Chapter 2. Not a Hallucination

2595 Words
Dari kejauhan seorang lelaki melihat dua orang gadis remaja yang sedang asik mengobrol. Ia terlihat menelisik gadis remaja yang sedang membelakanginya dan berdiri tepat di depan sang adik yaitu ‘Aline Raina M’. Ia sangat yakin itu adalah teman adiknya yang kemarin diceritakan via telepon. Seorang gadis remaja mana yang dengan mudah membuat Raina memohon kepadaku untuk menggunakan pesawat komersial. Raina sendiri mengetahui bahwa hal yang diminta itu tidak mudah. Karena aku adalah seorang pengusaha muda yang sangat diincar oleh wartawan, gumamnya dalam batin. Karena itu, ia menghindari hal-hal yang akan membuat dirinya kesulitan dikemudian hari. Untuk menghindari kerumunan para wartawan pun, harus membuat rencana terlebih daulu agar dapat mengelabui mereka semua yang selalu mengikuti pergerakannya. Seperti sekarang ini, sekretaris pribadinya keluar terlebih dahulu melalui gerbang khusus yang biasanya ia lewati. Sedangkan, ia sendiri keluar melalui gate yang telah ditentukan oleh maskapai penerbangan. Hari ini, ia kembali menggunakan pakaian casual dan tidak lupa dengan masker, topi, serta kaca mata. Outfit yang ia kenakan hari ini sangat mirip ketika ia masih menjadi pria naif, labil, dan belum dewasa walaupun menggunakan pakaian casual. Ia tetap terlihat tampan dan keren, membuat siapa pun akan bertekuk lutut mengemis akan belaiannya. Lelaki itu terus melangkahkan kakinya, mengikis jarak yang sangat dekat dengan kedua wanita yang sedang menungguinya. Pun lelaki tampan ini membuka suara dengan ciri khasnya ketika berjumpa dengan sang adik. “Hei, caxy baby,” sapanya. Dengan sengaja, ia langsung melepas masker, dan kaca mata yang ia kenakan. Kemudian, melatakkan di saku jaketnya. Wanita yang memunggunginya pun tampak menoleh ke belakang. Sehingga iris mata mereka saling bertemu dan membuat Audi membelalakan matanya. Sedangkan Raina, dengan merentangkan kedua tangan ke samping sembari berjalan menuju suara bariton yang menyapanya. Kemudian, Raina merengkuh tubuh pria yang berstatus sebagai kakak laki-laki satu-satunya. Pria itu dengan senang hati menerima pelukan dari Raina. Pandangan matanya terus tertuju pada gadis remaja yang berada di depannya. Menelisik dari atas sampai bawah, dan terakhir menatapnya kembali dengan tatapan penuh kerinduan. “Hey brother,” sapa Raina. Sial! Dunia ini sempit, lirihnya membatin. Ternyata kau berada sangat dekat denganku dan aku tidak menyangka kau akan berteman baik dengan adikku, gumamnya lagi dalam hati sembari tersenyum tipis hampir tidak ada yang bisa melihat senyumannya. Pria itu masih terus melihat Audi dengan ekspresi wajah yang dibuat senatural mungkin. Pun Audi semakin tidak bisa mengontrol perasaannya yang berkecamuk walaupun rasa takutnya telah hilang. Namun, ia sangat cemas, belum siap untuk berjumpa kembali dengan seseorang yang menjadi masa lalunya. Audi meneguk salivanya kuat-kuat, menetralisir rasa sesak yang kembali bergumul ke permukaan. “Kau sangat cantik dan tambah seksi, baby,” ungkapnya dengan mata masih menelisik Audi dengan lekat. Sebenarnya, ungkapan kata pujian yang ia utarakan itu bukan untuk Raina. Melainkan, untuk seseorang yang telah lama ia cari, dan tidak pernah dilihatnya selama hampir empat tahun. Wajah yang selalu terbayang di dalam memorinya, bahkan tidak pernah terlupalan. Pria yang Raina jemput adalah ‘Ansel Rainart Mallory’. Ansel adalah kakak kandung dari ‘Aline Raina Mallory’. Seorang pengusaha muda keturunan keluarga besar Mallory. Berdarah campuran Amerika-Indonesia dan terkenal sebagai raja bisnis muda di mancanegara. Ansel, saat ia berusia 4 tahun, ia memang telah berpisah dengan adik bungsunya, dan adik satu-satunya, Raina. Sebab, Raina lebih memilih untuk tinggal bersama dengan keluarga sang Daddy ‘Frans Oliver Mallory’. Sedangkan, Ansel sendiri tinggal di Jakarta bersama dengan Frans dan Agatha. Mereka bertiga sesekali berkunjung ke Bali untuk menginap di rumah orang tua Agatha ‘Mommy Ansel dan Raina’, sekaligus menjenguk omanya yang memiliki kondisi tubuh lemah. Walaupun demikian, Ansel tinggal bersama dengan kedua orang tuanya, itu tidak membuatnya merasa bahagia. Sebab, ia selalu merasa kesepian di Mansion yang super megah dan besar. Semua yang ia inginkan telah dipenuhi di Mansion Mallory, Jakarta. Namun, semua yang ia miliki tidaklah sebanding dengan apa yang ia rasakan. Ansel tidak pernah merasakan kasih sayang penuh yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Sebab, Frans dan Agatha lebih sering berpergian keluar Kota ataupun keluar Negeri untuk mengurus sebagian bisnisnya yang masih dipegang oleh Frans. Kasih sayang orang tua, hanya ia dapatkan dari ibu asuhnya, yaitu ‘Ibu Ningsih’. Sejak kecil, Ansel selalu disayang, dimanja, dirawat dengan baik, dan selalu menemaninya selama di mansion. Sebab dari itu, Ansel selalu menyanyangi Ningsih layaknya Ibu kandung. Ansel yang melihat Audi melangkahkan kakinya mundur seraya akan kabur kembali untuk menjauhinya, dengan cepat Ansel membuka suaranya. “Caxy baby, Apa itu teman yang kau ceritakan kemarin di telepon?” tanyanya sambil melepaskan rengkuhan Raina di dalam tubuh idealnya. Keringat dingin terus bercucuran di wajah Audi. Matanya mulai terasa panas, seketika bayangan di masa lalu yang hampir pudar dalam ingatannya muncul kembali. “Yes, brother Ansel. Kenalin ini temanku, Audi Grizelle Abhijaya. Ia juga sama seperti Mommy, yang berasal dari Indonesia,” terang Raina dengan memperkenalkan Audi kepada Ansel. Ansel hanya mengangguk, tidak menampilkan senyuman sedikit pun. Ia sengaja menampilkan wajah tegasnya agar tidak terlihat dengan jelas bahwa ia sedikit lega melihat Audi berada di dekatnya. “Audi, ini kakak-ku yang tadi aku ceritakan ketika di perjalanan menuju ke sini.” Audi tidak merespon ucapan Raina. Tubuhnya masih menegang melihat pria yang berada di depannya. Ia ingin pergi, menghindar secepat mungkin dari situasi yang membuat napasnya tercekik. “Rai-na,” jawab Audi dengan terbata. Seketika, Raina merasa khawatir melihat perubahan wajah Audi yang mendadak menjadi pucat pasi. “Di, are you okay?” tanya Raina terselip rasa cemas. Audi hanya mengangguk pelan. Dengan suara terbata ia menjawab pertanyaan Raina. “Ak-aku pamit duluan ya, Na!” serunya dengan berusaha keras. Sebab, mulutnya sulit sekali untuk megeluarkan suara. Dengan sigap Audi membalikkan tubuhnya lalu berjalan dengan cepat meninggalkan Ansel dan Raina. Audi tidak menghiraukan panggilan Raina yang terus berteriak meneriaki namanya. Pikirnya, ia harus segera menjauh dan terus berjalan dengan cepat meninggalkan tempat ini. Pun Raina yang berniat menyusul Audi, lengannya ditahan oleh Ansel. “Caxy baby, biarlah ia pergi. Kita langsung pergi ke mansion! Aku sudah lelah, ingin segera beristirahat,” pintanya. Raina tidak mengeluarkan suara. Namun, ia langsung melepaskan cekalan tangan Ansel di lengannya, dan meninggalkan sang kakak yang masih diam disana. Ansel hanya bisa menghela napas dengan kasar, memijat keningnya dengan tangan kanannya, dan tangan satunya melipat di atas perut. “WTF!” umpatnya geram pada dirinya sendirinya. Kakinya melayang seraya melakukan tendangan ke udara, menumpahkan kekesalannya dengan cara seperti itu. Detik kemudian, Ansel mengikuti langkah sang adik, Raina. Tujuan Raina bukan ke tempat parkir mobil yang di mana mobilnya berada, melainkan ke Terminal E. Sampai di Terminal E, Raina tidak melihat Audi disekitar sana. Audi juga tidak mengangkat telepon dan membalas pesan ataupun surel. Raina benar-benar khawatir dan bingung akan keberadaan Audi. Raina kesal dengan Ansel. Karena Ansel mencegah Raina untuk mengejar Audi yang pergi begitu saja. Raina khawatir terjadi sesuatu kepada Audi, sehingga membuatnya harus mengelilingi bandara untuk mencari Audi. “Ini itu salahmu brother!” tungkas Raina dengan tegas kepada Ansel. “Kalau saja brother Ansel tidak mencegahku, ini tidak mungkin terjadi! Sekarang aku pasti bersama dengan Audi,” ucapnya lagi dengan wajah merah padam menahan amarah. “Brother balik aja sana ke mansion! tetap berada disini pun tidak membantu apa pun,” ketusnya dengan mangkel. Raina meninggalkan Ansel yang masih diam tanpa membalas sepatah kata pun ucapan Raina. Setelah beberapa saat mencari keberadaan Audi disekitaran Bandara Boston, Pun akhirnya Raina menyerah. “Aku lelah, dan menyerah mencari Audi,” katanya. Raina memutuskan untuk pergi meninggalkan Airport sambil terus berusaha untuk menghubungi Audi selama diperjalanan. “Semoga kau segera membalas pesan, surel, ataupun meneleponku balik,” gumam Raina mengharapkan Audi membalasnya walaupun dengan pesan singkat. Sedangkan, Ansel merasa ini bukan kesalahannya. “Kenapa harus aku yang disalahkan oleh Raina? itu semua murni kesalahan Audi sendiri yang pergi begitu saja,” cicitnya. Kendatipun di hati kecilnya paling dalam ia sangat merindui Audi dan merasa cemas kemana perginya Audi. Namun, tetap saja itu tak adil. Karena ia yang disalahkan. Pun Ansel menghubungi sekretaris pribadinya, ‘Alex Pattison’ dan mengucapkan, “Lex, tolong jemput aku, lalu lacak keberadaan Audi. Terutama mengecek semua CCTV yang ada di airport.” Ansel mematikan telepon secara sepihak, tanpa menunggu jawaban dari Alex. *** Dilain sisi, Audi sedang berada di dalam bilik toilet airport. Ia duduk di atas kloset duduk dalam bilik toilet itu. Setelah pertemuannya yang tak terduga, Audi berjalan menuju toilet airport di Terminal E. Air mata yang ia tahan sejak tadi menetes dikedua sudut matanya. Ia tidak mengerti kenapa ia bisa sesedih ini melihat pria itu. Pria yang sudah ia lupakan dengan semua kenangan yang mereka jalin bersama, sampai berbuah menjadi kepudaran walaupun hanya sedikit. Namun, kini. Kenangan dimasa lalu seolah hidup kembali di dalam dirinya. Respon jantungnya yang berdetak pun semakin cepat kala melihat laki-laki itu. Dia menyeka air matanya dengan punggung tangan kanannya, mengambil handphonenya di dalam saku black leather jacket yang ia kenakan. Audi melihat layar handphonenya yang menampilkan banyak sekali panggilan tidak terjawab, pesan, dan surel masuk dari Raina. Pikirannya masih berkecamuk, “Kenapa dengan bodohnya aku tak pernah bertanya mengenai keluargamu, Ra? padahal selama ini aku selalu terbuka dengan menceritakan seluruh keluargaku kepadamu,” gumam Audi berbisik. “Aku memang sangat bodoh!” “Apakah ini memang takdir Tuhan yang selalu mempertemukanku dengannya? Bahkan, disaat aku jauh pun dan tidak berkomunikasi dengannya lagi aku dipertemukan dengan salah satu keluarganya, bahkan menjadi teman dekatku.” Audi menghela napas. Menghapus air mata yang sedari tadi membasahi pipinya, lalu bergumam dalam batin. Tuhan, jika memang ini takdirmu berikanlah aku kekuatan dan ketabahan untuk menghadapi jalan kehidupanku kedepannya. Berikanlah yang terbaik untuk diriku,’ gumamnya membatin dengan menahan pilu dan permohonan. Audi keluar dari dalam bilik toilet. Kemudian, membasuh mukanya supaya terlihat lebih segar dan menambahkan sedikit powder di wajahnya. Menata kembali rambutnya yang berantakan. Setelah selesai dengan berbenah, ia menatap cermin yang berada di depannya. Audi, menghembuskan napas sedalam mungkin, dan secara berkala seraya menyakinkan dirinya sendiri. “Yang berlalu biarlah berlalu. Sekarang aku bukan lagi Audi yang dengan mudahnya dibohongi dan dipermainkan,” ucapnya pada diri sendiri. “Semangat Audi! kau tidak boleh menjadi wanita lemah!” gumamnya lagi. Namun, kali ini ia menyemangatkan dirinya sendiri. Beberapa orang yang berada di toilet melihat tingkah Audi seperti orang gila. Mereka bergidik ngeri melihat Audi berbicara dengan cermin. Seketika Audi tersadar ia berada di toilet umum. Pun Audi memilih segera keluar dari toilet, mengambil sling bag miliknya yang berada di atas meja wastafel berbahan keramik, dan menggunakan sling bag itu untuk menutupi muka merahnya yang seperti kepiting rebus. “Sial! aku lupa ternyata masih berada di toilet umum,” rutuknya pada diri sendiri. Keluar dari toilet umum, dan tidak jauh dari tempatnya berada. Audi sudah melihat sang kakak dengan seseorang wanita yang berada disampingnya. Keningnya mengkerut melihat wanita yang berada di samping Aydin. Dengan terburu-buru ia mendekati Aydin dengan memanggil namanya. “Mas Ay!” panggilnya dengan berteriak. Disaat jarak mereka tersisa lagi satu langkah, Audi langsung melilitkan kedua kakinya di pinggang, dan melingkarkan kedua tangannya di belakang tengkuk Aydin. Aydin yang paham betul tingkah laku adiknya akan seperti ini, dengan sigap menyeimbangkan tubuhnya agar tidak jatuh kebelakang. Sejak Audi masih kecil sampai sekarang Audi pasti akan bermanja dengan kakak satu-satunya ini. Kemudian, tanpa diminta pun Audi sudah langsung mencium kedua pipi Aydin secara bergantian dan saat Audi akan mengecup bibir Aydin, saat itu juga Aydin menjauhkan wajahnya dari Audi, membuat bibir bagian bawah Audi maju ke depan. Aydin membuka suara. “Eh, sudah dewasa gak boleh cium-cium sembarangan, dong.” “Yah… Mas Ay!” keluhnya. “Ngecup sama cium, ‘kan berbeda. Nyebelin banget deh!" jelasnya dengan wajah masih dibuat cemberut. Aydin menelisik wajah Audi yang terlihat agak sembab. Audi yang menyadari bahwa Aydin mencurigai wajah sembabnya, membuat Audi mendaratkan wajahnya di lekukan leher Aydin. Saat itu juga Aydin menurunkan Audi dari gendongannya. “Siapa yang membuat adik Mas, sembab kaya gini?” tanyanya to the point tanpa basa basi lagi. Audi gugup seketika mendapatkan pertanyaan dari sang kakak. “Habis begadang semalam, seperti biasa menangis karena nonton drama pelakor,” jawab Audi dengan alasan yang paling aman. Audi pun berinisiatif mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan wanita yang berada di belakangnya saat ini. “Siapa itu?” tanyanya dengan menunjuk wanita itu dengan dagunya. “Cewek yang ada dibelakang Mas Aydin? pacar? kok gak pernah bilang sih punya pacar?” “Mommy sama Daddy tahu tidak, kalau Mas Aydin sudah punya pacar?” pertanyaan yang beruntun pun Audi ajukan kepada Aydin. “Tanya satu-satu dong! Gimana mau jawab, kalau pertanyaanmu banyak gitu?!” balas Aydin dengan menonyor kepala Audi menggunakan jari telunjuknya. “Ihhh… jawab aja lagi! jangan buat aku penasaran!” seru Audi menuntun sebuah jawaban. “Dasar kamu ini!” “Mas, tadi juga baru kenalan dengan wanita ini. Tadi Mas Ay tidak sengaja menemukan dompetnya yang terjatuh, lagian kamu jangan ngaco deh! Wanita ini bukan pacar Mas,” terang Aydin yang membuat Audi tersenyum lebar menampilkan deretan gigi putihnya. “He-he-he maaf Mas. Aku sudah berburuk sangka duluan sama Mas Ay.” “Siapa sih, yang tidak kenal dengan adik Mas yang paling bawel ini? Hh? tanpa bertanya detail sudah main curiga, dan menyimpulkan dengan sendiri.” Audi yang mendapatkan jawaban begitu dari Aydin hanya bisa tersenyum malu karena sudah berprasangka buruk sebelum bertanya kepada empunya. Flashback on, Beberapa saat ketika menunggu Audi yang akan menjemputnya. Aydin tidak sengaja menemukan dompet seorang wanita di depan pintu keluar kedatangan International. Aydin mengambil dompet itu lalu memberikannya kepada pihak bandara. Saat Aydin menunggu Audi di depan Terminal E. Wanita itu menghampiri Aydin dan mengucapkan terima kasih. Wanita itu juga ingin memberikan imbalan kepada Aydin karena telah menemukan dompetnya. Namun, Aydin menolak secara halus supaya tidak menyinggung hati wanita itu. Ketika wanita itu ingin mengajak Aydin makan bersama sebagai tanda terima kasih, tiba-tiba Audi datang dan wanita itu mengurungkan niatnya. Flashback off. “Yaudah ayo balik,” ajak Aydin untuk segara balik ke apartement karena Aydin benar-benar merasa kepalanya pusing, mungkin jetlag akibat perjalanan yang cukup menguras waktu dan tenaganya. “Mas pamitan dulu sama wanita itu.” Audi mengangguk, sebagai respon bahwa ia mengiyakan ajakan Aydin. “Ayo! sekalian beli makan yah, Mas. Aku belum makan dari tadi pagi.” “Baiklah.” Aydin dan Audi pun pamit dengan wanita itu. Mereka melangkahkan kakinya menuju pintu keluar Airport. Sepanjang perjalanan Aydin terus mendengar ocehan adiknya. Pun Audi menceritakan bahwa ia telah menyiapkan sebuah kejutan untuk menyambut kedatangan Aydin di Boston. Namun, karena keterlambatannya ia tidak bisa memberikannya. Tanpa mereka sadari, sedari tadi seseorang pria memperhatikan interaksi mereka berdua dari kejauhan. Pria yang memperhatikan mereka adalah Ansel. Setelah Ansel mendapatkan informasi dari Alex mengenai keberadaan Audi. Ansel segera memutar balik mobil yang sedang ia kendarai, dan melajukan mobilnya menuju Airport untuk memastikan kembali Audi dalam keadaan baik-baik saja. Melihat wajah Audi yang sedikit sembab, itu membuat Ansel yakin bahwa Audi habis menangis. Tiba-tiba ia mengingat kejadian di masa lalu, dan ulu hatinya pun kembali merasa tertusuk ujung belati ketika melihat wajah Audi seperti itu. Kemudian, Ansel mengambil gambar Audi dan Aydin, saat mereka sedang berpelukan tadi. Ia mengirim gambar itu melalui pesan kepada adiknya, Raina. Ia juga menjelaskan bahwa temannya dalam keadaan baik-baik saja, dan tidak usah terlalu khawatir yang berlebihan. Ia melakukan itu semua semata agar adiknya tidak marah lagi kepadanya. Tetapi, hati kecil berkata lain. Ansel juga sangat menghawatirkan teman kecilnya, Audi. “Apakah ini mimpi? Aku bisa bertemu lagi dengannya. Terima kasih Tuhan, kau telah mengabulkan setiap doa-doaku yang aku panjatkan kepadamu. Setelah penantian panjang, akhirnya aku bisa melihatnya lagi dalam keadaan baik-baik saja,” gumam Ansel lirih sembari melihat kepergian Audi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD