9.Masakan

1128 Words
Talia berdiri di dapur, masih agak lemas, tapi mencoba fokus. Mas Bima suka makan apa ya…? Ia bergumam dalam hati, bingung karena ia kan bukan Talia asli. “Pak Bima suka makan apa, Mbok Siti?” tanyanya akhirnya. Siti tersenyum sambil mengiris sayur. “Pak Bima makan apa pun yang saya masak, Bu. Cuma beliau alergi kacang, itu aja.” Talia mengangguk, lalu memutuskan cepat. “Oke, aku mau buatkan makan siang… capcay, nasi, sama ayam suir bumbu Bali.” Dalam hatinya, Jiwa Berlian di tubuh Talia ini pintar masak, aku tinggal ikuti aja… Ia mulai menyebut bahan-bahan dan rempah. “Mbok Siti, Mila, tolong siapkan semua bumbu dan empon-empon ini ya. Aku yang masak,” Talia memerintah sambil mulai menumis. Mereka bekerja sama, aroma bumbu dan sayur menguar di dapur. Tak lama, hidangan selesai. Siti mencicipi sedikit, matanya melebar. “Bu… Anda yang biasanya nggak pernah masak, ternyata enak banget!” Talia tersenyum tipis. “Tolong suruh supir antar ke kantor Mas Bima, ya. Aku mau dia makan masakan aku.” Tiba-tiba Maya, mertuanya, keluar dari kamar menuju dapur. “Eh… aroma apa ini, Lia? Kamu masak? Ya ampun, aromanya harum banget!” “Makasi, Mah,” Talia membungkuk sopan. Maya menatap hidangan dan langsung tersenyum. “Mama jadi lapar nih. Ambilin piring, Bibi.” Siti segera mengambil piring untuk Maya. Maya mencicipi capcay dan ayam suirnya. “Enak banget… rempah-rempahnya terasa! Kamu jago banget belajar masak di mana? Kayaknya kamu nggak ada darah keturunan Bali, tapi piawai sekali masak.” Talia tersenyum tipis, berbohong ringan. “Aku kursus masak, Mah.” “Enak banget! Kenapa nggak pernah masak sebelumnya? Bima pasti suka banget.” Maya terus mengambil suapan dengan lahap. Siti membungkus rantang, siap diantar ke kantor. “Ini, Pak Joko, silakan antar makan siang untuk Pak Bima.” Maya menepuk tangan Talia ringan. “Kamu jangan terlalu capek, ingat, habis kuret kan?” “Iya, Mah… aku cuma pengen bergerak sedikit aja,” Talia menjawab sambil tersenyum. Maya mengerutkan kening tapi tersenyum. “Iya, biasanya kamu shopping dari bangun tidur sampai mau tidur lagi, nggak pernah di rumah.” Talia menunduk sopan. “Iya, Mah. Sekarang aku mau di rumah aja, mengurus rumah tangga sama Mas Bima.” “Bagus… biar cepat hamil lagi,” Maya menimpali sambil tersenyum puas. “Doain ya, Mah,” kata Talia cepat. “Pasti, Mama. Cuma punya satu anak, Bima. Kalau Vera itu anak angkat Mama dan Papa, jadi kamu harus punya anak banyak biar rumah ini rame,” Maya menambahkan. Talia menelan ludah, senyum tipis di wajahnya. Jadi selingkuhan Mas Aldi itu miskin toh… lihat saja, aku akan balas penghianatan mereka sampai diusir dari rumah ini, gumamnya dalam hati. Talia bertanya “Tapi semua warisan atas nama Bima kan,Mah?” “Iya dong, Sayang. Semua atas nama Bima. Jadi kalau kamu hamil, anak itu nanti akan jadi penerus bisnis keluarga kita,” jawab Maya sambil tersenyum puas. Pak Joko mengambil rantang di rumah Talia, menaruhnya di mobil Alphard, lalu melaju ke kantor. Sesampainya di lobi, ia langsung menitipkan makanan kepada satpam. “Nitip makanan dari Bu Talia untuk Pak Bima,” kata Joko. Satpam menatapnya sambil bercanda, “Siap… nggak ada buat saya nih?” Joko tersenyum tipis. “Gak ada, khusus buat Pak Bos.” Tidak lama kemudian, satpam memanggil OB. “Bawa makanan ini ke lantai 60, ke ruang CEO.” OB mengangguk, menenteng rantang, lalu mengetuk pintu ruang CEO. “Selamat siang, Bu Lily. Ada kiriman makanan dariBu Talia untuk Pak Bima.” “Terima kasih.” Lily mengambil rantang itu dan mengetuk pintu. “Tok… tok… Permisi, Pak.” “Masuk, Ly,” terdengar suara Bima dari dalam. Ia sedang membaca kontrak di meja kerjanya. Lily menyerahkan rantang. “Ini titipan dari Bu Talia, Pak.” Bima berdiri, melangkah ke sofa, menatap rantang. “Talia masak? Tumben… dia kan gak pernah menginjak dapur.” Ia menatap Lily dengan nada bercanda tapi serius. “Tolong siapkan piringmu, kamu ikut makan. Jadi kalau beracun, kamu mati duluan, jangan saya sendirian.” Lily mengerutkan alis sambil tersenyum. “Tega banget Bapak sama saya.” “Cepet, Ly!” Bima menegur sambil menunjuk piring. Lily menyiapkan mangkuk dan piring. Ia membuka rantang. Aroma bumbu langsung tercium. “Wah… enak banget nih. Ayam suir bumbu Bali dan capcay. Aromanya mantap!” Bima menunjuk ke Lily. “Cobain dulu, Ly.” Lily menyicipi sedikit, lalu menatap Bima. “Emang saya kelinci percobaan, ya, Pak?” Bima mengangguk sambil tersenyum. “Iya, percobaan terbaik.” Setelah dicicipi, Lily tersenyum lebar dan memberi jempol dua. “Enak banget, top markotop! Beruntung banget Bapak punya istri cantik yang pinter masak.” Bima mencicipi sebentar, mengunyah perlahan. Emm… enak. Tapi apa yang sedang dia rencanakan sebenarnya? Dia kan wanita licik, gumamnya dalam hati, matanya menatap Lily sekilas. Lily menepuk meja ringan. “Bapak ini… istri baik, salah. Istri jahat, juga salah.” Bima menatapnya tajam. “Diam kamu. Ini namanya waspada, Ly. Jangan terlalu santai.” Lily tertawa kecil. “Iya, Pak. Wasapda maksimal.” Bima tersenyum tipis, sambil menatap rantang lagi. Dalam hatinya, ia masih mencoba menebak strategi Talia. Dia masak sendiri… tapi apa maksud sebenarnya? Talia menutup pintu kamar rapat-rapat dan duduk di tepi ranjang. Ia mengeluarkan ponsel, menekan nomor. Suara sambungan terdengar, lalu muncul suara pria di seberang. “Hallo… ngapain kamu menghubungi aku? Udah sadar kamu, Lia?” suara Erwin terdengar jelas. Mantan kekasihnya itu terdengar santai, tapi penuh rasa ingin tahu. Talia tersenyum tipis, mencondongkan tubuh. “Aku punya kerjaan buat kamu,” katanya pelan tapi tegas. Erwin menahan napas sejenak, lalu suara dingin tapi penuh nada bercanda keluar. “Menghabisi suami kamu, Lia?” Talia menatap jendela kamar, pikirannya cepat berputar. “Nggak… bukan itu. Aku mau kamu habisin Aldi, direktur keuangan perusahaan. Kalau perlu, Yati—ibunya Aldi—dan Vera, adik Bima, juga ikut. Semua yang bisa menghalangi rencanaku.” Erwin tertawa kecil di telepon. “Siapa mereka? Apa hubungannya sama perebutan harta yang keluarga kamu rencanakan? Aku pikir pernikahanmu dengan Bima bakal lancar, kenapa harus ada masalah tambahan?” Talia menekuk bibirnya, wajahnya serius. “Aku akan membayar kamu… satu kepala, seratus juta. Bagaimana?” “Baik… itu mudah, sayang,” jawab Erwin tanpa ragu. Nada suaranya terdengar percaya diri, tapi sedikit seram. Talia menatap layar telepon. “Data dan instruksi sudah kukirim. Aku tunggu kabar baiknya. Jangan bikin aku menunggu lama.” “Tenang sayay… semua akan berjalan lancar,” suara Erwin terdengar yakin. Talia menutup telepon perlahan, meletakkannya di samping bantal. Ia tersenyum tipis, namun matanya tajam penuh perhitungan. Dengan begini… empat tupai bisa ku singkirkan, termasuk Erwin. Semuanya akan menurut rencanaku, gumamnya dalam hati. Ia bersandar di dinding kamar, memikirkan langkah selanjutnya. Strateginya sudah mulai berjalan, tapi masih banyak yang harus dikendalikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD