Leviathan Yoon Dirgantara, atau sebut saja Levi, putra pertama mereka, menatap pemandangan di depannya dengan ekspresi setengah jijay, setengah kesal.
“Are you serious, Dad?? Mom??” suaranya berat sarat nada sarkas, alisnya terangkat tinggi banget sampai seperti mau terbang dari wajahnya. “Setengah jam lagi kita harus ngebantai sisa-sisa cecunguk Levante dan kalian masih begini?”
“Oh my God …” Lillith langsung menegakkan tubuhnya, meraih selimut untuk menutupi kulitnya. Pipinya merah merona, matanya masih menyala dengan api hasrat yang liar.
“Leviathan Yoon …” Rain menggeram, jelas kesal banget momen intimnya dengan Lillith diganggu gugat. Ia meraih kemeja hitam yang tergeletak di lantai, menyampirkannya ke tubuh. “Kamu bahkan nggak bisa ketuk pintu dulu, hah?!”
Levi hanya mengangkat bahu, ekspresinya cuek tapi sinis sarkas. “Kalau aku ketuk pintu, kalian bakal pura-pura suci. Aku bukan anak kecil lagi, Dad.”
Lillith menutup wajahnya dengan tangan hampir terbahak-bahak. “Oh God … dia mirip banget sama kamu dulu. Jiplakan, nggak perlu tes DNA.”
Rain menatap putranya tajam, tapi Levi sudah berbalik, tangannya masih menahan pintu. “Cepetan rapihin diri kalian. Aku nggak bakal nunggu lebih lama, apalagi buat drama bucin kalian.”
BRAKKK!!
Pintu ditutup keras, meninggalkan Lillith dan Rain di kamar dengan keheningan canggung bercampur tawa kecil tertahan.
Lillith menoleh ke suaminya, bibirnya membentuk senyuman nackal. “Kayaknya, kita harus tunda ‘perang ranjang’ kita dulu, hm?”
Rain mendengus sambil memeluk pinggang Lillith, matanya masih penuh obsesi. “Selesai bantai Levante … aku pastiin lanjut bantai kamu, Baby.”
***
Pelabuhan Tua, Santorini, Jam 7.31 PM
Malam itu tegang. Di kejauhan, kontainer-kontainer tua jadi labirin kematian, penuh bayangan hitam dari anak buah Klan Levante yang bersenjata lengkap.
Sepatu kulit Rain menginjak basahnya aspal. Coat hitamnya berkibar, mata gelapnya memindai setiap sudut bak burung elang. Di sisi kanannya, Levi berjalan tegap, shotgun tergantung santai di tangan, ekspresi datarnya mirip ayahnya. Dingin, kejam, tak kenal takut.
“Ready, Dad?” Levi melirik sekilas, jari telunjuknya sudah di pelatuk.
Rain hanya mengangguk tipis. “Kita main cepat. Jangan sisain satu pun.”
ZINGG! DORR! DOR!
Peluru pertama menyalak. Dua Levante langsung tumbang, darah mereka memercik di kontainer biru.
Levi bergerak duluan, melompat ke balik truk, shotgun meledak. Kepala musuh meledak berantakan, serpihan daging menempel ke pelat besi, dan sebagian menciprat ke sisi pipi Levi. Rain menutup celah dengan pistol Glocknya, tiga tembakan akurat tanpa ampun, tiga kepala bolong dalam hitungan detik.
BRAKKKK! BRENGGG!!!
Rain menendang pintu kontainer, musuh yang bersembunyi di dalam langsung dihajar peluru ke mulutnya. “Waste of ammo,” gumamnya datar, darah menetes ke wajahnya tapi dia bahkan tidak berkedip.
Levi menyeringai tipis, mengisi ulang shotgun. “You makin tua, Dad, tapi masih sadis.”
Rain menepuk bahunya singkat. “And you belajar sadis dari siapa, hah?”
Lalu, bayangan melintas cepat di atas kontainer.
Lillith.
Mantan anggota dari organisasi mafia bayangan, The Asgard, tubuhnya masih selincah waktu muda walaupun sekarang umurnya sudah empat puluh tiga tahun. Berpakaian hitam ketat, dua belati di tangan. Ia melompat turun seperti predator malam. Dalam satu gerakan halus nan cepat, pisau menyeret ke leher musuh, darah menyembur, menodai wajahnya, tapi Lillith tersenyum puas.
“Lith is back, bastards!!” suaranya dingin, penuh nostalgia.
Musuh panik menyalak peluru, tapi Lillith berputar lincah, tubuhnya menekuk, satu pisau masuk ke perut lawan, yang lain menebas arteri. Jeritan bercampur suara tembakan.
Rain dan Levi maju dari sisi kiri, Lillith dari kanan. Tiga bayangan bergerak seperti simfoni maut. Pelabuhan Santorini berubah jadi neraka malam.
DOR DOR DOR!!!
BRAAAK! BRAAAAK!
Suara ledakan kecil mendadak menubruk kericuhan. Dari atas, tiga drone bersenjata berat masuk ke arena, menembakkan peluru otomatis ke arah Klan Levante.
“YOOO, gue dateng bawa mainan baruuuuu!!!” suara Nero, uncle kesayangannya Levi yang juga adiknya Rain, meledak dari speaker drone, hype abis kayak MC esport.
“Bakaaaaaaaaar mereka semua, Nephew! Gaskan, Brother! You are sexy, Sis in law!!!!”
Rain meringis geli, tapi sudut bibirnya naik tipis. “Nero … dramatis banget.”
Levi ngakak pendek sambil reload shotgun. “Uncle Nero, you’re gila!”
Drone-drone itu bermanuver gila. Satu melepaskan granat asap, satu lagi meluncurkan peluru panas ke arah musuh di menara crane, kepalanya langsung copot berhamburan. Musuh panik menembak ke atas, tapi drone lincah menghindar.
Lillith memanfaatkan kekacauan, tubuhnya melompat di balik asap, pisau menancap di tenggorokan lawan lalu ditarik sampai terbuka lebar. Ia berbisik ke ear piece, “Nice distraction, Nero.”
Di ruangan kontrol darurat, Nero duduk di kursi gaming portablenya, hoodie hitam menutupi rambut acaknya. Jari-jarinya menari cepat di keyboard mekanik custom, layar penuh peta pelabuhan. “Easy, Sis in law. Gue kasih opening, kalian tinggal bantai. Mafia style.”
Rain melirik Levi, lalu mengangguk. “Sekarang,” kata Rain datar.
Levi bergerak cepat, melempar shotgun kosong ke wajah musuh, langsung menarik pistol twin dari pinggang.
Dor! Dor dor!
Tiga musuh jatuh serempak. Rain menutup celah dengan pistolnya, sempurna ke dahi target.
Tiba-tiba …
BZZZ!!! BZZZZZZ!!! BZZZZ!!!
Ponsel Levi getar-getar di kantong celana taktikalnya. Ia melirik sekilas layar. Nama kontak terpampang besar. Cewek ODGJ.
Levi mendengus, nyaris ingin melempar ponselnya ke laut. Timing-nya anjir banget …
Ia mencoba cuek, tapi ponsel terus bergetar, nyaring, bikin konsentrasinya buyar. Bahkan suara dering getar itu rasanya kalah sama desingan peluru.
Akhirnya dengan muka sebal, ia mengangkat. “Apa?! Cepet ngomong! Gue lagi sibuk!”
Suara di seberang terdengar ceria, renyah, seakan nggak peduli kalau dunia lagi meledak di sisi Levi. “Calon suamiiii~ kamu lagi ngapain? Hehe.”
Levi mendelik. Di belakangnya, peluru nyaris lewat sejengkal dari kepalanya, tapi ia tetap teriak ke ponsel. “GILA YA LO?! DISANA UDAH JAM BERAPA KENAPA LO MASIH BELOM TIDUR!! Gue lagi perang, dummy! Lo kira gue lagi rebahan sambil dengerin kiriman playlist lo?!”
Rain yang lagi nembak musuh sekilas menoleh, nyaris ketawa mendengar anaknya teriak-teriak sambil nembak. “Kamu bisa multitasking juga ternyata?”
Lillith, dari balik asap, sempat nyeletuk sinis via earpiece ke suaminya. “Mirip kamu banget dulu, Daddy Hot.”
Levi makin frustasi. “Mom! Stop!”
Sementara dari telepon, cewek itu masih ketawa-ketawa. “Oh my God, calon suami aku so manly banget kalo lagi marah. Hati-hati yaaa, aku nggak mau kamu kenapa-kenapa. Ingat, kalo kamu mati, aku bisa jadi janda muda seksi di umur segini. Nggak lucu kan?”
Levi mendengus keras, wajahnya merah luar biasa, tapi bukan cuma karena panas perang. “Tutup mulut lo, jangan ngaco! Gue matiin nih telepon!”
Tapi begitu jarinya hampir tekan tombol end call, dadanya bergetar aneh. Ada rasa yang nggak pernah dia mau akui. Sejak kecil, cewek ODGJ itu selalu ada. Menempel, bikin ribut, tapi … selalu ada. Ceria, konyol, absurd, kayak matahari kecil di dunia Levi yang gelap.
Sial … kenapa suara dia bisa lebih bikin gue kehilangan fokus daripada peluru musuh? batin Levi.
JEDORR!
Ia melepaskan tembakan, kepala musuh langsung buyar. Ponselnya ia lempar asal ke kantong, wajahnya kaku, tapi di balik itu ada denyut halus di jantung dan bawahnya yang nggak mau ia terima.
Drone terakhir menembakkan roket mini ke kontainer pusat.
KAAAAAA BOOOMMM!!!!
Ledakan menghantam keras, api menjilat langit malam.
Nero teriak lagi lewat speaker, suaranya pecah penuh adrenalin: “HEADSHOT! SANTORINI IS ON FIRE, BABY!”
Levi menatap kedua orang tuanya. “Done. No survivors.”
Lillith mengusap pisau berlumuran darah ke lengan jas musuh yang sudah mati, senyum liciknya muncul. “Levante … Goodbye.”
Rain menyalakan rokok, menghisap dalam-dalam, lalu menoleh ke mereka. “Game’s over.”