap Mahesa tiba-tiba. Rupanya pria itu sudah kembali.
Listya dan Jesica refleks menoleh ke arah Mahesa.
"Kalau begitu, aku ke sana dulu ya, Kak. Barangkali salah, jadi mesti dilihatin," pamit Jesica sembari menunjukkan senyum manis cerianya.
Setelah Jesica pergi, rasa khawatir kembali melanda Listya. Ia takut jika ongkos bengkelnya mahal. Sangat tidak lucu jika memiliki utang pada Mahesa.
"Ini," ucap Mahesa sambil memberikan nota.
Listya pun menerimanya kemudian membaca dengan saksama, totalnya adalah Rp. 469.000,-
Tentu mata Listya langsung membelalak melihat nominal yang harus dibayarnya. Ia bahkan sampai menajamkan penglihatannya siapa tahu matanya bermasalah.
"Ini harganya nggak wajar banget buat ukuran tambal ban, masa hampir setengah juta?!" protes Listya sambil memberikan kembali notanya pada Mahesa.
"Itu nggak cuma nambal, tapi sekaligus ganti ban. Parah banget ban kamu bahaya tahu, gundul gitu. Jadi ban dalam ditambal, ban luar yang gundul diganti." Mahesa kemudian memperhatikan nota itu. "Kita bisa lihat di sini rinciannya, ganti ban luar depan belakang, ganti oli, service juga, ganti kanvas rem depan belakang berikut biaya pemasangan, ganti aki, cuci motor dan helm, isi bensin dan…."
Listya sudah tidak bisa mendengar dengan fokus serentetan kalimat yang Mahesa ucapkan karena ia malah memikirkan kapan terakhir kali memanjakan motornya. Sepertinya sudah lama sekali.
Ingin rasanya Listya berteriak, “Harusnya tambal ban aja, nggak usah yang lain-lain. Ini kemahalan dan pemerasan!”
"Duh, saya nggak bawa uang tunai, nih," ucap Listya, tentu saja itu hanya alasan karena sebenarnya ia sudah tidak memiliki saldo yang bisa diharapkan.
"Itu ada ATM bersama," ucap Mahesa sambil menunjuk ATM yang letaknya tidak jauh dari bengkel itu.
"Nah, masalahnya saya lupa bawa ATM. M-banking pun lagi eror. Kamu kirim nomor rekening aja, deh. Nanti saya transfer." Listya mengatakan alasan alternatifnya. Lagi pula besok gajian.
"Kenapa? Kamu nggak percaya sama saya?"
"Percaya, kok. Ya udah nanti gue kirim nomor rekeningnya. Tapi kamu nggak kenapa-kenapa, kan?"
Listya menggeleng. Ia sebenarnya sedang dilanda kepanikan sehingga sedikit gugup. Ditambah terkejut karena harus membayar ongkos bengkel semahal itu. Benar-benar di luar dugaannya.
"Eh, serius kamu nggak apa-apa? Wajah kamu pucat banget, Nengsih."
"Muka saya dari dulu gin, kok," sanggah Listya.
"Saya udah ketemu kamu lebih dari tiga kali. Kamu pucat, serius. Kamu duduk sebentar, ya."
"Eh? Mau apa?"
"Sebentar, nanti saya balik lagi," jawab Mahesa sambil berlalu pergi.
Tidak butuh waktu lama, Mahesa sudah kembali menghampiri Listya. Tangannya membawa sebotol minuman. "Minum dulu," ucapnya sambil memberikan minuman itu.
Listya pun terpaksa menerimanya, meski ada sedikit ragu-ragu dalam hatinya. Tunggu, Mahesa tidak mungkin menaruh racun, kan?