Kemarahan Anya belum mereda. Sekalipun lagi-lagi ia kalah pada perlakuan Bara, karena sekarang mereka sedang berada di ranjang di bawah selimut yang sama.
"Udah, sih, Nya ... nyerah aja. Apa susahnya mengakui kalau kamu cinta sama aku," ujar Bara.
"Enak aja ... kepedean banget, sih, lo!"
"Bukannya kepedean, tubuh kamu aja nerima aku seutuhnya. Tapi gengsi kamu selangit untuk mengakui itu."
"Jangan mengada-ada, deh ... gue mau ngelakuin itu karena nafsu. Udah gitu aja."
"Yakin?"
"Yakin."
"Berarti, nggak masalah kalau aku pacaran sama cewek lain?" tanya Bara dengan nada serius.
"Ya, silakan ... apa peduli gue? Pernah gitu gue ngelarang lo?"
"Oke ... kalau itu yang kamu mau."
"Paling juga, lo bayar cewek buat pura-pura jadi pacar lo."
"Oh, ya? Cuma kamu, cewek yang menolakku."
"WOW. Saya tercengang, Tuan...."
***
Pernyataan Bara tentang dirinya yang akan berpacaran dengan orang lain, mau tidak mau mengusik Anya. Ia terus kepikiran. Berbagai pertanyaan muncul.
Benarkah yang dia ucapkan?
Benarkah dia akan melakukan apa yang aku lakukan? Berselingkuh.
Jika iya, apa dia akan memperlakukan pacarnya seperti dia memperlakukanku?
Dan, masihkah dia perhatian padaku, jika nanti dia memiliki wanita lain?
Anya memukul-mukul kepala agar pikiran-pikiran itu menghilang dari otaknya.
'Abaikan, Nya ... abaikan. Bodo amat dia mau punya pacar, kek, mau selingkuh, kek ... lo masih punya Faiz yang nggak kalah ganteng dan nggak kalah perhatian.' Anya menyemangati dirinya sendiri. Iya, ia tidak boleh kalah dari perasaan sentimennya, begitu pikirnya.
***
Dua bulan berlalu. Apa yang Bara katakan tidak terbukti. Nyatanya, sikapnya pada sang istri masih sama. Anya pun masih seperti biasanya.
Anya dan Faiz sedang berada di kantin kampus untuk memesan makanan. Saat menunggu, pandangan lelaki itu tertuju pada leher sang pacar. Di sana ada tanda merah yang ia paham sekali tanda apa itu.
"Nya!"
"Hem?"
"Kamu nggak macam-macam, 'kan? Nggak selingkuh, 'kan?"
Anya menghentikan aktivitas mengutak-atik ponselnya.
"Kok, kamu nanya gitu?"
"Leher kamu. Kissmark. Siapa yang melakukan itu?"
Mata Anya melebar. "Kissmark? Kissmark apa?"
"Tanda merah. Sepertinya, leher kamu abis dicium. Dan udah pasti bukan aku, 'kan? Aku nggak pernah kurang ajar sama kamu."
"Ah ... mungkin itu ... anu, nyamuk. Iya, nyamuk. Semalam, tumben banget kamarku banyak nyamuk. Mungkin, pas tidur, nggak sengaja aku garuk-garuk," jelas Anya yang sebenarnya tidak tahu juga ke mana arah bicaranya.
"Yakin?"
"Yakin, dong ... kamu, kan, tahu. Gimana aku."
"Oke, lah, kita lupakan itu."
Anya mengembuskan napas lega. Sang kekasih tidak memperpanjang masalah. 'Awas Bara ... tunggu pembalasan gue.'
"Main ke rumah, yuk! Kakakku baru pulang dari luar negeri. Dia pengin ketemu kamu."
"Ketemu aku?"
"Iya. Aku bilang ke dia, kalau aku udah punya pacar. Terus, dia ngomong pengin ketemu kamu."
"Kapan?"
"Nanti, pulang kuliah."
"Oke...."
Faiz mengacak rambut Anya. "Makasih."
***
Pulang kuliah, Faiz membawa Anya ke rumahnya. Di sana, sudah ada Farah, kakak Faiz yang menunggu.
"Anya, Kak," ucap Anya sambil mengulurkan tangan.
"Farah, ayo masuk, Nya," Farah menjabat tangan Anya, kemudian mengajak perempuan itu untuk masuk.
"Iya, Kak, makasih."
Mereka masuk ke dalam rumah, kemudian duduk di sofa ruang tamu.
"Makasih, lho, Nya ... udah mau jadi pacar adik Kak Farah," ucap Farah tulus.
Anya hanya tersenyum. Ia bingung harus menjawab apa. Lagi pula, bagi Anya terlalu berlebihan. Terima kasih untuk apa? Bukankah hal wajar kalau orang seusia mereka pacaran?
Saat ini, Faiz sedang berada di kamarnya untuk mengganti baju.
"Faiz dulu pernah trauma, lho, sama cewek. Kakak kaget juga waktu denger dia punya pacar. Kakak harap, Anya nggak nyakitin dia, ya, Nya."
"Hah? Eh, i ... iya, Kak."
'Mampus lo, Nya, gimana kalau Faiz tahu, lo udah punya suami?!' rutuknya dalam hati.
"Kakak baru pulang dari luar negeri?" tanya Anya untuk menghilangkan rasa canggungnya.
"Iya, harusnya beberapa bulan lalu. Tapi, Kakak pengin nikmati liburan dulu."
"Senangnya, bisa kuliah di luar negeri," ujar Anya.
"Sebenarnya, nggak sengaja juga Kakak kuliah di sana. Kakak kuliah itu gara-gara ngikutin seseorang."
"Seseorang? Siapa, Kak?"
"Ada, temen SMA. Kakak suka sama dia. Tapi, dianya nggak pernah mau pacaran. Bahkan, sampai Kakak ikutin dia ke luar negeri pun, tetap sama. Dia menolak Kakak. Padahal, sepuluh tahun bukan waktu sebentar, lho, buat pedekate sama dia," Farah menjelaskan sambil mengingat pujaan hatinya. Pujaan hati yang tidak pernah mau menerima cintanya.
Tiba-tiba saja Anya teringat Bara. Bara pun seperti Farah. Bahkan lebih lama dari wanita itu.
***
Pulang dari rumah Faiz, Anya menjadi banyak diam. Bahkan, niatnya untuk balas dendam ke Bara gara-gara kissmark yang pria itu tinggalkan di lehernya, lenyap entah ke mana. Bara bingung dibuatnya.
"Kamu kenapa?" tanya Bara yang datang menghampiri membawa sekotak es krim yang diambilnya di freezer. Pria itu duduk di samping sang istri, disuapkannya es krim itu ke mulut istri tercinta.
Anya menggeleng. "Mi ... kalau sekarang kita pisah, lo nggak apa-apa, 'kan?" tanyanya ragu.
Bara yang sudah siap menyuap es krimnya, diletakkan kembali sendok es krim itu.
"Apa susahnya nunggu setahun? Dan, kenapa kamu bahas pisah-pisah? Kurang apa aku, Nya?! Aku udah bersabar ngadepin kamu, nunggu kamu sampai kamu mau nerima aku. Tapi kenapa kamu gini terus?! Kenapa kamu selalu membentengi diri kamu dari aku? Meskipun aku cemburu, aku sakit hati, aku mencoba untuk kasih ijin ke kamu buat pacaran sama pria lain, yang penting kamu bahagia. Kurang apa aku?!" Emosi yang beberapa bulan ini ditahannya, akhirnya meledak. Bara menutup wajahnya dengan telapak tangan.
Untuk pertama kalinya, Anya menangis di depan suaminya. Ia tidak bermaksud membuat Bara marah. Ia hanya sedang bingung, galau. Semua itu karena perbincangannya dengan Farah tadi siang, tentang Faiz. Tentang trauma yang dialami pria itu.
Dulu saat masih SD, Faiz pernah mencintai seorang kakak kelas. Kakak kelas itu seolah memberikan harapan untuk Faiz. Meskipun hanya cinta monyet, cinta Faiz begitu dalam. Ternyata, kakak kelas Faiz itu sudah memiliki pacar. Hati Faiz patah. Sejak saat itu sampai kelas dua SMA, lelaki itu selalu menjaga jarak dengan lawan jenis. Memang, baru di kelas tiga, ia bisa akrab dengan Anya meskipun tiga tahun berturut-turut mereka satu kelas.
Itulah yang membuat perempuan itu ingin bercerai dari Bara. Ia tidak mau mematahkan hati Faiz, seperti kakak kelas lelaki itu.
"Kenapa menangis?! Kamu ingin aku iba sama kamu, biar aku menyetujui perceraian yang kamu mau?!"
Anya masih tidak bisa menjawab.
"Terserah kamu! Kalau kamu berani bilang ke Bunda dan Papa, silakan! Aku tidak akan pernah menyakiti mereka dengan perpisahan yang mungkin sangat kamu inginkan itu. Aku hanya minta sama kamu, temani aku di acara pernikahan temanku malam Minggu besok. Jangan kecewakan aku!"
Setelah mengucapkan itu, Bara meninggalkan istri kecilnya. Ia keluar apartemen, untuk menghilangkan penat yang ia rasakan.
oOo