Part 2

950 Words
Akhirnya aku kembali. Akhirnya aku bisa bertemu dengan istriku yang sudah aku nikahi delapan tahun lalu. Percaya tidak? Aku jatuh cinta padanya, saat dia masih balita. Papa dan almarhum ayah mertuaku adalah teman semasa sekolah. Waktu itu, kami sekeluarga datang berkunjung ke rumah beliau. Usiaku saat itu sebelas tahun, kelas lima SD. Saat kami baru sampai, si Anya kecil sedang tidur siang. Pipinya sungguh menggemaskan. Khas pipi bayi. Gembul. Anya bangun dari tidur. Mama menggendongnya. Dalam gendongan Mama, aku mencium gemas pipi si Anya. Lucunya, dia tidak menangis. Malah tertawa kesenangan. Saat dia tertawa, terlihat begitu cantik. Bulu matanya yang tebal dan lentik, alisnya yang seperti ulat bulu, hidung mancungnya, bibir tipisnya, benar-benar enak dilihat. Sontak saja aku mengucapkan, "Ma, aku ingin menikah dengan Anya kalau kami besar nanti." Tidak disangka, ternyata sejak saat itu, mereka menjodohkan kami. Tentu saja aku senang. Kami tinggal di kota yang berbeda. Jadi, tidak bisa bertemu setiap saat. Suatu ketika, Bunda memberi kami kabar kalau Ayah sakit parah. Akhirnya, orang tuaku dan orang tua Anya menikahkan kami. Saat itu, aku baru saja selesai ujian kelas 3 SMA, sedangkan Anya kelas 4 SD. Tidak ingin menghabiskan masa muda dengan sia-sia, aku memutuskan untuk kuliah di luar negeri. Sekaligus untuk menunggu Anya dewasa. Meskipun hidup di negara yang bebas norma, aku tetap memegang teguh prinsipku. Istriku memang masih kecil, tetapi aku juga harus tetap setia padanya. Selama kuliah, aku tidak pernah bertemu dengannya. Tidak juga meneleponnya. Kami, aku dan kedua keluarga, memang sengaja merahasiakan pernikahan dari Anya. Sampai akhirnya, kemarin Bunda memberitahu kalau beliau sudah mengatakannya pada istri kecilku. Dan hari ini, si cantik ini bisa ikut menjemput di bandara. Kami sedang dalam perjalanan menuju restoran untuk makan siang. Meskipun lama di luar negeri, aku tetap nyaman menyetir sendiri. Karena itulah, tadi aku meminta Papa untuk membawa mobilku juga ke bandara. Sopir yang tadi membawa mobilku, saat ini satu mobil dengan Papa dan Bunda. Dia masih marah padaku ternyata, gara-gara tadi aku mencium pipinya. Menggemaskan sekali. Kami sampai di restoran. Papa, Bunda, dan kedua sopir Papa duduk dalam satu meja. Sayang, dalam meja itu hanya ada empat kursi. Atau mungkin, Papa sengaja melakukannya agar aku dan Anya bisa duduk hanya berdua dalam satu meja. Sebagai pria gentle, aku menarik kursi, kemudian mempersilakan si istri kecil untuk duduk. Wajahnya masih saja ditekuk. Setelah memesan makanan, kami tidak butuh waktu lama untuk mendapatkan menu yang kami pesan. Kami makan dalam diam. Tidak ada yang bersuara di antara aku dan Anya. Kupandangi wajahnya. Cara dia makan, sungguh berbeda dari wanita kebanyakan. Istriku apa adanya. Makan pun tidak seperti putri keraton dengan slow motion-nya. Gemas rasanya melihat itu semua. Tanganku refleks terulur saat melihat nasi menempel di ujung bibirnya. Ugh ... rasanya aku ingin menciumnya. Tapi, itu tidak mungkin kulakukan. Menunggu bertahun-tahun saja aku mampu. Masa tinggal menunggu hitungan bulan aku kalah. Sorry, itu bukan aku. "Pelan-pelan, Sayang ... makannya." "Ih ... apaan, sih, lo! Caper banget! Pake panggil gue sayang lagi!" Nah, dia mulai lagi. Aku memang harus membiasakan diri dengannya yang sepertinya suka marah-marah. Jutek lebih tepatnya. "Karena aku sayang kamu. Cinta sama kamu. Ada nasi di bibir kamu, Sayang...." Kutunjukkan sebutir nasi yang sudah berada di ujung ibu jari dan telunjukku. "Biarin! Makanya, udah, deh ... hentikan permainan ini. Lo nggak cocok sama gue yang bar-bar!" Apa dia bilang? Permainan? Pernikahan kita bukan permainan, Anya sayang.... Aku hanya tersenyum. Usai makan siang, Papa memintaku agar membawa Anya ke rumah. Aku tahu, sebenarnya Anya tidak setuju, terlihat dari ekspresi wajahnya. Tapi mungkin, dia merasa tidak enak hingga akhirnya dia menurut saja. *** Sesampainya di rumah, aku segera mengeluarkan koper dari dalam bagasi. Aku sudah biasa mandiri, jadi tidak perlu dilayani. Meskipun di rumah Papa ada dua asisten rumah tangga, satu tukang kebun, dan satu sopir yang bisa kapan saja aku mintai tolong. Aku mengajak Anya masuk ke rumah. "Masuk, Sayang...." Sontak saja matanya yang indah langsung melebar. "Maaf ... maaf ... gimana, ya ... aku beneran sayang kamu soalnya." Dia tak lagi bersuara. Kami masuk. Aku mempersilakannya duduk, sementara aku menaruh barang-barang di kamar. Setelah keluar, aku menghampirinya. Duduk di sampingnya. "Lo siapa, sih, sebenernya?!" tanyanya ketus. "Aku Bara. Suami kamu." "Bukan itu ... kenapa lo katanya nikahin gue, ngilang, terus tiba-tiba datang lagi. Yang gue tahu, suami yang nggak nafkahin istri selama enam bulan, dan istrinya nggak ridho, berarti jatuh tuh talak! Nah, lo ... bertahun-tahun ngilang!" "Itu kan kalau pernikahan pada umumnya. Kita, kan, beda sama mereka. Nanti, setelah kamu lulus SMA, kita daftarkan pernikahan kita. Terus, kita adakan resepsi," jelasku. Ingin rasanya tangan ini membelai wajah dan rambutnya. "Batalin aja, ya ... please...." Dia memohon penuh iba. Tangannya dikatupkan  di depan d**a. Tapi, maaf ... tidak semudah itu, Sayang. "Kenapa, sih? Apa kurangnya aku? Aku janji, bakalan jadi suami yang baik buat kamu." "Gue masih mau bebas main sama temen-temen. Gue masih mau kuliah. Lagian, gue nggak bisa ngerjain pekerjaan rumah." Dia bohong untuk yang terakhir. Ya! Meskipun kami tak pernah bersama, Bunda sudah mengatakan semua tentang si istri kecil padaku. Dan dia ini bukan tipe anak mama yang manja. "Masalah main sama temen, aku nggak akan melarang. Masalah kuliah, justru aku yang akan membiayai kuliah kamu. Terserah mau sampai jenjang apa. Masalah pekerjaan rumah, aku tidak akan menuntut apa pun. Jadi, apa yang harus kamu takutkan?" Dia diam. Kelihatannya, sedang memikirkan apa yang harus dia katakan agar aku setuju membatalkan pernikahan. Aku merangkul pundaknya. "Kita coba dulu ... jika dalam setahun kamu nggak nyaman jadi istriku, nggak apa-apa kalau akhirnya kita harus berpisah." "Beneran?" "Iya...." Tidak apa-apalah, aku bicara seperti itu. Karena aku yakin, sebelum satu tahun itu berakhir, Anya pasti sudah jatuh cinta padaku. Dan kami tidak akan bercerai sampai kapan pun. oOo
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD