Esoknya, Bara memulai kehidupan baru, juga kebiasaan barunya. Pagi-pagi sekali sudah bangun. Ia harus menjemput istri kecilnya, kemudian mengantar ke sekolah.
Pukul enam pagi, ia sudah berada di rumah sang istri.
"Masuk, Bar," ucap bunda Anya begitu membukakan pintu.
"Iya, Bun."
Bara masuk rumah, mengikuti ibu mertuanya ke ruang makan.
"Duduk dulu, kita sarapan bareng. Si Anya paling lagi siap-siap."
Bara duduk di salah satu kursi. Tak lama, terlihat Anya keluar dari kamar. Ia terkejut si pria banyak polah sudah berada di rumahnya padahal masih pagi-pagi sekali.
"Ngapain lo ke sini?" tanya gadis itu dengan ketus.
"Anya ... yang sopan, ah, ngomongnya," tegur sang bunda.
"Maaf, Bun...." Dengan wajah ditekuk, Anya duduk di kursi yang berada di seberang Bara.
Sepanjang waktu sarapan, tidak ada sepatah kata pun yang Anya ucapkan. Hanya bunda dan suaminya yang saling tanya jawab seolah mereka memiliki segudang bahan untuk dibicarakan.
Usai sarapan, Anya dan Bara pamit. Pria itu membukakan pintu mobil untuk istrinya. Setelah itu, ia pun masuk mobil. Kemudian pamit pada mertuanya dengan membunyikan klakson mobil.
Di dalam mobil, Anya masih saja cemberut.
"Kenapa, sih, pagi-pagi udah manyun gitu?" tanya Bara yang sebenarnya sudah tahu apa penyebabnya.
"Pakai nanya lagi ... ngapain, sih, harus ngejemput gue?! Gue udah biasa berangkat sendiri! Pake jemput gue segala. Mau caper lo, sama Bunda?!"
"Ngapain harus cari perhatian sama Bunda, tanpa caper pun, aku udah dapet perhatian dari Bunda."
"Berhenti, deh, bersikap kaya gitu sama gue! Enek guenya!"
"Aku suami kamu, lho, Nya ... masa sama suami sendiri enek. Dosa, lho." Bara tidak ada kapoknya menggoda si istri kecil.
"Bodo! Makanya jangan bikin gue enek! Bersikap sewajarnya aja."
"Ini juga wajar, Sayang ... apanya yang enggak wajar? Suami ngantar istrinya ke sekolah, masa nggak wajar."
"Tahu, ah ... gue capek ngomong sama orang kayak lo!"
Bara tersenyum. 'Sabar Bara ... sabar....'
Sesampainya di depan sekolah Anya, Bara memberhentikan mobilnya. Gadis itu sudah bersiap untuk turun, tetapi Bara mencegahnya.
"Tunggu...."
"Apa lagi?!"
Pria itu menyodorkan tangan, meminta agar sang istri menciumnya.
"Ish...," desis Anya. Namun, ia tetap menurut.
Setelah Anya mencium tangan Bara, pria itu menariknya dengan kencang agar tubuh istrinya merapat kepadanya.
"Apaan, sih?! Lo mau kurang ajar sama gue?!"
Bukannya menjawab, lagi-lagi Bara mencium pipi si istri kecil. "Sekolah yang bener. Biar bisa diterima di universitas yang kamu mau. Aku akan bekerja rajin buat kamu. Buat kuliah kamu. Kasihan Bunda, sudah waktunya beliau menikmati hidup."
Beberapa detik Anya terdiam dalam posisinya. Memikirkan ucapan Bara. Memang ada benarnya.
Bara melepas tangan, Anya kembali duduk. Pria itu mengambil dompet, lalu mengambil selembar uang lima puluh ribuan.
"Uang saku buat kamu."
Anya masih bergeming.
"Aku suami kamu, kewajibanku ngasih uang buat kamu."
Mau tidak mau, Anya menerimanya. Hitung-hitung, bisa ditabung.
Tanpa bicara apa pun lagi, Anya keluar dari mobil dan berjalan masuk ke seko-lahnya.
***
Di kantor papa Bara, pria yang sudah tidak muda lagi itu masuk ke ruangan sang putra.
“Papa....
“”Gimana tadi pagi? Adakah sesuatu yang terjadi dengan menantu kecil Papa?””
“”Ya ... seperti kemarin, juteknya ke Bara belun hilang. Marah-marah terus dia sama Bara, Pa....””
Papa Bara tertawa terbahak. ”Maklum saja, istrimu itu masih kecil, Bara ... masih labil. Jadi kamu harus punya banyak stok kesabaran.””
“”Pasti kalau itu, Pa....””
“Jangan kecewakan Papa, Papa percaya, kamu suami yang baik.
“Jangan khawatir, Pa....
***
Bulan terus berlalu. Anya sudah melewati ujian nasional. Hanya tinggal menunggu pengumuman kelulusan. Hubungannya dengan Bara masih jalan di tempat. Anya masih dengan sikap juteknya, Bara masih dengan kesabarannya.
Hari ini Bunda berangkat ke kantor. Sedangkan Anya, dia memilih bersantai di rumah karena di sekolahnya sudah tidak ada kegiatan. Ditambah lagi, ia sedang mengalami PMS (Premenstrual Syndrome) hari pertamanya. Perutnya terasa kram, ibarat seorang ibu yang sedang mengalami kontraksi sebelum melahirkan.
Saat jam makan siang, Bara datang. Dipencetnya bel rumah yang berada di samping atas pintu. Baru pada suara bel keempat, pria itu mendapat respons dari penghuni rumah.
Dengan sambil memegangi perut, Anya membuka pintu. Wajahnya masam, tidak suka melihat tamunya, yang sudah mengganggu waktunya beristirahat.
"Ngapain, sih, lo ke sini?!" tanyanya ketus.
"Bawa makan siang buat kamu. Kata Bunda, hari ini kamu nggak ke mana-mana. Jadinya aku ke sini. Pengin makan siang bareng istriku yang cantik," jawab Bara sambil menunjukkan kantong plastik yang dibawanya. Tidak lupa ditampilkannya senyum menawan yang selalu berhasil membuat kaum Hawa terpesona. Kecuali Anya tentunya.
Anya menerima kantong plastik yang Bara berikan. "Udah sana, lo pulang!"
"Kan aku udah bilang, mau makan bareng istriku."
"Gue lagi nggak nafsu makan. Aw...." Tiba-tiba saja kram perut yang tadi menghilang datang lagi. Gadis itu meringis menahan sakit.
Sedangkan Bara langsung panik, takut sesuatu terjadi pada istri kecilnya. "Kamu kenapa?"
"Nggak kenapa-napa. Udah biasa. Udah sana lo pulang!"
"Kamu gimana, sih, gimana mungkin aku ninggalin kamu sendirian dalam keadaan sakit," Bara sangat merasa khawatir.
Tanpa disuruh, pria itu merangkul Anya masuk rumah. Kemudian mendudukkannya di sofa ruang keluarga. Gadis itu enggan menolak karena tidak mau beradu mulut dalam kondisinya yang tidak fit.
"Kamu sakit? Kita ke rumah sakit, ya," tawar Bara.
"Ish ... gue nggak kenapa-napa. Gue cuma PMS. Udah biasa juga. Nggak usah lebay, deh!"
"Ya, udah ... sekarang makan dulu. Aku ambil tempat dulu." Bara mengambil alat makan dan segelas air putih di dapur. Setelah itu, ia kembali ke ruang keluarga, duduk di sebelah Anya.
Pria itu menuang makanan yang dibawa ke piring. Berniat menyuapi sang istri, tetapi ditolak.
"Gue bisa makan sendiri!" ucap Anya dengan ketus.
Akhirnya Bara pun mengambil makanan untuk dirinya sendiri. Baru beberapa suap, terlihat Anya kembali memegangi perutnya. Diletakkannya piring berisi makanan di meja. Gadis itu merintih kesakitan.
"Sakit lagi? Ayo kita ke rumah sakit!"
"Nggak perlu!" Anya memang sangat keras kepala. "Ambilin gue minyak kayu putih, di kotak obat di atas kulkas."
Bara menuruti permintaan Anya. Setelah mendapatkan benda yang dicari, ia kembali.
Anya sedang rebah di sofa dengan mata terpejam. Pria itu berjalan mendekat.
"Lo mau apa?!" teriak Anya sambil memukul tangan Bara, saat suaminya itu membuka kaus Anya ke atas.
"Sorry ... aku cuma mau ngolesin ini," jawab Bara sambil menunjukkan minyak kayu putih di tangan.
"Awas kalau macam-macam!" ancam Anya.
Bara mengoleskan minyak kayu putih ke perut si istri kecil. Dipijatnya pelan untuk mengurangi sakit yang Anya rasakan.
'Sebenarnya lo baik, Bar ... sangat malahan. Sayang, gue nggak ada rasa sama sekali sama lo. Apalagi, lo udah ngerusak mimpi-mimpi gue.'
oOo