Chapter 1. Boston Logan International Airport – Massport

3330 Words
Seorang gadis remaja berusia 21 tahun, kini menjalani hidupnya sebagai mahasiswa tingkat akhir di Massachusetts Institute of Technology dengan jurusan Bisnis dan Manajemen. Ia mengambil program percepatan kuliah atau disebut fast-track karena ingin lebih cepat memasuki dunia kerja dan membantu keuangan kedua orang tuanya. Sekaligus mewujudkan satu per-satu impiannya. Tiga tahun lalu, ia mendapatkan Beasiswa Sarjana di Massachusetts Institute of Technology, sehingga bisa melanjutkan kuliah S-1 di kampus impiannya. Awalnya, ia ragu untuk menerima beasiswa tersebut, karena merasa belum bisa mandiri untuk bisa mengurus keperluannya sendiri dan jauh dari kedua orang tua. Namun, keraguan tersebut hilang dengan seketika. Akibat kemunafikan, kelabilan, kebohongan, dan janji palsu yang dilakukan oleh sahabat kecil-nya. Setelah terkuak sifat asli lelaki itu, ia menjalani kehidupan yang sangat berat. Sampai-sampai hampir kehilangan nyawanya, dan saat hari dimana ia akan kehilangan nyawanya, sang kakak sulung segera menemukannya dan menolongnya. Bersyukur, sampai detik ini ia masih diberikan umur panjang walaupun harus menjalani hari demi hari yang sangat berat dan melelahkan. Setelah kejadian tersebut, gadis remaja itu bertekad untuk memutuskan menerima beasiswa dari Massachusetts Institute of Technology, melupakan kenangan yang mereka jalin bersama, dan memutuskan semua komunikasi secara sepihak. Serta memutuskan ikatan pertemanan yang sudah mereka jalin sejak kecil. Walaupun demikian, gadis remaja itu’lah yang meminta terlebih dahulu untuk berteman dengannya, tetapi jalan, dan pilihan terbaik untuk dirinya melanjutkan hidup adalah dengan cara melepaskan dan melupakan masa lalunya, dan memulai kehidupan-nya yang baru. Benar saja, gadis remaja itu menjalani kehidupan yang penuh dengan berbagai aktifitas kesibukan; tugas perkuliahan dan part time disalah satu mini market yang ada di Boston. Kehidupannya pun benar-benar berbanding terbalik ketika masih sekolah dan di perguruan tinggi. Kini, ia memiliki banyak teman baru yang sangat tulus, perhatian, dengan lapang hati membantunya disaat ia merasa kesulitan dan kesepian, menerimanya apa adanya, dan mereka tidak membedakan derajat setiap orang, membuatnya terasa nyaman dengan kehidupan yang baru. Terkadang ada perasaan hampa di lubuk hatinya yang paling dalam. Akan tetapi, sampai saat ini ia belum menyadari perasaannya sendiri ketika merasakan hal tersebut. Ketika masih di Sekolah Menengah Atas, ia selalu dibully. Sebab, menurut teman-temannya atau lebih tepatnya hasutan satu geng yang berkuasa di Neo International High School, ia tidak berasal dari keluarga yang sederajat dan tidak sebanding dengan mereka. Namun, siapa sangka yang selalu dibully oleh teman-temannya, bahkan ia tidak memiliki banyak teman, menjadi lebih beruntung dari pada yang lainnya, yang selalu mengagung-agungkan dirinya. Gadis remaja itu menjadi anak emas di sekolahnya. Sebab, selalu mendapatkan juara umum, mengikuti berbagai olimpiade, dan membuatnya selalu mendapatkan beasiswa. Hal itulah yang seharusnya patut dicontoh dan dibanggakan. Pun gadis remaja itu tidak pernah angkuh kepada teman yang lain walaupun ia menjadi seorang yang memiliki otak cerdas. Malahan sebaliknya, ia dijauhi hanya karena derajat sosial. Gadis remaja itu adalah ‘Audi Grizelle Abhijaya’ ia tidak pernah merasa malu akan kehidupannya yang sangat sederhana. Baginya itu adalah anugerah dari Tuhan yang telah diberikan kepada keluarganya kendatipun hidup dengan keadaan sederhana, itu tidak membuat kebahagian dan ketentraman pudar dari keluarga Abhijaya. Dan ketika Audi mengatakan kepada orang tuanya mendapatkan beasiswa di Massachusetts Institute of Technology, Anna menentang dengan keras keinginan Audi melanjutkan kuliahnya di luar negeri. Namun, setelah berpikir. Anna pun tidak bisa melarang Audi untuk mewujudkan impiannya. Anna tidak ingin Audi menjadi seperti dirinya. Berat rasanya bagi mereka melepaskan Audi seorang diri di negeri paman sam. Tetapi, dengan keyakinan yang diberikan Mas Ay kepada kedua orang tuanya, bahwa akan selalu memantau sang adik walaupun hanya melalui video call atau telepon. Membuat Anna dan Mirza berlapang hati mengizinkan Audi untuk melanjutkan pendidikan S-1’nya. Aydin dan Audi sama-sama memiliki kemampuan cerdas yang mengambil dari gen sang Daddy, sehingga membuat mereka mendapatkan Beasiswa di Universitas impian yang sangat mereka inginkan. Sementara itu, sekarang Aydin bekerja sebagai Biro Teknik & Perencanaan di salah satu perusahaan property terbesar yang berada di Dubai. *** 17 Tahun Kemudian Sorder – Pierce Boston Apartment Sulfolk Country, Massachusetts, AS Bunyi jam weker yang sangat keras mengusik seorang gadis remaja yang masih bergelut dengan selimut, bantal, dan gulingnya. Jam weker terus berdering. Menandakan pukul 06.00 waktu Boston, dengan mata masih terpejam, gadis remaja itu menyampingkan tangan kanannya, meraba nakas sebelah tempat tidur, dan dengan sekali hentakan “Tak” jam weker tersebut langsung padam. Tidak mengeluarkan suara dering dari jam weker itu lagi. Lagi, gadis remaja itu menarik selimut berbahan flanel berwarna gray sampai menutupi seluruh tubuhnya. Beberapa jam pun telah berlalu. Kini jam dinding sudah menunjukkan pukul 12.00 waktu Boston, Massachusetts, AS. Gadis remaja ini masih saja tertidur dengan pulas dan meringkuk di bawah selimut. Ia melupakan suatu hal penting, bahwa hari ini ia berjanji untuk menjemput sang kakak tercinta di Bandara Boston. Perlahan, selimut yang menutupi wajahnya, merosot kebawah. Sampai akhirnya, sinar matahari yang tembus dari celah gorder menyinari bagian wajahnya. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya sembari merentangkan kedua tangannya keatas secara perlahan. Kedua kelopak mata gadis remaja itu dengan sempurna terbuka. Kemudian, ia mendudukan diri sembari menyandarkan kepalanya disandaran tempat tidur, dan ia tidak lupa dengan kegiatan pertamanya setelah bangun tidur yaitu berdoa. Mengucap syukur. Dengan menyematkan tangan kanan dan kirinya, diletakkan di depan dada lalu ia memulai sebuah doa serta mengucap syukur. “Tuhan Yesus yang baik, Terima kasih karena engkau telah menjaga Audi dari malam hingga pagi ini. Terima kasih atas napas kehidupan yang engkau limpahkan kepadaku. Sebentar lagi aku akan menjalankan aktifitas, hendaknya kau menjaga dan membentengiku dengan bala tentaramu yang kudus, dan kau jauhkan dari segala hambatan pada hari ini, hanya kepadamu aku menyembah dan mengucap syukur, kuasamu bekerja pada Audi hari ini. Amen.” Audi melihat jam dinding yang berada tepat di dinding depan ranjangnya. Matanya membelalak dan saat itu juga ia terperanjat ketika baru menyadari dan teringat akan janjinya kepada Aydin. “Oh God!” pekiknya. “Astaga… aku baru ingat harus jemput Mas Ay di Airport,” ungkapnya dengan terkejut. Menendang selimut yang masih menutupi setengah badannya, melompat dari atas tempat tidur dengan tergesa-gesa, dan berlari menuju kamar mandi untuk membasuh diri. “Mampus! pasti bakal kena omel kalau telat kaya gini,” gerutunya yang masih melanjutkan kekesalan pada dirinya sendiri. “Sial!” umpatnya. “Akibat kemarin begadang, dan nonton serial drama jadi lupa waktu,” gerutunya kesal. “Kenapa jadi pelupa gini, sih?” “Masih aja sifatku yang ceroboh ini, please… hilanglah dari dalam diriku,” keluhnya sembari memohon. Semakin hari, sifat cerobohnya semakin menjadi, ia pun pusing sendiri dengan sifatnya yang tidak bisa hilang dari dalam dirinya. Ketika Audi akan membuka pintu kamar mandi, getaran handphone terdengar di telinganya. “Shit!” umpatnya. “Jangan bilang Mas Ay.” Menghela napas, dan segera berjalan menuju nakas yang berada di sebelah tempat tidurnya. Mengambil ponselnya, lalu melihat satu pesan masuk dari ‘Raina’ teman satu kampusnya, namun berbeda jurusan. Mambelalak kesal. “Kau sangat menyebalkan, Ra. Bikin jantungku mau copot,” gerutunya sambil meletakkan tangannya tepat di depan dadanya yang sudah berdetak dengan cepat. Audi pikir itu adalah pesan dari Aydin, yang sedang mengomelinya karena belum menjemputnya. Menghela napas dengan dalam lagi saat membaca isi pesan dari Raina; “Lagi 20 menit aku sampai. Kau jangan sampai telat! dan langsung tunggu di depan Lobby!” Jika sudah begini, berarti Raina tidak ingin ada kata keterlambatan. Audi memijat kening. “Manusia ceroboh kaya kau ini harus dibuang ke palung laut saja! kau melupakan Raina lagi, Audi!” ungkapnya sebal pada dirinya sendiri. Audi dan Raina akan pergi ke airport bersama. Sebab, Raina juga akan menjemput sang kakak yang datang dari Los Angeles untuk menghadiri acara wisudanya besok lusa. Sama seperti Audi. Biasanya kakak sulung Raina selalu berpergian menggunakan Jet Pribadi milik keluarganya atau miliknya sendiri, tetapi untuk kali ini Raina meminta dan memohon kepada kakak semata wayangnya untuk menaiki pesawat komersial agar ia bisa pergi ke airport bersama dengan Audi. Sekaligus mengenalkan teman baiknya itu. Dua hari lagi mereka akan melangsungkan wisuda. Sehingga salah satu keluarga mereka mendapatkan sebuah undangan untuk menghadiri acara wisuda mereka. Awalnya kedua orang tua Raina yang akan menghadiri acara wisuda kelulusan S-1. Namun, kedua orang tuanya harus pergi ke Indonesia dengan mendadak dan sangat terburu-buru. Sebab, sang oma yang berada di Bali, riwayat penyakit reumatiknya kambuh kembali. Mau tidak mau. Raina harus mengalah dan membiarkan kedua orang tuanya pergi ke Indonesia untuk menjenguk sang oma, dan membiarkan kakak sulungnya yang mewakilinya. *** Beberapa menit kemudian, Audi telah selesai membasuh tubuhnya. Kini Audi dengan cepat menggunakan pakaian, serta memoles wajahnya dengan makeup natural agar tampak lebih segar. Seorang Audi yang memiliki kecantikan natural tidak suka menggunakan makeup. Namun, demi memudarkan mata pandanya akibat begadang semalaman. Mengharuskannya memoles wajahnya. Audi lebih suka merawat wajahnya dengan beberapa produk skincare yang sesuai dengan jenis kulitnya. Ketimbang harus ber-makeup dengan tebal walaupun Audi jarang menggunakan makeup, itu tidak memudarkan kadar kecantikan dalam diri Audi. Audi berdiri di depan cermin. Memperhatikan dirinya pada pantulan cermin dari atas sampai ujung kaki. Outfitnya kali ini yaitu mengenakan black leather jacket, memadukan dengan kaos turtleneck warna putih, celana jeans, dan sepatu boots senada dengan warna leather jacket-nya. Tak lupa dengan gaya khasnya yaitu rambut yang selalu dicepol ke atas dengan asal, memperlihatkan kulit mulus, dan bersih pada leher jenjangnya. “Well, sekarang kau sudah rapi, cantik, dan kau harus segera bergegas Audi,” lirih Audi memuji dirinya sendiri sembari berkacak pinggang. Kemudian, memutar tubuhnya bak putri kerajaan yang sedang mengenakan gaun berbahan kain linen, satin, dan sutera. Setelah dirasa sudah cukup dan puas dengan outfitnya hari ini, Audi bergerak cepat mengambil sling bag, handphone, banner untuk menyambut sang kakak dengan tulisan ‘Wellcome to Boston Massachusetts My Beloved Elder Brother Aydin Kenan Wijaya’, lalu ia masukkan semua barang-barangnya ke dalam sling bag yang akan dikenakannya. Audi keluar dari kamar apartment. Tidak lupa untuk mengkunci kamar apartmentnya, dan segera berjalan menuju lobby untuk menunggu Raina yang sedang dalam perjalanan. Saat Audi akan mendaratkan bokongnya di sofa empuk lobby apartment, Audi melihat mobil Raina memasuki area apartment dan benar saja Raina langsung menekan klakson mobilnya yang sangat kencang. Audi memejamkan mata sejenak, lalu menggelengkan kepala. Seperti biasa, kebiasaan Raina yang selalu menekan klakson dengan sangat keras. Pun Audi dengan langkah lebar menghampiri Raina. “Berisik tau gak sih!” protes Audi ketika sudah memasuki mobil sport milik Raina. “Kenapa kau tidak balas pesan dariku?” sanggah Raina dan tak menjawab protesan Audi. “Kalau aku telat kakak-ku bisa marah,” jelasnya dengan raut wajah kesal. “Aku telat bagun,” tuturnya dengan cengiran. “Maaf ya tadi itu sedang buru-buru mandi,” cicit Audi dengan menjelaskan alasannya tidak membalas pesan dari Raina. “Kebiasaan burukmu muncul kembali! Kau selalu saja, jika sudah memiliki janji. Sudah dipastikan kau akan melupakannya dan berujung akan bangun kesiangan.” “Dan aku yakin pasti kau habis nonton drama sepulang dari part time,” tebak Raina dengan penuh keyakinan. Raina sudah mengenal Audi sekitar 3 tahun. Ia sudah terbiasanya dengan polah Audi yang seperti ini. Audi berdecak lidah. “Kau sudah sangat hafal ya dengan kebiasaanku ha-ha-ha.” Audi ketawa cekikikan. Ia pun tidak menyangga, bisa berteman dengan Raina sampai sejauh ini, bahkan Raina sudah sangat hafal mengenai kegiatan kesehariannya. Selama diperjalanan mereka megobrol sembari bercanda gurau. Sesekali menanyakan perihal persiapan kembalinya Audi ke Indonesia, dan rencana kedepannya akan melakukan apa? “Aku telah memutuskan, sehari setelah wisuda akan kembali ke Indonesia.” Baginya sudah cukup 3 tahun menimba ilmu di Massachusetts, AS dan ia sangat rindu dengan kedua orang tua, dan tanah kelahiranya. “Kendatipun aku hampir setiap hari menelepon kedua orang tuaku, tetapi itu tidak dapat dikatakan melepas rasa rindu. Jika tidak bertemu langsung dengan kedua orang tuaku. Aku benar-benar merindukan mereka.” “Ra, jika kau datang berkunjung ke Indonesia, jangan lupa hubungi aku!” pintanya dengan peringatan. Sementara itu, Raina masih fokus dengan setirnya sembari mendengarkan ucapan Audi. “Tentu. Kau tenang saja. Mansionku dekat dari rumahmu. Jadi, aku bisa dengan sesuka hatiku berkunjung di kediamanmu,” balas Raina. Audi hanya mengangguk dan mereka berdua kembali terdiam. Lama tediam, Audi mulai memikirkan sesuatu yang beberapa waktu lalu selalu melintas, dan sangat menganjal dalam pikirannya. Ia butuh sebuah penjelasan langsung dari Raina agar bisa membuat perasaannya lega. Sejenak berpikir, akhirnya ia memberanikan diri untuk bertanya dan mengurangi rasa penasarannya. “Ra…,” panggilnya lirih. Audi kembali memperhatikan seluruh isi dan bagian mobil sport ‘Lamborghini Veneno’ yang sedang dikendarai oleh Raina. “Ya?” “Apa kau berasal dari keluarga berada sampai mempunyai mobil sport seperti ini? Aku yakin ini harganya selangit,” tanyanya dengan penasaran. “Kau tahu, aku selalu menaiki mobil mewahmu, dan bahkan dalam diriku seperti merasakan sebuah ketidakyamanan karena terus-terusan menumpang dengan mobil mahal-mu ini. Apalagi aku yakin, mobilmu ini harganya pasti ratusan juta dollar,” ungkap Audi sambil menghela napasnya lega. Sebab, sudah mengatakannya kepada Raina. Sejak beberapa waktu lalu, ia selalu ragu untuk menanyakan hal ini. Sebab, Audi takut jika harus mengalami kekecewaan untuk kedua kalinya, dan berujung menjadi sebuah keterpurukan. Audi kembali menghirup napas dan menghembuskannya secara perlahan, sebelum kembali melanjutkan ucapannya. Sedangkan Raina, ia masih membiarkan teman dekatnya ini berbicara dan tidak ingin menyanggahnya. “Kau sudah tahu bagaimana keadaan keluargaku, bukan?” “Aku hanya seorang wanita yang berasal dari keluarga sederhana. Aku pun tidak memiliki mobil, hanya memiliki satu unit motor matik, dan aku tidak mungkin memiliki seperti yang kau miliki, Ra,” terang Audi panjang lebar dan berusaha mengingatkan Raina kembali bagaimana kondisi keadaan keluarganya supaya Raina tidak menyesal dikemudian hari untuk menjalin ikatan pertemanan dengannya. “Sial banget sih kau ini! Bertanya panjang lebar dan sekaligus pula!” umpat Raina kesal dengan pertanyaan Audi yang beruntun. Audi pun tidak marah mendapatkan sebuah umpatan dari Raina. “Baiklah. Aku akan menjawab satu-satu pertanyaanmu!” “Pertama; yang berasal dari keluarga berada itu adalah kedua orang tuaku. Sedangkan, aku tidak memiliki apa pun. Aku hanya bisa meminta dan menerima pemberian dari kedua orang tuaku, bahkan Kakak serta Oma dan Opa-ku.” Audi bergeming, hanya mendengar jawaban dari Raina secara baik-baik agar tidak ada satu pun informasi yang terlewatkan. “Kedua; mobil ini, dan semua yang pernah aku kendarai adalah milik kakak sulungku,” jelas Raina dengan penekanan. “Di mansionnya sangat banyak ada koleksi mobil sport miliknya pribadi. Jadi, aku pun sudah mendapatkan izin, dan bebas menggunakan yang mana aku inginkan. Selagi masih ada, kau nikmati saja, dan kau jangan berlebihan, deh. Aku tidak suka jika kau merasa tidak nyaman seperti itu! Mau kau berasal dari kalangan keluarga mana pun, kau tetap teman baikku,” ungkap Raina dengan jujur. Pun Audi memperhatikan iris mata Raina dengan lekat seraya mencari sebuah kebenaran dari semua jawaban yang diberikan oleh Raina. “Lagipula aku tidak bisa mengendari sepeda motor, jadi mau tidak mau aku harus menggunakan ini,” lanjutnya lagi. Audi hanya menganggukkan kepalanya paham. Memang benar, Raina tidak bisa mengendari motor. Semua yang Raina ungkapkan pun tidak terlihat adanya kepalsuan. Melainkan sebuah kejujuran. “Apa Kakak kau seorang pengusaha, Ra?” Audi kembali bertanya dengan menyangah ucapan Raina. “Kalau kau berkunjung ke Indonesia aku akan ajarkan kau menyetir sepeda motor. Karena aku jagonya menggunakan sepeda motor,” ajaknya sambil menyombongkan diri sendiri karena kelihaiannya mengendarai sepeda motor. Audi memang memiliki kemampuan yang baik dalam mengendarai sepeda motor. Dari sejak ia memasuki Sekolah Menengah Pertama, ia diam-diam meminta diajarkan mengendarai sepeda motor kepada Aydin. Awalnya Aydin menolak tetapi dengan trik liciknya Audi dapat mengelabui, dan akhirnya Aydin pun luluh. Namun, dengan syarat orang tuanya tidak boleh mengetahui hal itu. “Ya, kakakku seorang pengusaha muda. Ia meneruskan perusahaan keluargaku yang telah diwariskan ke Daddy, sejak tiga tahun yang lalu. Hmm, bahkan sekarang sudah hampir empat tahun ia melanjutkannya. Selain itu, ia juga memiliki perusahaan sendiri yang sangat besar. Aku pun tak tahu, perusahaannya sendiri dibidang apa.” Audi terlihat bengong dan matanya pun berbinar seketika. “Oh iya… Kakak-ku akan segera membuka anak cabang juga di Surabaya. Jika kau mau mencari pekerjaan, aku bisa rekomendasikan kau kepada kakak-ku. Apalagi kau pintar, pasti dengan mudah kau diterima di perusahaannya.” “Aku tidak akan meminta bantuan apa pun kepada kakak-mu!” sergah Audi tegas. “Karena aku akan berusaha sendiri untuk mencari pekerjaan.” “Kau sudah tau sendiri aku sudah mulai mengirim surel lamaran kerja di beberapa perusahaan besar yang ada di Jakata. Semoga aja dari salah satu perusahaan itu membalas surel-ku,” jelasnya kembali. Raina memutar bola matanya malas sembari menyeringai. “Aku juga tidak akan pernah belajar dengan motor sialmu itu!” tolaknya dengan tegas seraya membalikkan ucapan Audi. “Ya-ya-ya… terserah kau lah!” “Aku tidak akan merekomendasikanmu kepada kakak-ku, jika bukan kau sendiri yang meminta kepadaku, dan aku pun selalu mendoakan yang terbaik untuk sahabatku ini yang sedikit pekerja keras,” sindir Raina sembari melirik Audi dengan tersenyum simpul. Raina akui, Audi berbeda dengan teman-temannya yang lain. Ia memiliki hati yang terlalu tulus dan sangat jujur. Audi juga tidak pernah memanfaatkannya, bahkan membicarakannya di belakang. Audi tampak mengerutkan hidungnya dan mendengus sebal. “Kau ini, aku adalah seorang Audi yang pekerja keras. Apa kau tidak lihat selama ini aku cukup kelelahan karena harus membagi jam kuliah, mengerjakan tugas yang menumpuk, dan melakukan part time?” “Rainaku sayang terima kasih,” cicit Audi sambil memeluk Raina dengan sangat erat. Raina hanya menggelengkan kepalanya. “Baiklah, ayo turun kita sudah sampai,” ajaknya. Pun Raina melepas pelukan Audi dan kembali melanjutkan kalimatnya. “Geli tauk dipeluk sama cewek.” Audi melepaskan pelukannya dari tubuh Raina dengan menyengir menampilkan deretan gigi putihnya, mendengar ucapan teman baiknya selama ia menempuh pendidikan S-1 di Massachusetts Institute of Technology. Baginya kata-kata yang sedikit pedas itu, terdengar hal yang biasa ditelinganya. Pun Audi dan Raina membuka seat belt yang tersemat. Kemudian, mereka keluar dari mobil sport itu. Mereka berdua berjalan beriringan dengan Audi merangkul tangan kanan Raina. *** Boston Logan International Airport, Massport Pintu Gerbang Kedatangan, Audi dan Raina berjalan menuju area informasi terkait jadwal kedatangan setiap pesawat. “Ahh… syukurlah, penerbangan Mas Ay mengalami penundaan penerbangan sekitar 1 sampai 2 jam kedepan,” kata Audi dengan lega. “Berarti kau aman dari omelan Kak Aydin, dan tidak telat menjemputnya.” “Nah, kalau gitu aku ikut denganmu terlebih dahulu ke terminal D untuk menjemput Kakak sulungmu. Setelah itu, baru deh aku akan ke pintu kedatangan international di terminal E.” “Ayo, kebetulan pesawat yang ditumpanginya sudah landing, jadi kita tak perlu berlama-lama menunggunya.” “Ayo!” seru Audi bersemangat. Audi memutuskan untuk ikut menjemput kakak sulung, Raina terlebih dahulu. Kemudian, baru ia akan melangkahkan kakinya menuju terminal E untuk menjemput sang kakak. “Bagaimana kalau aku dan kakakku ikut menemanimu menunggu di terminal E, sampai Kak Aydin sampai?” tawar Raina, yang ingin menemani Audi menunggu Aydin agar ia tak kesepian menunggu seorang diri. “No! aku tidak mau merepotkanmu lagi. Kau sudah memberiku tumpangan sampai menuju airport secara gratis saja sudah sangat bersyukur. Jadi, aku tidak perlu merogoh beberapa dollar untuk membayar taxi.” “Dollarku bisa simpan untuk keperluan genting lainnya!” jelas Audi sembari mengerlingkan sebelah matanya. Menggoda Raina. Raina yang sudah mengetahui sifat Audi, hanya bisa menghela napas. “Baikah, terserah kau saja!” 10 menit berlalu, Audi membuka suara. “Ra, benaran tidak masalah aku ikut menunggu kakakmu disini?” tanyanya yang tidak enak hati ikut menjemput kakak temannya. “Tidak, kau tidak usah khawatir. Kakakku tidak pernah mempermasalahkan aku menjemputnya dengan siapa pun. Kau tenang saja,” terang Raina. “Hmmm…” Audi berdeham. Lalu mengucap, “Baiklah.” Mereka kembali berbincang sembari menunggu. Selang beberapa menit, suara dehaman seorang pria yang sangat mirip dengan seseorang yang sangat ia kenal, sukses membuyarkan obrolan mereka berdua. Refleks Audi menoleh kebelakang, posisi Audi berdiri sekarang tepat membelakangi arah pintu keluar gerbang kedatangan. Seketika degup jantungnya berhenti berdetak, matanya membelalak, dan dengan jelas memperlihatkan ekspresi wajah yang sudah mulai gusar. Audi menekan kuku-kuku jarinya di kulitnya dengan sangat keras seraya menyadarkan dirinya, bahwa ini bukanlah sebuah mimpi. Melainkan sebuah kenyataan. Keringat dingin mulai tampak disekitar dahinya. Iris spectrum dan amber itu menelisik satu sama lain dengan pemikiran masing-masing. Shit!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD