Bab 4 — Masa Lalu yang Kembali Hadir

2022 Words
ARSEN's PoV "Minum, Sen?" tanya salah satu temanku. "Nanti aja," jawabku tanpa menoleh. Aku sedang membalas pesan dari Sania. Barusan aku bertanya jika ada acara di mana, aku ada niat menjemputnya nanti. Sania mengirimkan foto jika dirinya berada di sebuah tempat karoekean juga bersama teman-teman kantornya. Balasan pesanku terkirim, namun setelah menunggu beberapa saat, tak ada balasan dari perempuan itu. Aku memperhatikan kembali foto yang dikirim oleh Sania. Terlihat ada mantan kekasihnya juga di sana. Aku geleng-geleng kepala, bagaimana mau move on kalau sering bertemu di lingkungan kantor atau di luar kerjaan? Apa aku meminta Sania untuk pindah kerjaan juga? Aku menggeleng cepat. Aku tak tahu bagaimana perjuangannya sampai berada di posisi sekarang, tentunya dia telah melewati banyak proses seperti aku yang saat ini menjadi seorang dokter spesialis. Walau pun dalam agama sebenarnya istri itu wajib taat kepada suami, tapi aku tidak ingin juga menekan untuk pindah kerja atau berhenti sekalian. Aku masih menghargai keinginannya untuk tetap bekerja. Sepertinya aku harus lebih sering lagi menjalin komunikasi dengan istriku itu, baik di dalam atau pun di luar rumah. Ya... aku harus memanfaatkan waktu luangku semaksimal mungkin untuk hubungan rumah tangga kami. Dan aku harus bisa juga meyakinkannya agar mau melakukan hubungan suami istri. Bukan karena ingin menyalurkan hawa nafsu sesaat saja, tapi aku berharap dengan itu bisa membuat hubungan kami menjadi lebih dekat. Aku tetap ingin mempertahankan pernikahan kami, tak ingin membuat ibu kecewa. Selagi Sania tak terbukti selingkuh dan melakukan kesalahan fatal lainnya, aku akan berusaha membuat hubungan rumah tangga kami menjadi lebih baik. Mengantongi ponselku, aku mengambil minuman yang ada di atas meja di depanku persis. Minuman beralkohol kata temanku tadi, yang menawariku minum. Tak ada salahnya sesekali aku meminum itu. Barangkali minuman ini bisa menghalau sejenak kebisingan otakku yang memikirkan rumah tanggaku dengan Sania. "Kok rasanya aneh, ya?" gumamku. Ini bukan kali pertama aku meneguk minuman beralkohol, tapi baru kali ini aku merasa agak berbeda. Apa karena sudah lama aku tidak minum? Aku menggeleng, dan kembali meneguk minuman itu. Segelas habis olehku. "Mau ikutan nyanyi nggak, Sen? Eh, wait... lo barusan ambil gelas yang mana?" tanya temanku yang bernama Yogi melihatku yang masih memegangi gelas kosong di tanganku. "Cuma dua gelas doang di sana, gue ambil yang full." "Astaga. Punya si Willy itu, buat ceweknya." Aku menoleh dan mendapati Yogi mengusap wajahnya. "Ya elah tinggal ambil minuman baru lagi aja," jawabku santai. Willy sedang keluar barusan menjemput ceweknya yang baru datang. "Itu... " Yogi tak melanjutkan kalimatnya karena pintu terbuka, Willy masuk membawa seorang yang sudah pasti kekasihnya. Aku tak kenal, hanya tahu cerita saja di grup jika lelaki itu sudah memiliki kekasih sejak beberapa bulan lalu. Katanya perempuan itu masih kuliah semester akhir, tapi yang aku lihat sekarang perempuan itu malah seperti perempuan dewasa yang sudah berusia di atas 25 tahun. Kekasihnya Willy itu menyalami kami satu-persatu. Tak hanya Willy saja yang membawa kekasih malam ini. Ada Dito juga, yang sudah berada di dalam ruangan ini dari tadi. "Lo lagi menunda momongan, Sen?" tanya Yogi beberapa saat kemudian. Menunda? Aku tertawa di dalam hati. Sejak awal, aku tak berniat menunda punya anak. Hanya saja, bagaimana hendak punya anak jika berhubungan intim saja tidak pernah? "Nggak, kok. Belum dikasih aja." "Lagi program, ya?" Yogi ini sudah pernah menikah dan bercerai, pasti dia tahu perihal kehamilan sedikit banyaknya. Dia punya anak dari mantan istrinya itu, akan tetapi anaknya dibawa oleh mantan istrinya ke luar negeri. Mantan istrinya itu telah menikah lagi dengan mantan pacarnya dulu. "Ya... do'ain aja, Gi." "Hmmm. Pasti. Emm... Sen, gue agak curiga sebenarnya sama si Willy. Dia niat mainin anak orang nggak, sih?" "Kenapa emangnya?" Tempat duduk ini berbentuk letter L, dan Willy duduk di bagian ujung bersama sang kekasih. Sedangkan aku dan Yogi berada di bagian sebelah satunya lagi. Di kala yang lainnya sibuk bergoyang mendengarkan musik dan ada yang bernyanyi juga, sementara aku dan Yogi lebih banyak mengobrol saja berdua. Yogi menggeleng. "Apa cuma pemikiran gue aja kali, ya? Minuman yang lo minum barusan itu, gue curiga kalau Willy campurin sesuatu ke dalamnya. Dia bilang, itu buat ceweknya. Oke, gue nggak lihat langsung dia nuangin itu minuman. Tapi... ah, cuma gue aja berpikiran negatif kali! Lo ada merasa aneh sama minumannya nggak? Ada reaksi apa, gitu?" "Agak ngerasa aneh, sih. Tapi, nggak ada reaksi apa-apa." Aku memang tak ada merasakan reaksi apa pun pada tubuhku semisal minuman ini dicampur dengan obat tidur atau pun obat peransang. Willy, temanku satu itu kata yang lain belakangan ini agak 'nakal'. Telat nakalnya. "Syukur deh! Mungkin itu cuma gue aja yang nethink karena dia titip minuman taruh di dekat sini dulu." Aku manggut-manggut. Mungkin Willy memang menyediakan minuman beralkohol aroma khusus untuk kekasihnya? Banyak saat ini perempuan yang suka minum minuman beralkohol juga. Kembali merogoh ponsel di kantong celanaku, aku membuka aplikasi pesan dan tak ada juga balasan dari Sania. Aku mengantongi lagi ponselku. "Minta minum lagi, Gi." "Entar lo mabuk, Sen." "Ada elo, entar gue bareng sama lo pulangnya. Anterin gue kalau mabuk." Yogi hanya geleng-geleng kepala. Tapi tetap menuangkan minuman untukku. "Lagi, Gi." "Eh, busyettt! Ini alkohol, Pak Dokter!" "Emang seorang dokter nggak boleh sesekali mabuk? Buru tuangin lagi, mumet banget otak gue!" "Lo kenapa, sih? Ada masalah di rumah sakit? Atau... masalah sama istri lo?" "Lama lo," decakku, mengambil sendiri minuman di atas meja dan menuangkan ke dalam gelas. Sesaat kemudian, aku ingin buang air kecil. Namun, di dalam toilet ada kekasihnya Dito yang baru saja masuk. "Di toilet luar sana aja kalau kebelet," ujar Dito. "Lo keluar terus belok ke arah kiri. Terus belok kanan dikit, ada toilet di sana. Temenin gih, Gi!" "Apaan? Emang gue anak kecil yang nggak bisa ke toilet doang sendirian?" protesku diiringi kekehan kecil. Aku mulai agak pusing. Tapi tetap berdiri dan melangkah agak sempoyongan sambil memegangi kepalaku. "Sen... " Yoga memegangi pergelangan tanganku. "Gue anter. Entar lo nyasar ke mana-mana lagi." "Ya elah, dikira gue anak kecil." Aku menepis tangannya Yogi. "Dah, gue sendirian aja." Aku melangkah keluar ruangan dan berjalan tertatih mengingat petunjuk yang Dito sebut. Aku tiba di tempat tujuan dan segera membuka celana di dalam sana untuk buang air kecil. Aku mencuci tangan serta mencuci muka di wastafel sebelum kembali ke ruangan. Mengerjap-ngerjap, kepalaku terasa berdenyut nyeri. Ditambah lagi, badanku terasa panas—gerah sekali rasanya. Keluar dari toilet, aku berjalan sambil memegangi dinding sempoyongan. Aku tersenyum ketika berhasil mencapai pintu ruangan. Sepertinya aku butuh tidur sejenak di ruangan yang ada kasur di dalamnya itu juga, sambil menunggu teman-temanku selesai happy-happy. Sedangkan aku? Boro-boro happy, hanya datang minum ke sini dan mabuk. Aku akan meminta Yogi nanti mengantarkanku pulang. Memasuki ruangan, aku bersendar pada dinding dekat pintu. Memejamkan mata sambil menahan rasa panas yang semakin menjalar di seluruh tubuhku. "Kak Arsen?" Aku menoleh dengan mata menyipit. Aku mengerjap-ngerjap mendengar suara yang tak asing denganku. Lalu, aku terkekeh. Sania tadi sepertinya ada di ruangan karoeke juga. Apa dia di tempat ini juga dan datang menemuiku? "Sania?” Aku langsung menubruk bibir perempuan yang merupakan istriku itu. Entah kenapa aku sangat b*******h malam ini. Apa efek minuman? Atau karena terlalu ingin menyentuh istriku untuk perkembangan hubungan kami menjadi lebih baik? "Jangan tolak aku lagi, San. Mari kita coba membangun rumah tangga sebagaimana semestinya," ujarku sambil menyentuh bagian perutnya. "Mari kita wujudkan juga keinginan orang tua kita." "Mana teman-temanku?" tanyaku mengedarkan pandangan ke sekitar dengan mata yang sudah buram. Aku tak mendapati seorang pun di ruangan ini selain istriku. "Ah, nggak penting. Mereka pasti udah kamu suruh pulang karena ingin berduaan sama aku, 'kan?" "Kak... " "Mas Arsen, bukan 'Kak', Sayang... " Aku kembali menyatukan bibir kami dengan tangan melingkari pinggangnya—menekan tubuhnya agar semakin rapat padaku. Tak melepaskan ciuman, aku membawanya ke arah kamar yang terdapat tempat tidur. Kami akan menyatu malam ini dan semoga menjadi lebih baik lagi ke depannya. *** Mataku mengerjap ketika mendapati aku terbangun bukan di ruanganku di RS atau pun di kamar apartemenku. Aku membuka lebar mataku menyadari di mana aku berada saat ini. Mataku membola, terkejut lagi ketika mendapati dirinya yang tak mengenakan sehelai benang pun menutupi tubuhku. Ragu, menoleh ke arah samping dan aku mendapati seorang perempuan yang tertidur di sebelahku. Seorang perempuan yang bukan merupakan istriku. Aku memalingkan wajah sambil menarik selimut untuk menutupi bagian dadanya yang sedikit terlihat. Astaga, ada banyak bekas kissmark di sana. Aku tidak bodoh untuk tak mengenali itu meski belum pernah melakukannya dengan perempuan mana pun, termasuk istriku. Berusaha mengingat kejadian semalam, aku tak mampu dengan jelas mengingatnya. Mungkin karena terlalu mabuk? Potongan rekaman yang aku ingat ketika masuk ruangan dan... aku menggeleng kuat. Aku yang menciumnya lebih dulu semalam? Tapi, kenapa dia tidak menolak? Aku mengusap kasar wajahku. Ya Tuhan, aku telah meniduri perempuan lain yang bukan istriku? Dan perempuan itu adalah... Gladys. Seorang perempuan yang aku tolak cintanya beberapa tahun lalu. Bagaimana bisa aku meniduri perempuan itu? Terbangun di kasur yang sama dengan sama-sama tak mengenakan apa pun, apa itu namanya? Hendak beranjak dari kasur ingin menggunakan pakaian, pergerakanku rupanya membuat Gladys terbangun. Mata perempuan itu membola, mengintip ke dalam selimut, kemudian dia berteriak. Aku segera membungkam mulutnya dengan tanganku. Hingga tanganku terlepas dari mulutnya karena perempuan itu menggigitnya. "Kak Arsen ngapain aku? Kenapa bisa ada di sini sama aku?" "Kamu bisa diam dulu nggak?" seruku kesal sambil memijit keningku. Aku memegangi bagian selimut juga menutupi bagian bawah tubuhku. "Saya juga nggak tahu kenapa saya ada di sini." "Aku mau pakai baju! Kak Arsen ngadep sana dulu!" "Siapa juga yang mau lihat." Aku memutar tubuhku ke arah samping dan juga bergegas meraih celanaku dan memakainya. Serta meraih kacamataku yang berada di dekat celana juga. Sunyi. Hingga aku mendengar suaru isakan terdengar. Aku menoleh dan mendapati Gladys duduk dengan kepala menunduk—masih dengan selimut menutupi tubuhnya. "Dys... " Lalu, mataku menemukan noda darah mengering pada sprei. Dalam cahaya yang minim pada ruangan ini, aku masih bisa mengenali noda itu. Rasa bersalah menyelimutiku. Aku semalam telah mengambil kesucian seseorang? "Kenapa, sih? Kenapa cobaan datang bertubi-tubi ke dalam hidupku?" Aku yang hendak menyentuh lengannya, seketika mengurungkan niatku karena perempuan itu mendongak. "Maaf. Saya juga enggak tahu— " "Kak Arsen jahat!" Perempuan itu memukul-mukul dadaku dan aku membiarkannya melakukan itu. Entah bagaimana kejadiannya semalam, aku tetap bersalah. "Kamu udah punya istri, kenapa malah tidurin aku? Mikir nggak, gimana perasaan istri kamu? Dan kamu mikir juga nggak, masa depan aku gimana? Kak, kenapa dari dulu kamu selalu jahat sama aku?" "Oke, saya salah dan saya minta maaf. Saya mabuk semalam dan nggak sadar udah ngelakuin sesuatu ke kamu. Tapi kenapa kamu nggak nolak?" "Merasa bersalah dan meminta maaf, tapi mau nyalahin aku juga?" Aku ingat melihat Gladys ini semalam di lorong sebelum memasuki ruangan dengan temanku. Apa Gladys juga melihatku semalam? Apa dia... "Saya nggak nyalahin kamu. Saya akui kalau salah, mungkin saya mabuk berat dan nggak sadar dengan apa yang sudah saya lakuin. Pertanyaan barusan saya ulang, kenapa kamu nggak nolak? Apa... kamu sengaja ingin balas dendam karena dulu ditolak oleh saya? Nggak terima dulu mengejar-ngejar dan nggak mendapatkan cinta saya, jadi sekarang berniat menghancurkan hubungan rumah tangga saya?" "Serius orang pintar—dokter macam kamu berpikiran begitu, Kak? Setelah sekian tahun nggak ketemu, kamu menuduh aku datang kembali untuk membalas dendam hanya karena pernah ditolak? Lucu sekali." Tangan perempuan itu melayangkan sebuah tamparan pada wajahku. "Aku nggak minta kamu untuk tanggung jawab atas apa yang udah terjadi semalam, yang aku sendiri nggak tahu persis kenapa bisa terjadi. Kenapa kita bisa berada di atas ranjang ini. Tapi, aku nggak terima kamu nuduh aku kayak gitu. Perasaan cinta aku sama kamu udah lama habis tanpa tersisa. Nggak ada lagi cinta untuk kamu sejak beberapa tahun lalu. Apa itu dendam? Aku sibuk dan nggak ada waktu untuk mikirin hal yang menurutku sama sekali enggak penting itu. Setiap harinya aku mikir, gimana aku caranya bisa sukses hidup sendirian di Kota Metropolitan yang keras ini. Bisa membanggakan orang tuaku. Mempunyai pasangan yang... " Gladys menggelengkan kepala. "Go away, Kak! Tolong segera pergi dari sini. Anggap nggak pernah terjadi apa pun semalam. Aku berharap nggak ada jejak kamu yang tertinggal di dalam diriku. Meski pun nanti ada, aku pastikan nggak akan mengusik kehidupanmu dengan istrimu itu." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD