8.Di Pecat

2196 Words
Setelah rapat darurat, Bima berdiri dari kursinya. “Mulai sekarang, kita masuk tahap investigasi resmi. Audit Internal, Legal, dan HR akan membentuk Task Force khusus.” Kepala Audit Internal, Pak Surya, mencatat cepat. “Siap, Pak. Kami akan memproses pembekuan sementara seluruh akun transaksi atas nama Aldi dan Vera. Akses mereka ke sistem ERP perusahaan juga akan langsung ditangguhkan.” “Baik,” jawab Bima singkat. “Lakukan segera. Saya tidak mau ada satu byte data pun yang diubah.” Tim IT langsung bergerak. “Pak, akun mereka sudah di-lock. Semua log aktivitas tersimpan. Kami juga sedang menarik backup server untuk jaga-jaga.” Bima menatap Surya. “Bentuk tim audit investigasi. Periksa semua transaksi tiga bulan terakhir yang melibatkan tanda tangan keduanya. Telusuri vendor, rekening penerima, bahkan kontrak fiktif kalau ada. Saya mau laporan kronologis jelas, dengan bukti digital dan fisik.” “Siap, Pak. Kami akan melibatkan forensic accounting team dari konsultan eksternal agar hasilnya tidak terbantahkan,” ujar Surya. “Bagus.” HR Director, Bu Ratna, angkat bicara dengan hati-hati. “Pak, untuk status kepegawaian mereka… apakah perlu diberhentikan sementara?” Bima mengangguk pelan. “Ya. Suspensi berlaku efektif mulai hari ini. Pastikan surat resmi ditandatangani dan dikirimkan. Mereka tidak boleh mengakses gedung maupun sistem perusahaan sampai ada keputusan final.” “Baik, Pak.” Legal Counsel, Pak Herman, menambahkan, “Kalau nanti terbukti ada unsur pidana seperti penggelapan atau pencucian uang, apakah langsung kita bawa ke kepolisian?” Bima menatapnya tajam. “Tidak ada kompromi. Begitu bukti kuat terkumpul, kita serahkan ke aparat hukum. Perusahaan ini harus bersih. Saya lebih baik kehilangan dua direktur, daripada reputasi perusahaan hancur. Walaupun Vera adik saya ,saya tidak akan menoleransi tindakannya.” Suasana ruangan hening. Semua direksi tahu, keputusan CEO tidak bisa ditawar. Lily yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya akhirnya bicara. “Pak… saya sudah coba hubungi Pak Aldi dan Bu Vera, tapi nomor keduanya tidak aktif. Driver pribadi mereka juga bilang tidak menjemput pagi ini.” Bima mengepalkan tangan. “Artinya mereka tahu sedang diselidiki dan berusaha menghindar.” Ia berdiri tegak, suaranya dingin. “Baik. Kita kejar. Saya tidak peduli mereka sembunyi di mana, semua jejak transaksi akan membawa kita ke mereka.” Ia menatap seluruh ruangan. “Ingat, ini bukan sekadar kasus internal. Ini ancaman terhadap keberlangsungan perusahaan. Mulai sekarang, semua orang di ruangan ini tunduk pada aturan investigasi. Satu kebocoran informasi saja, saya pastikan ada konsekuensinya.” “Siap, Pak!” jawab mereka serempak, kali ini lebih mantap. Bima menutup rapat dengan tatapan tajam. “Walaupun Aldi calon ipar dan Vera adik ku,tapi siapa pun yang berbuat harus mempertanggung jawabkan perbuatannya.” Di sebuah apartemen mewah, tirai jendela masih tertutup rapat. Aldi dan Vera terbaring di ranjang, napas mereka masih tersengal. “Capek banget…” Vera menarik selimut, tubuhnya masih menempel pada Aldi. Aldi terkekeh, menatap wajahnya. “Tapi kamu cantik banget kalau lagi mendesah di atas aku, baby.” Ia mencium kening Vera. Vera tersipu. “Ih, kamu bisa aja…” Aldi menoleh ke jam di nakas. “Eh, bentar. Sekarang jam berapa?” Vera ikut melirik. “Astaga! Jam sepuluh pagi?! Kita telat ke kantor, Al!” Aldi mengangkat bahu santai. “Udah, santai aja. Aman kok. Kakak kamu kan CEO-nya. Siapa juga yang berani marahin kita?” Vera masih gelisah. “Tetep aja… jam segini biasanya rapat direksi udah mulai.” Aldi menyeringai. “Rapat nggak rapat, yang penting aku sama kamu. Lagian aku lagi seneng banget, sayang.” “Seneneng apa?” Vera menatapnya penuh rasa ingin tahu. “Seneneng ngebayangin kalau kita nikah nanti, saham kamu aku yang pegang. Posisi aku di perusahaan bakal makin kuat. Setengah kepemilikan itu kan atas nama kamu.” Aldi menatapnya penuh ambisi. Vera terdiam sejenak, dalam hati resah. Gimana kalau Mas Aldi tau aku cuma anak angkat Mama dan Papa? Bisa-bisa aku dijatuhin mentah-mentah. Tapi aku nggak boleh goyah. Aku harus pastikan Aldi tetap milikku. Vera lalu tersenyum tipis. “Iya, sayang. Aku percaya sama kamu.” Aldi mencium tangannya. “Good girl. Sekarang ayo, pakai baju dulu. Kita harus tetap nongol di kantor biar nggak dicurigai.” Ia bangkit dari ranjang, meraih ponselnya di meja. “Eh, ada banyak panggilan tak terjawab. HRD nelepon aku berkali-kali.” “Kenapa HRD nelpon kamu segala sih?” Vera ikut bangkit, mulai mengenakan bajunya. “Kalau Mas Bima nyariin, harusnya langsung telepon ke kamu atau ke aku. Kenapa lewat HRD segala?” Aldi menyalakan ponsel, mendengus. “Aku matiin tadi biar nggak diganggu. Mungkin mereka panik karena kita nggak muncul dari pagi.” Vera mengernyit. “Aneh. Aku jadi curiga. Jangan-jangan ada kejadian di kantor.” Aldi menepuk pundaknya. “Udah, jangan mikir aneh-aneh. Kita rapih-rapih dulu, terus ke kantor. Biar mereka lihat kita tetap tenang.” Vera menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Oke… asal kamu janji nggak akan tinggalin aku, Al.” Aldi menatapnya sambil tersenyum tipis, namun matanya penuh perhitungan. “Aku nggak akan kemana-mana, sayang. Asal kamu juga terus ada buat aku.” Vera merapikan dressnya di depan cermin apartemen. “Udah rapi belum, Al? Jangan sampai keliatan kita habis berbuat mesum.” Aldi mengenakan jasnya, lalu menepuk bahunya. “Tenang, baby. Kita keliatan profesional, kok. Nggak ada yang curiga.” Mereka bergandengan tangan turun lewat lift menuju basement. Begitu pintu lift terbuka, Vera berbisik cemas. “Aku deg-degan banget. Jangan sampai ada karyawan yang lihat kita habis ngamar, ya.” Aldi tersenyum tenang. “Kalau pun ada yang lihat, biar aja. Mereka nggak bakal berani gosipin direktur keuangan dan adik CEO.” Sesampainya di basement, mereka masuk ke mobil. Vera duduk sambil memainkan jarinya gelisah. “Al, kamu yakin semua aman?” “Yakin,” jawab Aldi sambil menyalakan mesin mobil. “Selama aku pegang kendali, nggak ada yang bisa nyentuh kita.” Perjalanan ke kantor berlangsung singkat, namun suasana di dalam mobil terasa tegang. Begitu sampai di gedung perusahaan, Aldi memarkirkan mobil di area khusus direksi. Ia keluar duluan, lalu menggandeng tangan Vera. Saat mereka masuk lobi, seorang staf resepsionis berdiri dan menghampiri dengan wajah canggung. “Pak Aldi, maaf… barusan ada pesan dari HRD. Bapak diminta langsung ke ruangan mereka.” Vera spontan menoleh cepat. “HRD? Kok HRD yang manggil kamu, Al? Bukan Mas Bima?” Aldi mengerutkan kening. “Iya… aneh juga. Tapi tenang aku bisa Henddle.” Vera menggenggam lengannya lebih erat. “Aku nggak enak, Al. Jangan-jangan ada hubunganya sama kita yang telat.” Aldi menepuk tangannya, mencoba menenangkan. “Sayang, tenanglah. Kamu ke ruangan aku aja, tunggu di sana. Aku ke HRD sebentar, lihat apa maunya mereka.” Vera masih ragu. “Tapi kalau mereka tanya soal aku?” Aldi menatapnya tajam. “Jangan keluarin suara dulu. Kamu diem aja di ruanganku. Biar aku yang urus. Kita harus keliatan bersih.” Vera menggigit bibir, lalu mengangguk pelan. “Baiklah… tapi janji jangan bikin aku panik, ya.” Aldi tersenyum tipis, meski matanya penuh kekhawatiran. “Aku janji. Percayalah, baby. Aku yang akan jaga kita.” Aldi menatap pintu ruangan HRD sejenak sebelum mengetuk. “Tok… tok…” “Masuk,” terdengar suara perempuan dari dalam. Aldi membuka pintu dan melangkah masuk, menjaga ekspresi tetap tenang. Di dalam, Bu Ratna, HRD Director, duduk di balik meja dengan berkas-berkas rapi di depannya. Matanya menatap tajam ke Aldi. “Selamat pagi, Aldi. Silakan duduk,” kata Bu Ratna tanpa basa-basi. Aldi menyalakan senyum tipis, duduk di kursi di seberang meja. “Pagi, Bu Ratna. Ada apa ya sampai HRD memanggil saya pagi-pagi begini?” Bu Ratna menatap layar komputernya sebentar sebelum mengangkat pandangan. “Terkait absensi Anda minggu ini, ada beberapa catatan yang tidak sesuai. Jam masuk dan keluar Anda tercatat berbeda dengan rekaman CCTV. Bisa dijelaskan?” Aldi mencondongkan badan, tetap tenang. “Oh, itu… beberapa hari lalu saya ada urusan mendadak di luar kantor. Semua sudah saya laporkan ke atasan langsung, Bu. Catatan ini pasti tertinggal di sistem.” Bu Ratna mengernyit, menandai beberapa berkas. “Selain itu, ada beberapa transaksi keuangan yang diverifikasi internal audit. Sepertinya beberapa tanda tangan otorisasi Anda dan Vera tidak sesuai prosedur. Bisa dijelaskan posisi Anda saat itu?” Aldi tersenyum tipis, menyembunyikan ketegangan. “Bu Ratna… semua transaksi yang saya lakukan adalah untuk kepentingan perusahaan. Jika ada yang tidak sesuai, pasti ada kesalahan administratif. Saya siap bantu tim audit menelusuri, tapi semua tetap dalam koridor prosedur, kan?” Bu Ratna menatapnya tajam. “Baik. Tim audit memang akan menelusuri semua transaksi. Tapi demi prosedur, kami perlu memastikan Anda dan Vera berada di kantor pada jam yang tercatat. Tolong koordinasikan dengan kami agar tidak ada keraguan.” Aldi mengangguk perlahan. “Tentu, Bu Ratna. Saya akan kerjasama penuh. Tapi tolong pastikan ini bersifat internal. Saya ingin hal ini selesai secepatnya tanpa isu kemana-mana.” Bu Ratna mencatat beberapa hal di berkasnya. “Baik, Aldi. Untuk sementara kami akan memproses klarifikasi Anda. Silakan kembali ke ruang kerja Anda, tapi tetap tersedia jika audit memerlukan informasi tambahan.” Aldi bangkit dari kursinya, tersenyum tipis. “Terima kasih, Bu Ratna. Saya hargai profesionalisme tim HRD.” Saat Aldi keluar, matanya berkedip penuh perhitungan. Di pikirannya, ia sudah menyiapkan strategi untuk mengendalikan situasi agar hubungannya dengan Vera tetap aman dan posisi di perusahaan tidak terganggu. Aldi duduk di ruangannya, wajahnya pucat dan cemas. “Sayang… uang yang aku ambil dari perusahaan dicurigai sama Mas Bima. Aku… aku dipecat. Bahkan… kalau parah, bisa sampai diproses hukum.” Vera menatapnya, cepat berdiri. “Apa? Kenapa Mas Bima bisa curiga begitu? Aku akan bilang ke dia… bilang kalau kamu cuma minjem, nanti juga dikembalikan. Tenang aja, Al.” Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Vera melangkah ke lift, menekan tombol lantai 60, menuju ruang CEO. Pikirannya kacau. Begitu lift terbuka, Vera langsung masuk. “Mas… kenapa kamu melakukan ini sama Aldi? Dia cuma minjem uang perusahaan, bukan mencuri!” Bima menatapnya dingin dari kursi CEO. “Dia tidak cuma minjem, Vera. Ada indikasi penggelapan dana. Aku harus bertindak.” Vera mengepalkan tangan, suaranya tegas. “Mas, Aldi cuma pinjam sementara, nanti dikembalikan. Lagipula… dia calon ipar kamu, Mas. Harusnya… jangan langsung menuduh begitu.” Bima menatapnya tajam. “Kamu sepertinya salah memilih calon suami, Vera. Aku tidak sreg dengan pria yang main-main dengan dana perusahaan. Ini bukan soal pribadi, tapi prinsip.” Vera membela diri, matanya berkaca-kaca. “Aldi tidak mencuri, Mas! Dia hanya meminjam untuk kepentingan tertentu. Kamu terlalu keras menilai dia.” Bima menarik napas dalam, suaranya lebih dingin. “Dengar Vera… kamu hanya anak angkat Mama ku. Jangan ikut campur urusan perusahaan ku. Kalau Aldi terbukti bersalah, aku tidak akan segan menjebloskannya ke penjara… dan itu termasuk kamu, kalau kamu membantu menutupinya.” Vera terkejut, suaranya menurun tapi tegas. “Tega banget, Mas… Kamu benar-benar mau menghukum aku juga? Aku akan bilang sama Mama… Mama pasti belain aku!” Bima menatapnya lurus, nada tak tergoyahkan. “Ini bukan masalah belas kasihan. Ini masalah integritas perusahaan. Aku tidak main-main.” Vera menunduk, menahan amarah dan rasa takut. “Mas… tapi Aldi itu orang baik. Kamu harus percaya padanya, setidaknya beri kesempatan untuk menjelaskan.” Bima tetap diam, matanya menatap lurus ke depan. Vera menghela napas, kesadaran bahwa hubungan keluarga dan perusahaan kini saling bertabrakan, membuat hatinya campur aduk antara takut dan marah. Talia dirumah masih lemas saat turun dari ranjang, tangan ditopang oleh suster Mila. “Bu, luka kuret masih belum sepenuhnya pulih. Sebaiknya ibu istirahat dulu,” saran Mila sambil menuntun Talia keluar kamar. “Tapi… saya ingin masak buat Pak Bima, Mila,” Talia menjawab pelan tapi tegas, meski langkahnya masih goyah. Mereka berjalan menuju dapur, diikuti Mbok Siti yang sudah menyiapkan beberapa peralatan. “Mau dibantu, Bu?” tanya Mbok Siti sambil meletakkan pisau dan talenan. Talia tersenyum lemah. “Boleh. Kamu potong-potong bahan, nanti saya yang masak.” Mbok Siti terkejut sambil mengerutkan kening. “Sejak kapan ibu bisa masak? Biasanya ibu beli aja kalau nggak saya yang masak.” Talia menunduk sebentar, memandang bahan makanan. Aduh, kenapa aku nggak sadar kalau Talia ini sosialita sih… aku kan ibu rumah tangga biasa. Berlian jangan sampai mereka curiga kalau pemilik tubuh ini sudah meninggal dan aku menempati tubuhnya. Ia bergumam dalam hati. “Ya… saya lagi belajar masak, Mbok Siti. Buat suami. Selama menikah, belum pernah saya masak,” Talia menambahkan dengan nada ringan, mencoba menutupi kegelisahan hatinya. Mbok Siti masih ragu tapi mengangguk. “Hmmm… baiklah, Bu. Kalau begitu saya potong-potong sayur dan daging dulu. Ibu fokus masak aja.” Talia mengambil wajan, menyusuri meja dapur. “Mila, tolong jaga jarak, jangan sampai aku jatuh lagi. Masak ini penting buat Pak Bima. Aku harus bisa.” Mila tersenyum sambil menepuk tangan Talia. “Tenang, Bu. Saya di sini. Pelan-pelan aja.” Talia menghela napas dalam, memusatkan perhatian pada sayur dan bumbu. Kalau aku bisa masak ini, mungkin aku bisa menutupi semua rahasia… dan membuat Pak Bima tetap percaya pada Talia asli. Mbok Siti memotong bahan dengan cekatan. “Bu, potongannya mau besar atau kecil?” “Sedang aja… nanti lebih cepat matang dan rasanya lebih merata,” jawab Talia sambil mengaduk bumbu. Mereka bekerja sama di dapur, suara alat masak dan aroma bumbu mulai memenuhi ruangan. Talia merasa sedikit lega, walau dalam hatinya masih banyak strategi yang harus dijalankan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD