Ketika kereta sudah datang Abima dan Galih segera masuk dan menempati salah satu kursi bersebelahan sebelum meletakkan ransel mereka lebih dulu. Keduanya duduk dengan nyaman sembari menunggu kereta yang akan berjalan beberapa menit lagi karena sekarang masih menunggu beberapa penumpang yang kemungkinan terlambat datang.
Perjalanan kereta jurusan Jakarta — Bandung ini akan memakan waktu kurang lebih tiga sampai tiga setengah jam lamanya, sungguh waktu yang cukup lama untuk Abima dan juga Galih rasakan. Tapi rasa senang akan kepergian ini tentu dapat menutupinya, alih-alih mengeluh karena perjalanan yang lama, mereka berdua justru bersemangat untuk bisa segera sampai di sana.
Selagi menunggu, Abima mengeluarkan kotak bekal yang dibawanya dari asrama lalu menawarkannya pada Galih di sebelahnya.
“Lih, ini tadi ibu asrama gue ada buatin beberapa kue buat camilan di jalan, nih makan aja biar nggak bosan nunggunya.” Abima menyerahkan kotak bekal itu kepada Galih dan langsung diterima dengan senang hati oleh laki-laki itu.
Selama kurang lebih satu tahun berteman dengan Abima, Galih memang sudah sering kali mendengarkan cerita tentang asrama dari sahabatnya itu, maka tak heran lagi rasanya jika melihat kue kering tersebut yang sudah dibuatkan oleh ibu asrama Abima yang baik hati itu.
Namun, perjalanan ini menjadi kali pertama bagi Galih untuk ikut karena sebelumnya dia memang belum pernah pergi dengan Abima sejauh ini. Untung saja kedua orangtua Galih sudah mengenal Abima dengan baik sehingga permintaan izin Galih untuk ikut ke Bandung bersama Abima pun tidak dipersulit, kedua orangtuanya langsung menyetujui sebab Galih juga memberitahu bahwa besok adalah hari peringatan kematian dari orangtua Abima. Karena hal itu kedua orangtua Galih pun malah semakin menyuruh anak semata wayang mereka itu untuk turut menemani sahabatnya untuk pulang ke Bandung.
Karena ini kali pertama untuk Galih, maka dari itu ada sedikit kebingungan yang mendatangi isi kepalanya tentang kue kering tersebut. “Biasanya memang kayak gini, Bim?”
“Apanya?” tanya Abima tidak mengerti.
“Ini, dibawain bekal kecil-kecilan kayak gini. Tiap lo balik ke Bandung memang biasanya selalu dibawain?” tanya Galih lagi memperjelas pertanyaannya.
“Enggak selalu sih, kalo kebetulan si ibu lagi nggak sibuk aja baru dibuatin. Lagian gue juga bersyukur bisa bawa sesuatu dari asrama soalnya tuh kalo kita mau beli di stasiun kayak gini—walaupun cuma sebatas camilan kecil gitu ya, harganya bisa naik berkali-kali lipat, Lih.” Abima memberitahu laki-laki itu tentang satu fakta ini. Namun, yang Abima tidak tahu adalah Galih memang sudah mengalaminya sendiri.
“Pantesan,” jawab Galih menggantung. Rasanya seperti masih ada kalimat yang ingin laki-laki itu katakan.
“Pantesan apa?”
“Tadi gue beli roti sama minuman gelas waktu nunggu lo tapi harganya selangit.”
Abima dan Galih lalu saling berpandangan, kemudian tertawa kecil bersama setelah menyadari ada yang lucu dari cerita kecil yang diceritakan oleh Galih tersebut.
“Terus lo jadi beli nggak?” tanya Abima penasaran.
Alih-alih menjawab, Galih pun mengeluarkan satu botol minuman yang kebetulan memang belum habis dan dia simpan di dalam ranselnya. Hanya karena barang tersebut Abima sudah bisa mengetahui jawaban dari pertanyaannya tadi.
Galih jadi membelinya.
Kemudian mereka berdua tertawa kembali seperti orang bodoh, namun tetap menjaga suara agar tawanya tidak terdengar kuat atau jika tidak mereka pasti akan mendapatkan teguran di tengah keheningan yang ada di dalam sini.
Cerita kecil seperti itu saja sudah mampu membuat keduanya merasa lucu dan yakin bahwa selama perjalanan berlangsung pasti tidak akan kebosanan yang melanda keduanya. Sebab Abima juga tahu bahwa Galih adalah tipe orang yang tidak bisa diam, laki-laki itu akan benar-benar diam jika dia sedang dalam keadaan sakit atau kelelahan barulah pada saat itu Galih akan menjadi seseorang yang paling diam, berbeda dengan Galih yang selama ini selalu berceloteh ria kapan pun dan di mana pun.
Namun, dari perjalanan hari ini Abima bisa melihat bahwa semangat Galih sepertinya sedang terisi penuh hingga sedari tadi dia selalu mempunyai topik pembicaraan yang bisa mereka bahas dan tertawakan bersama.
Abima itu walaupun tidak secakap Galih, namun dia adalah pendengar dan pemberi respons yang baik. Abima tahu harus memberikan respons apa terhadap semua cerita Galih untuk membuat suasana di antara mereka jadi terasa menyenangkan. Mereka berdua itu sama-sama saling melengkapi sehingga pada akhirnya bisa menjadi teman baik sejak kelas sepuluh hingga kelas sebelas ini.
Perjalanan yang akan menghabiskan waktu kurang lebih tiga jam itu pada akhirnya terasa tidak membosankan karena ada Galih yang ikut bersama dengan Abima.
Biasanya jika Abima sedang pulang seorang diri, dia akan lebih memilih mendengarkan musik sembari membaca buku ataupun bermain game dari ponselnya, dan terkadang Abima bisa terlelap begitu lama hingga dia telah sampai di tempat pemberhentian.
Abima sebenarnya suka berbicara, namun ketika di kereta rasanya malas sekali jika harus berbicara dengan orang-orang yang random. Sehingga akhirnya laki-laki itu akan memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan melakukan segala hal sendirian yang bisa dia lakukan. Jika sudah bosan maka Abima akan langsung memilih untuk tertidur saja daripada dilanda kebosanan yang tidak akan ada hentinya.
Namun, karena ada Galih di sini, waktu kurang lebih tiga jam itu jadi tidak terasa. Mereka terkadang hanya membahas hal-hal seputar sekolah ataupun perkumpulan yang sampai sekarang masih Galih ikuti, padahal Abima sudah menasihatinya untuk berhenti tergabung dalam perkumpulan aneh tersebut namun Galih tetap tidak mau dengar. Dia bilang dia masih tahu dan bisa membedakan mana yang baik dan buruk untuknya, walaupun tergabung dalam perkumpulan itu Galih tetap tidak melakukan hal aneh-aneh di sana. Dia masih bisa menjaga batasan dirinya untuk tidak kelewat batas dalam melakukan sesuatu.
Lalu, mereka juga sempat bermain game bersama selama beberapa menit untuk membunuh waktu. Tapi yang menegangkan adalah, biasanya mereka berdua akan sangat heboh jika sedang bermain game bersama karena terlalu terbawa suasana akan keseruan game tersebut. Namun kali ini mereka ada di dalam kereta, walaupun tidak ada larangan untuk menjadi berisik namun keduanya masih menghormati orang-orang lain yang sedang beristirahat di dalam kereta ini.
Tidak mungkin kan jika keduanya tiba-tiba berteriak dengan heboh hanya karena sebuah game. Jika sampai Abima dan Galih melakukan itu sudah bisa dipastikan bahwa mereka akan segera mendapatkan teguran keras dari para penumpang kereta lainnya karena sudah mengganggu ketenangan dan juga istirahat mereka. Tentu Abima dan Galih tidak mau jika hal itu sampai terjadi, maka dari itu ketika bermain game keduanya selalu berusaha untuk menjaga mulut mereka untuk tidak mengeluarkan teriakan yang berlebihan.
Ketika sudah bosan bermain game, mereka akan memakan camilan yang sudah dibawakan oleh ibu asrama Abima sebagai makanan untuk mengganjal perut yang sedang lapar. Mereka tidak bisa makan makanan berat di dalam kereta, karena hal itu sudah pasti akan sangat menyusahkan. Belum lagi kereta ini melaju dengan cukup cepat dan bisa saja membuat mereka mual pada akhirnya.
Memakan camilan ringan seperti kue kering yang Abima bawa memang menjadi pilihan yang tepat untuk menemani perjalanan mereka saat ini.