Seperginya Bara, Anya masih duduk di sofa yang sejak tadi ia duduki. Tangisnya pecah. Ia tidak tahu kepada siapa ia harus menceritakan masalahnya. Pada bundanya tidak mungkin karena sang bunda tidak tahu bahwa sang putri memiliki hubungan dengan pria lain, selain dengan menantunya.
Pada teman kuliahnya? Mereka tidak ada satu pun yang tahu bahwa dirinya telah menikah.
'Kualat lo, Nya ... kualat, lo! Sukurin! Lo sendiri yang bermain api. Lo sendiri yang nggak bersyukur. Udah punya suami baik juga, lo masih aja main hati. Sekarang lo rasakan sendiri akibatnya!' Sisi dalam dirinya mengolok.
"Gue bukannya nggak bersyukur. Gue akui Bara baik. Tapi, gue cuma pengen ngerasain seperti gadis lain. Itu aja. Siapa yang tahu bakal jadi seperti ini. Gue nggak mencintai Bara. Kalau aja dia nggak keras kepala buat nikahin gue, pasti semuanya nggak akan terjadi." Seolah menjawab olokan itu, Anya menyuarakan isi hatinya. Tentu saja, dia tidak mau disalahkan atas apa yang terjadi. Sekalipun yang menyalahkannya adalah sisi lain dirinya yang sebenarnya sadar jika yang ia lakukan selama ini itu salah.
***
Sampai pukul dua belas malam, Bara belum juga kembali. Ponselnya juga tidak aktif. Anya sudah mencoba memejamkan mata. Namun, matanya sulit terpejam.
"Lo ke mana, sih, Bar? Udah malam juga, nggak pulang-pulang."
Perempuan itu berjalan menuju dapur. Tenggorokannya kering. Diambilnya air dingin dari dalam kulkas. Belum sempat meminumnya, orang yang sejak tadi dikhawatirkannya memasuki apartemen. Anya menghampiri.
"Lo dari mana aja? Kenapa baru pulang?" cerca Anya.
Bara hanya melirik. Setelah itu ia masuk ke kamar.
Membatalkan niatnya untuk minum, Anya mengikuti Bara. Yang diikuti masih saja diam tak menanggapi sang istri.
"Lo dari mana aja? Kenapa sampai jam segini?" tanya Anya lagi.
Bara yang sedang mengganti baju, menghentikan aktivitasnya. Diperhatikannya sang istri yang juga sedang memperhatikannya.
"Apa peduli kamu?! Apa urusan kamu?! Apa jika laki-laki di depan kamu ini mati pun, kamu peduli?!"
"Kok lo ngomong gitu?!"
"Sebelum aku pergi, kamu menyinggung perpisahan. Dan ini, kamu seolah peduli padaku." Tanpa menghiraukan Anya lagi, Bara naik ke ranjang. Pikirannya benar-benar lelah.
Anya tertegun. Ternyata, sang suami benar-benar marah padanya.
Perempuan itu menyusul sang suami. Namun, lagi-lagi matanya sulit ia pejamkan. Entah kenapa, tubuhnya ingin sekali merapat ke tubuh pria di sampingnya, tetapi ia tak berani melakukannya.
Tiba-tiba ia memiliki ide yang ia rasa bisa dijadikannya pengganti tubuh sang suami. Ia beranjak dari ranjang, mengambil baju kotor Bara yang sudah berada di keranjang cucian kotor. Senyum mengembang di bibirnya, saat perempuan itu mencium aroma tubuh Bara yang menempel di baju kotor itu.
Anya kembali ke ranjang, membaringkan tubuh kembali. Bara yang belum sepenuhnya terlelap, merasa terusik dengan pergerakan ranjang yang ia rasakan.
Matanya terbuka. "Kenapa nggak tidur-tidur?" tanyanya, matanya menangkap baju kotor miliknya yang berada di tangan sang istri. "Itu bajuku? Buat apa?"
"Hah? Eh, ehm ... anu...." Anya bingung harus bagaimana menjawabnya.
"Itu bukan jawaban."
"Ehm ... gue ... gue nggak bisa tidur. Rasanya, ingin menghirup aroma tubuh lo," jawab Anya. Wajahnya menunduk, tak berani menatap mata sang suami.
"Kenapa nggak meluk aku aja?"
"Kan, lo lagi marah sama gue. Siapa tahu aja, lo bakalan nolak. Mau gue taruh di mana muka gue, coba?"
Bara mengambil baju kotor yang berada di tangan si istri kecil. Kemudian, dilemparkannya ke sembarang tempat. Setelah itu, diraihnya tubuh Anya ke dalam pelukan.
"Mana mungkin aku nolak buat meluk kamu," ujar Bara.
"Lo udah nggak marah?"
"Jangan bahas perpisahan lagi. Kalaupun setelah satu tahun pernikahan, aku gagal buat kamu jatuh cinta, setidaknya aku bisa menikmati satu tahun kebersamaan ini."
Air mata Anya menetes. Entahlah ... ia memang sedang dalam keadaan melankolis. Sedih, bimbang. Seolah, ia sedang berada di persimpangan.
"Kamu menangis?"
"Gue bingung. Udahlah, udah malam juga. Lebih baik kita tidur. Biarin gue nyium aroma ketek lo."
"Kok kamu jadi aneh?"
"Aneh apanya?! Jangan lo pikir, gue nggak tahu setiap malam lo selalu ngedekap tubuh gue pas tidur. Pake ngatain gue aneh."
Bara tersenyum. Meskipun istrinya galak, tetapi ia benar-benar sangat mencintainya. Diciumnya kepala Anya berulang kali. "Udah tidur. Besok ijinin aku antar kamu ke kampus. Nggak ada penolakan."
Malam itu pun akhirnya mereka tidur dengan saling memeluk. Biarlah, masalah Faiz Anya pikirkan besok lagi. Perempuan itu sudah nyaman berada dalam pelukan suaminya.
***
Esoknya, seperti biasa Bara membangunkan Anya. Sebenarnya, saat tinggal bersama bundanya, Anya bukanlah gadis yang malas. Hanya saja, mendapat suami yang begitu memanjakannya, membuat kebiasaannya berubah.
"Lo udah mandi?" tanya Anya melihat sang suami sudah terlihat segar dengan setelan kaus polo dan celana jeans pendek.
"Udah. Makanya, kamu sarapan, abis itu mandi. Terus, berangkat kuliah."
"Lo serius mau nganter gue?"
"Iya, serius, dong."
Anya memakan sarapan nasi goreng yang dibuat Bara. Ia juga menyuapi sang suami. Meskipun tidak banyak, setidaknya perut pria itu tidak hanya diisi kopi.
Selesai sarapan, istri Bara itu bergegas mandi. Kali ini dia akan membiarkan pria itu mengantarnya kuliah. Sekali-kali, apa salahnya.
***
Sesampainya di depan kampus, Bara memberhentikan mobilnya.
"Kuliah yang bener, jangan mikirin pacaran mulu," pesan pria itu.
"Ye ... siapa juga yang mikirin pacaran." Anya sudah membuka pintu, tetapi Bara buru-buru memegangi pergelangan tangan perempuan itu. "Apa lagi?"
"Kamu nggak mau cium tangan suami kamu dulu?"
"Ck."
Meskipun berdecak, Anya tetap melakukan apa yang Bara inginkan. Setelah itu, Bara mencium kening istrinya itu. Saat ia akan mencium bibir Anya, perempuan itu menghindar.
"Takut ada yang lihat," kilah Anya.
"Ya, udah, sana kuliah."
Anya turun dari mobil suaminya. Tanpa menunggu mobil itu pergi, ia segera masuk ke area kampus.
"Katanya diantar taksi online, ngapain dulu tadi sama driver-nya? Kok, lama?" Tanpa Anya sadari, sejak mobil Bara sampai di depan kampus, Faiz sudah memperhatikan mobil itu. Awalnya lelaki itu tidak tahu jika yang berada di dalam mobil adalah sang pacar. Ia hanya iseng saja memperhatikan. Namun, keisengannya justru membuahkan sebuah kecurigaan.
Anya terdiam, ia bingung harus menjawab apa.
"Kok nggak jawab?"
"Ehm, itu ... tadi nunggu kembalian. Makanya lama," jawab Anya yang sudah pasti berbohong.
"Oh, jangan kecewain aku, ya," pinta Faiz dengan sorot mata sangat memohon pada kekasihnya.
Anya hanya tersenyum. Ia benar-benar merasa dilema. Jika kemarin saat ia pulang dari rumah Faiz, hatinya seolah mantap ingin berpisah dari Bara, kali ini ia ragu. Semalam saja, ia baru bisa tidur setelah berada dalam pelukan pria itu, bagaimana dengan malam-malam berikutnya jika ia benar-benar berpisah dengan sang suami?
oOo