Edelweis merasa wajahnya panas bercampur malu. Kenapa dia jatuh kok pas dipelukan walikota. Dia bakal jadi ledekan teman-teman sejawatnya. Dia tidak pernah semalu ini sebelumnya. Kalau hanya sesama wartawan atau orang biasa, dia bisa menanggapinya dengan santai. Tetapi dengan walikota?
Ya Tuhan! Dia malu setengah mati. Bagaimana kalau mereka akan bertemu lagi. Duh Edelweis harus memasang wajah yang mana.
"Wajahmu sudah mirip tomat rebus, merah merona," ledek Rio.
"Wah Edel, habis menangkap ikan paus. Bisa makan besar Del," ledek teman lainnya.
Edelweis menutup wajahnya dengan notes kecil. Tidak bisa mentup selruuhnya, setidaknya pipinya merahnya tertutup.
"Nah lo, besok ita bakal ketemu lagi dengan Walikota. Siap nggak?" tanya Rio. Sebenarnya tidak ada jadwal mereka liputan bersama. Hanya ada rapat bulanan para pejabat, di mana biasanya tv lokal tempat kerja Edel diundang hadir.
"Pikir besok aja, yuk cabut. Laper," kata Edelweis mengalihkan perhatian.
"Tenang, kita dapat jatah kok dari humas."
Humas Pemerintah Kota membagikan nasi kota untuk makan siang. Satu orang hanya mendapat satu saja. Tidak boleh menambah. Ketika menyerahkan jatah untuk Edelweis, mereka tidak melepaskan kesempatan menggoda Edelweis.
"Pelukannya gimana Del, rasanya? Duh dipeluk di lelaki ganteng, walikota lagi, jantungku bisa copot," seru humas perempuan itu.
"Apaan sih, nggak tahu ah. Nggak sengaja juga!" Bantah Edelweis.
"Jadi mau disengaja Del?" ledek Rio.
"Rio, awas ya kamu!" ancam Edelweis.
"Nggak apa kok Del, kalai mau lagi. Sama-sama single. Beda sama aku," bisik humas itu. Dia mengdipkan sebelah matanya.
Edelweis tergelak. "Ada-ada aja Mbak ini."
Mereka sama-sama tertawa.
Rio merasa berada di planet lain. Sama sekali tidak nyaman berada di antara para wanita yang bergosip tentang lelaki, apalagi itu walikota mereka. Dia sebaiknya melipir menjauh.
"Eh Rio, mau kemana?" tanya Edelweis melihat Rio berjalan meninggalkannya.
"Ada urusan lain," jawab Rio singkat.
"Oh kebelet?" terka Edelweis.
Rio menaikkan alis, namun malas membantah. Di bergabung dengan sesama teman jurnalis lelaki.
Edelweis menatap humas itu lagi. "Memangnya bener ya mbak, Walikota kita belum punya pacar?"
Yuanita berkerut nampak berpikir sebentar. "Kalau pacar, aku nggak tahu. Nggak pernah ada gosip perempuan yang dekat dengannya di kantor. Kala istri jelas belum punya. Daftar sana," bujuk Yuanita.
"Ah, standartnya pasti tinggi. Apalah aku, cuma jurnalis lokal," gerutu Edelweis.
"Eh kamu itu cantik lho Del, dan pintar. Nanti aku coba atur waktu kalian berdua, gimana?" saran Yuanita.
"Nggak usah Mbak, nanti malah tambah canggung. Bener deh."
"Coba aja dulu ya," kata Yuanita enggan melepaskan Edelweis. Dia mengecek ponselnya sebentar. "Besok pasti ada konfrensi pers terkait pabrik pelangi. Aku coba atur kamu wawancara pribadi, gimana?" tanya Yuanita.
Ini memang kesempatan bagus ntuk mendapatkan wawancara ekslusif. Tetapi apa bisa Edelweis menjaga ekspresinya tetap normal, tanpa rona merah dan malu di pipinya.
"Aku tanya kantor dulu lah Mbak," jawab Edelweis. Dia ingat pabrik itu punya siapa. Dia tidak akan mau kehilangan pekerjaannya.
***
"Kita tidak akan meliput apapun tentang pabrik pelangi," tegas Awan dalam rapat redaksi sore itu.
Edelweis tidak kaget. Berbeda dengan lainnya, mereka nampak kesal dan sedih karena kesempatan emas itu lewat begitu saja di depan mereka.
"Aku akan tegaskan sekali lagi. Tidak ada yang boleh meliput pabrik pelangi, baik kejadian pencemaran atau konfrensi pers dari pemerintah kota. Siapapun yang melanggar akan mendapat sanksi," imbuh Awan.
"Terus fokus kita hari-hari ini apa Pak? Semua media lokal maupun nasional berebut meliput tentang pencemaran ini. Berita ini pasti trending minggu ini," bantah seorang senior Edelweis, Hanif.
Hanif memang sering usil pada Edelweis. Tetapi dia mengagumi Hanif sebagai senior yang mumpuni. Keberaniannya saat ini, bisa diacungi jempol. Edelweis banyak belajar menjadi jurnalis dari Hanif.
"Tentang kehidupan pribadi walikota, Edgar Madhava," jawab Awan. Dari nada suaranya mereka tahu, Awan juga tidak setuju ide ini, tetapi tidak punya pilihan lain.
"Kehidupan pribadi walikota? Apa pentingnya berita itu?" Hanif geleng-geleng kepala.
"Perlunya adalah menggeser trending pencemaran," sahut Awan.
"Lagi ikutan lomba berita kita, Pak?" sindir Hanif.
Nampak Awan pun tidak nyaman dengan perbincangan ini, namun sebagao pimpina redaksi dia tidak bisa menghindar dari tanggung jawab. "Singkirkan sarkasme mu Nif, aku pun tidak suka dengan tindakan ini. Tetapi posisi media kita, di bawah naungan pabrik Pelangi. Kau harus camkan itu."
Hanif terdiam. Sebagai jurnalis yang sudah lama bekerja, dia tahu media bisa dibungkam. Terlebih lagi media mereka memang anak perusahaan Pabrik Pelangi. Tidak ada jalan alternatif. Mereka harus ikut arus atau disingkirkan.
Awan memandang Edelweis. Edelweis terkesiap membetulkan posisi duduknya.
"Kau yang akan meliput kehidupan pribadi Walikota Del," perintah Awan.
"Gimana Pak?" ulang Edelweis.
"Awan merengut karena harus mengulang perkataannya. "Yang akan meliput kehidupan pribadi Walikota adalah kau, dibantu Hanif. Dengar?"
"Dengar pak," jawab Edelweis. Dia melirik Hanif. Mereka saling berpandangan dan memberikan isyarat tidak suka dengan pekerjaannya.
"Dia sendiri yang minta. Kau habis melakukan apa sih?" tanya Awan.
Edelweis merasa tenggorokannya kering. Apakah walikota memilikis ifat pendendam atau bagaimana? kenapa dia malah meminta dirinya yang meliput. Edelweis harus menyusun rencana, dia harus berlatih agar wajahnya tidak mudah merona di dekat walikota ganteng itu.
Beberapa kawan yang duduk di ruangan itu berbisik-bisik geli sambil memandang Edelweis dengan tatapan iba.
"Sial, gosipnya sudah menyebar di kantor," gumam Edelweis pelan.
"Hanif, kau bantu Edelweis untuk sementara. Aku tidak tahu apa rencana licik walikota meminta Edelweis. Sebaiknya kau temani Edelweis selalu," kata Awan.
"Memangnya walikota akan memakan Edelweis Pak?" tanya jurnalis lain.
"Kalau aku yang dimakan sih, mau saja. Nggak perlu disuruh!" mereka tertawa cekikikan.
Namun Awan tidak menanggapi mereka. "Baiklah, yang lain keluar! Edelweis dan hanif tetap di tempat."
Kata-kata Awan yang tegas membuat mereka diam. Jurnalis yang tidak berkepentingan langsung berhamburan ke luar ruang rapat.
Setelah yakin pintu tertutup rapat, Awan berkata dengan pelan. Namun masih bisa didengar oleh Edelweis dan Hanif.
"Ini hanya perkiraanku saja, dia mengincarmu Del," kata Awan.
"Diincar kenapa?" tanya Edelweis bingung. Dia tidak sedang meliput kasus suap atau apapun yang melibatkan walikota sehingga harus diincar.
"Mungkin naksir elu Del," sahut Hanif.
"Nggak lucu ya," bantak Edelweis.
"Hati-hati Del, walikota banyak fansnya. Bisa jadi malah fans yang mengincarmu nanti," kata Awan.
Edelweis ingin tertawa. "Pak, dia bukan idol korea, yang memiliki fans fanatik. Fansnya hanya ibu-ibu saja."
"Tetapi cukup merepotkan kan?" tanya Awan. "Tidak ada salahnya berhati-hati."
Hanif menggerling. "Hati-hati pulangnya Del," pesan Hanif.
Bulu kuduk Edelweis mulai merinding.