[FLASHBACK]
Pria paruh baya itu menceritakan sejak awal ketika dia memiliki keinginan untuk bisa menggapai mimpinya di kota lain dengan alasan bahwa tempat tinggalnya pada saat itu terasa kurang untuk mendukung mimpi-mimpinya tersebut. Pak Karta yang memiliki ambisi besar untuk bisa merantau ke kota besar dan mengadu nasib di sana di sana akhirnya meminta izin kepada orangtua dan keluarga untuk memperbolehkannya pindah dan melanjutkan sekolah di tempat lain ketika dia baru saja memasuki jenjang Sekolah Menengah Atas.
“Kalau untuk sekarang mungkin permintaan izin itu nggak terlalu sulit ya untuk didapat, apalagi kalo kalian pindah ke asrama yang masih satu kota sama rumah kalian sendiri. Jadi, minta izinnya pasti nggak akan sesusah itu. Tapi, dulu ... Bapak bener-bener susah banget dapat izin apalagi dari Ibunya Bapak, beliau menolak tegas keinginan Bapak tersebut karena alasan kota yang ingin Bapak datangi itu terlalu jauh dengan rumah. Bapak ini asli orang Sumatera jadi untuk pergi ke Jakarta itu cukup jauh karena harus menyeberang pulau dulu.”
Pak Karta memberikan penjelasan singkat di tengah ceritanya untuk membuat para penghuni semakin tenggelam dalam ceritanya. Lalu pria paruh baya itu kembali meneruskan ceritanya dengan memberitahu usaha apa saja yang sudah dia kerahkan untuk meminta izin dari kedua orangtuanya yang teramat sulit tersebut. Namun, seiring berjalannya waktu kedua orangtua Pak Karta jadi luluh dan akhirnya mengizinkan Pak Karta untuk merantau dengan alasan bahwa dirinya harus sering-sering mengabari terutama ketika terlibat masalah—yang tentu saja diharapkan kedua orangtuanya untuk tidak terjadi.
Pak Karta bilang bahwa pada saat itu keyakinan amat sangat tinggi sehingga dia bersemangat sekali pergi ke Jakarta. Tapi ternyata kota itu bahkan lebih keras daripada ekspektasinya sendiri dan Pak Karta awalnya cukup sulit menyesuaikan diri.
Tapi hal terpenting dari cerita ini adalah bagaimana Pak Karta tinggal ketika merantau tersebut, sebab salah satu alasan yang mendasari terbentuknya asrama kartapati adalah dari hasil pengalaman Pak Karta sendiri sebagai anak rantau yang sudah banyak merasakan berbagai macam jenis kos-kosan yang sudah dia pindahi selama beberapa kali.
Pak Karta memberitahu semua anak-anak penghuni asrama tentang deskripsi beberapa kos-kosan yang pernah dia tinggali. Dengan tempatnya yang cukup kumuh dan juga sempit padahal dia hanya tinggal seorang diri, dan lagi sulit mencari tempat yang nyaman di kota besar seperti itu apalagi dirinya hanyalah seorang siswa SMA pada saat itu yang harusnua berfokus menuntut ilmu.
Tapi, karena keinginan Pak Karta yang ingin pindah dari kos-kosan lamanya yang bahkan jauh dari kata nyaman akhirnya dia memilih untuk bekerja di salah satu minimarket.
Pak Karta juga menceritakan kepindahannya yang kedua kali karena lagi-lagi kosannya tidak terasa nyaman untuk ditinggali. Pria paruh baya itu terang-terangan memberitahu bahwa dia terlalu malu untuk meminta kepada orangtuanya karena dia yang sudah bertekad untuk pergi, maka dia tidak mau menyusahkan.
“Tapi, kalian semua jangan sampai seperti itu ya. Itu namanya menyusahkan diri sendiri, kalo memang ada sesuatu yang perlu untuk dibantu kalian bisa kasih tahu Bapak atau Ibu kalo memang berat untuk hubungi orangtua kalian. Karena dari pengalaman Bapak juga, Bapak tuh nggak pernah nemuin pemilik kos-kosan atau asrama yang sangat ramah, kadang hubungan mereka hanya sebatas pembayaran uang kosan saja setiap bulannya, kalau begitu kan tidak asik. Padahal secara tak langsung kita berada di atap yang sama, tapi kenapa justru tidak ada interaksi lebih?”
“Memang Pak Karta sama Ibu Ana tuh pemilik asrama paling baik deh pokoknya!”
“Iya, bener! Mana ramah banget dan selalu tanya ke kita apa aja yang kurang di asrama, Pak Karta sama Ibu Ana udah kayak orangtua kita yang selalu perhatian makanya aku seneng banget bisa tinggal di sini.”
Beberapa respons langsung keluar dari bibir para penghuni lain yang ikut berbicara setelah mendengar bagian cerita Pak Karta yang satu itu. Tidak bisa dipungkiri lagi sih, memang asrama inu menjadi salah satu asrama yang paling banyak diincar oleh para perantau. Karena selain harganya murah, fasilitas yang diberikan pun selalu sangat memuaskan. Tetapi, Pak Karta tidak memiliki keinginan untuk memperluas asramanya, dia hanya akan tetap memiliki dua gedung tanpa menambah atau menguranginya.
Pak Karta pun melanjutkan ceritanya lagi dengan pembahasan mengenai salah satu teman baru yang dia temui ketika kenaikan ke kelas dua. Sekolahnya pada saat itu masih menerapkan sistem acak kelas di mana saat kenaikan kelas Pak Karta akan bertemu teman-teman kelasnya yang baru, walaupun besar kemungkinan ada beberapa teman dari kelas lamanya juga yang dia temui.
Tapi, pada saat itu Pak Karta bertemu dengan seseorang bernama Daffa. Dan Pak Karta juga bercerita banyak tentang Daffa yang sudah sangat membantunya dalam menghadapi krisis yang dihadapi oleh Pak Karta. Pria paruh baya itu bahkan memberitahu kalau Daffa menawarinya pekerjaan sebagai guru les untuk adik sepupunya. Dia juga memberitahu kebaikan Daffa yang lain yang telah merekomendasikannya sebuah tempat tinggal baru yang lebih layak dan Pak Karta menemukannya.
Tempat tinggal terakhir Pak Karta bukan lagi dalam sebuah kos-kosan kecil dan tidak nyaman. Setelah bantuan Daffa waktu itu Pak Karta jadi bisa pindah ke salah satu tempat yang disebut sebagai Asrama dan tempat itu sangat nyaman untuk dirinya tinggali walaupun memang ukurannya hampir sama dengan kos-kosan untuk setiap kamarnya. Tapi, setidaknya Pak Karta tetap bersyukur karena dia sudah diberikan tempat tinggal sebagus ini oleh sahabatnya itu.
“Jadi, seperti itu kisah bapak di zaman Sekolah Menengah Atas dan alasan Bapak mendirikan asrama kartapati adalah karena waktu itu Bapak tinggal di asrama itu sampai Bapak lulus kuliah yang berarti terhitung cukup lama kan Bapak tinggal di sana, tapi sesekali Bapak masih pulang ke rumah untuk tengokin ibu sama ayah ketika di kota Bapak lagi punya waktu libur yang cukup panjang.
“Semua tempat tinggal itu pasti ada plus dan minus-nya masing-masing, enggak ada tempat tinggal yang sempurna selain rumah sendiri. Karena mau seperti apa bentukan rumah kalian, rumah itu akan selalu menjadi tempat paling nyaman untuk kalian tinggali, memang pada dasarnya seperti itu.
“Tapi, karena hal itu juga Bapak jadi punya pemikiran untuk membangun sebuah asrama kecil yang nantinya bisa dihuni oleh anak-anak seusia Bapak ketika pertama kali merantau dan bener aja kan sekarang asrama kartapati juga banyak dihuni sama anak-anak yang masih Sekolah Menengah Atas. Bapak sudah punya keinginan untuk bangun asrama itu ketika lulus kuliah, tapi ternyata Bapak harus kerja dan pembangunan itu nggak mudah dilakuin jadinya baru kesampaian tahun kemarin ketika Bapak udah nikah juga sama Ibu Ana dan bahkan udah punya Tarisa.
“Tapi, walaupun begitu Bapak seneng karena udah berhasil wujudin salah satu mimpi yang Bapak mau dengan mendirikan tempat tinggal yang nyaman untuk kalian. Karena belajar dari pengalaman Bapak juga, Bapak nggak mau kalian ngerasain susahnya tinggal di tempat yang nggak bisa bikin kalian nyaman. Bukannya merasa nyaman yang ada kalian malah akan stress kalo sampai tinggal di tempat seperti itu. Untuk anak-anak sekolah dan kuliahan seperti kalian pasti akan menomorsatukan kenyamanan maka dari itu Bapak berusaha untuk membuat asrama kartapati jadi senyaman mungkin bagaimanapun caranya.
“Bapak juga selalu berusaha membangun komunikasi yang baik sama kalian karena Bapak nggak mau hubungan kita antara pemilik dan penghuni itu hanya sebatas pembayaran di setiap awal bulan aja. Bapak juga mau kenal kalian dan anggap kalian seperti anak sendiri agar kalian merasa tinggal seperti di rumah—tapi tetap aja jangan sampai lupa pulang.
“Jadi, ya, seperti itulah kisah dibalik berdirinya asrama kartapati. Sebagian besar alasannya adalah karena Bapak mau belajar dari pengalaman yang ada.”
Pak Karta pun menutup ceritanya dengan kalimat tadi dan seketika ada suara tepuk tangan yang menggema dan berasal dari mana lagi jika bukan dari para penghuni yang sedari tadi terlihat serius mendengarkan setiap cerita yang Pak Karta utarakan.
Bahkan tidak ada satupun dari mereka yang mengobrol ataupun bermain handphone ketika sesi bercerita itu. Semuanya mendengarkan dengan serius karena memang sudah sejak lama mereka ingin mengetahui cerita tersebut dan baru tersampaikan di hari ini.