23. Kepulangan Abima

1325 Words
            Abima lupa kapan terakhir kali dia mengunjungi kota kelahirannya—Bandung, sepertinya sudah cukup lama dan terjadi di tahun lalu, tetapi laki-laki itu tidak bisa mengingat dengan jelas kapan tanggal dan juga bulannya karena ingatan jangka pendeknya tidak bisa menemukan waktu yang tepat tentang kapan kunjungan terakhirnya ke rumah lamanya itu.             Namun, hari ini Abima akan kembali datang. Dia akan pulang ke rumah lamanya yang ada di kota Bandung sana dan perjalanan ini jujur saja menjadikan Abima sebagai pribadi yang sedang merasa excited hanya karena sebuah kepulangan ke kota tempat lahirnya itu. Wajahnya juga terlihat lebih cerah dan juga ceria dengan alasan yang tidak bisa dijelaskan, padahal tidak ada siapa pun yang akan menyambut kepulangannya nanti selain tempat beristirahat paling nyaman yang pernah dirinya tinggali selama berbelas-belas tahun lamanya bersama dengan kedua orangtuanya.             Tapi, Abima sudah membuat agenda untuk berkunjung ke makam kedua orangtuanya, sebab sudah lama dia tidak menengoknya dan kebetulan besok juga menjadi hari peringatan untuk kematian keduanya. Mungkin agenda itu bisa dijadikan salah satu alasan dari mengapa Abima merasa sangat senang saat ini.             Atau mungkin juga kenangan yang tertinggal di rumah itu yang juga menjadi penyebab dari mengapa Abima terlihat lebih bersemangat saat ini. Dia jadi tidak sabar untuk bernostalgia dengan semua hal yang ada di rumah itu dan mungkin akan menceritakan beberapa hal kepada Galih yang turut serta ikut bersamanya.             Akhir-akhir ini Abima tidak bisa pulang dan menengok rumah lamanya itu akibat dari kesibukannya yang selalu bertambah setiap hari. Anak kelas sepuluh itu biasanya akan aktif dalam akademik untuk mencari tahu siapa yang pintar dan bisa dijadikan sebagai saingan di dalam kelas, lalu kelas sebelas akan menjadi waktunya bagi para siswa dan siswi sibuk dalam organisasi dan seluruh lomba-lomba yang ada untuk melihat keaktifan mereka, dan barulah di kelas dua belas mereka akan dikejar dengan semua persiapan menuju ujian sehingga harus belajar di setiap harinya.             Abima baru saja naik ke kelas sebelas dan di kelas sepuluh kemarin dia sibuk mengejar seluruh pelajaran yang ada karena entah mengapa ada banyak sekali tugas yang diberikan oleh sekolahnya untuk dikerjakan oleh para siswa dan siswi kelas sepuluh, bahkan di hari libur pun Abima tidak bisa sering-sering pergi karena masih harus mengerjakan tugasnya yang menumpuk.             Bukan karena dirinya yang suka menunda-nunda pekerjaan rumah hingga akhirnya jadi menumpuk dan sulit untuk dikerjakan, justru karena guru-gurunya tidak pernah habis mengirimkan semua tugas yang ada sehingga sulit bagi Abima untuk bernapas barang sebentar saja.             Untungnya dia berhasil melewati masa-masa kelas sepuluh yang sedikit menyusahkan itu dengan hasil yang cukup memuaskan juga. Walaupun sebenarnya Abima tidak benar-benar mengejar sebuah peringkat, karena dia hanya bersekolah sesuai dengan kemampuannya saja. Abima tidak serajin itu hingga harus belajar setiap harinya, tapi dia selalu menjadi siswa yang bertanggung jawab menyelesaikan semua pekerjaan yang ada. Atau bisa dibilang Abima itu lebih bisa dibilang rajin daripada pintar.             Itu sih yang Abima pikirkan tentangnya, tapi dia juga tidak tahu apa yang dipikirkan oleh teman-teman sekelasnya tentang dirinya.             Jarak antara kota Jakarta dan kota Bandung juga cukup banyak memakan waktu untuk perjalanannya, Abima tidak bisa selalu datang ke kampung halamannya itu sebab di Ibu Kota masih ada kewajiban yang harus dia jalani sebagai seorang pelajar dan juga sebagai seorang anak yang ingin membanggakan kedua orangtuanya untuk bisa bersekolah dengan benar. Jika sudah ada waktu luang barulah Abima bisa mengosongkan waktunya untuk pulang dan menengok segala hal yang ada di sana walaupun hanya sebentar.             Setidaknya dia bisa memberikan salam lagi serta sekaligus melepas rindu kepada kedua orangtuanya setelah sekian lama.             Jika ditanya rindu atau tidak tentu saja jawabannya adalah rindu, bahkan sangat rindu. Abima memang sangat merindukan kedua orangtuanya. Tetapi mau bagaimana lagi, dia memang tidak selalu bisa pulang ke rumah di tengah kesibukannya di kota Jakarta ini.             Menumpuknya pekerjaan rumah, berkurangnya waktu istirahat Abima, tidak adanya waktu luang serta rasa malasnya untuk pergi terlalu jauh pada saat itu akhirnya membuat laki-laki itu tidak mengunjungi rumahnya di Bandung selama berbulan-bulan lamanya.             Padahal Abima sudah menyusun rencana untuk tetap pulang di waktu peringatan kematian orangtuanya pada tahun lalu, namun sayangnya pada saat itu ada sesuatu hal yang tidak bisa Abima tinggalkan sehingga dia menunda kepulangannya dan memilih untuk mengirim doa dari asrama saja dan waktu itu pun seluruh anak asrama yang beragama sama sepertinya turut ikut mengirimkan doa, juga dengan Pak Karta serta Ibu Ana yang menyiapkan segala persiapan dan jamuan kecil untuk mereka nikmati bersama setelah acara kirim doa selesai dilakukan.             Abima sungguh terharu dengan apa yang mereka lakukan, apalagi ketika mereka semua sudah menyisihkan waktunya di tengah seluruh kesibukan yang ada untuk ikut turut serta mengirimkan doa untuk kedua orangtuanya.             Abima akan selalu bersyukur karena dirinya sudah dipertemukan dengan orang-orang baik dari dalam asrama kartapati. Walaupun sudah merasakan kehilangan yang menyakitkan lewat kedua orangtuanya, tapi pada akhirnya Tuhan dengan baiknya malah mempertemukannya dengan banyak orang baik dan membuat Abima jadi bisa merasakan kembali rasanya berada di tengah-tengah hangatnya keluarga.             Walaupun semua orang di dalam asrama itu bukanlah keluarga Abima yang sebenarnya, tapi karena kedekatan yang sudah mereka lewati selama bertahun-tahun lamanya yang membuat Abima pada akhirnya jadi merasa nyaman berada di tengah-tengah mereka, bahkan Abima sudah menganggap mereka sebagai keluarganya sendiri. Semua orang yang ada di sana, tanpa terkecuali.             “Bim, ini kita udah sampai.”             Suara Pak Karta mengembalikan seluruh kesadaran Abima yang sebelumnya dia gunakan untuk memikirkan banyak hal secara random, Abima langsung tersentak dan melihat ke kanan dan ke kiri untuk memastikan bahwa mereka sudah benar-benar sampai di stasiun—tempat tujuan Abima.             Laki-laki itu pun segera mengambil ranselnya yang ada di kursi belakang, mengecek beberapa barangnya sesuai arahan Pak Karta untuk memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal di mobil.             “Udah kok, Pak. Enggak ada yang ketinggalan,” ujar Abima setelah selesai mengecek semua barangnya, lalu menoleh ke arah Pak Karta. “Pak, makasih banyak ya udah mau antar Abima lagi, maaf kalo aku suka nyusahin gini hehehe.” Abima nyengir lebar dan tertawa kecil sebelum akhirnya mengambil sebelah tangan Pak Karta untuk dia cium punggung tangannya sebagai tanda pamit.             “Kamu enggak pernah ngerepotin Bapak, Abim. Iya sudah kalo begitu hati-hati, ya. Bapak salam untuk ayah dan ibumu nanti, kalo sudah sampai jangan lupa kabari biar semua orang nggak khawatir,” ujar Pak Karta mengingatkan agar Abima tidak lupa memberikan kabar setelah sesampainya di Bandung nanti. Laki-laki itu memang kerap kali lupa jika tidak ada yang mengingatkan, tapi nanti Abima bisa meminta tolong Galih untuk mengingatkan jika dia sampai lupa.             “Kalo gitu Abima pamit, ya, Pak. Bapak hati-hati juga pulangnya.”             Abima pun segera turun dari mobil, melambai sekali kepada Pak Karta dan segera masuk ke stasiun dengan mengabari Galih bahwa dia baru saja sampai. Belum ada satu menit Galih sudah langsung menjawab pesannya dan mengatakan bahwa dia sudah berada di dalam stasiun dan duduk di kursi sebelah kanan, Abima bisa mencarinya di sekitaran sana.             Abima pun segera bergerak sesuai arahan yang sudah Galih berikan kepadanya dan tanpa memerlukan banyak waktu dia sudah berhasil menemukan sosok sahabatnya itu di antara orang-orang yang berlalu lalang. Abima segera menghampirinya dan Galih tentu langsung mengenalinya dari jauh.             “Udah lama lo?” tanya Abima setelah berhasil mengambil tempat untuk duduk di sebelah Galih.             “Enggak kok, gue juga baru sampai belum ada lima menit.” Abima mengangguk kecil sebagai jawaban, kemudian Galih mengeluarkan tiket mereka. “Udah gue pesan juga tiketnya sesuai perjanjian siapa yang sampai duluan bakal beli tiket biar nggak antri.”             “Oke, thanks banget, Lih. Nanti uangnya gue ganti, ya.”             Abima mengecek jam yang melingkar di pergelangan tangannya dan dalam waktu kurang lebih sepuluh menit lagi kereta mereka sudah akan datang, keduanya sudah harus bersiap agar tidak tertinggal nantinya.             Jujur saja Abima sudah sangat tidak sabar untuk bisa segera sampai di rumahnya, hari ini akan menjadi hari kepulangannya setelah sekian lama jadi wajar saja jika Abima merasa sangat senang seperti ini. Hari ini akan menjadi waktu yang cukup panjang untuk perjalanannya dari Jakarta menuju Bandung dan sebentar lagi Abima akan pulang ke rumah lamanya yang ada di kota itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD