“Kamu sudah janji sama Ayah kalau Ayah boleh menikah sama Tante Viona, jadi bersikap yang sopan sama Tante Viona, oke?”
Liam mengangguk dengan ekspresi merengut saat Mahesa tengah memakaikan baju padanya. Andai saja semua ini bukan untuk membuat Larasati masuk ke rumahnya, pasti dia tidak akan sudi menerima Viona malam ini.
Ya, begitu Liam mengajukan negosiasi, Mahesa langsung mengangguk setuju dan dua hari setelahnya pria itu mengundang Viona untuk makan malam bersama, tentu dengan tekanan bahwa Liam harus bersikap sopan.
“Papa belum berhasil membujuk Tante Larasati biar mau jadi pengasuhku, tapi kenapa sudah ngundang Tante Viona ke sini?” Liam bergumam malas tanpa menatap mata sang ayah. Embusan napas meluncur keluar beberapa saat kemudian.
“Aku tidak akan setuju Papa nikah sama Tante Viona kalau Papa tidak bisa membawa Tante Larasati ke sini,” lanjut anak itu.
“Papa sudah janji sama kamu, jadi tunggu saja,” balas Mahesa sombong. Dia yakin betul wanita itu akan setuju meski sudah menolak permintaannya sebanyak tiga kali dalam dua hari.
Kemarin setelah Liam menyatakan bahwa Viona boleh menjadi ibunya jika Mahesa mau menjadikan Larasati sebagai tutor pribadi, pria itu segera menulis sesuatu di ponselnya tepat setelah mobil berhenti tak jauh dari rumah mertua Larasati.
“Anakku ingin kamu menjadi tutornya. Tolong terima tawaran ini dan saya akan membayar kamu dua kali lipat.”
Larasati tercengang membaca tawaran milik Mahesa yang tiba-tiba. Bayaran sebanyak dua kali lipat adalah sesuatu yang menggiurkan, tetapi dia pikir dia tidak cukup bagus untuk menjadi seorang tutor, apalagi keadaannya bisu dan tuli.
Wanita itu langsung menolak hanya dengan gelengan kepala yang membuat Mahesa tercengang.
“Kenapa tidak mau? Bayarannya kurang?” Mahesa bertanya-tanya lalu menghapus teks di ponselnya dan kembali menulis sesuatu. “Bagaimana kalau tiga kali lipat? Atau kamu punya target sendiri? Katakan saja dan saya akan menyetujuinya.”
Larasati menghela napas panjang. Dia kemudian mengambil ponselnya di dalam tas dan menulis jawaban untuk Mahesa.
“Saya minta maaf, Pak. Saya tidak bisa. Anak-anak di sekolah membutuhkan saya dan saya pikir anak Bapak membutuhkan tutor yang lebih layak.”
“Tidak!” Mahesa berseru keras, tapi sama sekali tidak membuat Larasati terkejut. Dia menunjuk wanita itu. “Harus kamu! Anak saya maunya kamu dan saya juga mau kamu yang jadi tutor!”
Larasati kembali menggunakan bahasa isyarat, berterima kasih dan meminta maaf karena tidak bisa menerima tawaran Mahesa lalu beranjak pergi begitu saja tanpa peduli dengan Mahesa yang kecewa.
Itu adalah penolakan pertama.
Keesokan harinya, Mahesa datang ke sekolah dan kembali membujuk Larasati dengan bayaran super mahal, tetapi wanita itu tetap menolak dan bersikeras bahwa dirinya tidak akan meninggalkan anak-anak di sana.
Lalu yang terakhir kali, Mahesa datang membawa kondisi Liam yang tidak biasa sebagai alasan meski dia sendiri tidak percaya jika anak itu bisa membaca pikiran. Akan tetapi, lagi-lagi Larasati menolaknya.
“Kamu tenang saja. Papa bukan tipe orang yang suka menyerah, apalagi membuat seseorang biar mau kerjasama.” Mahesa menunjukkan senyumnya yang angkuh. “Dua atau tiga kali percobaan lagi juga Papa yakin orang itu bakal setuju.”
“Namanya Tante Larasati, Papa.”
“Siapa pun itu.”
Beberapa jam berlalu, Viona datang tepat pukul tujuh malam saat staf dapur selesai mempersiapkan jamuan makan malam. Wanita berusia 30 tahun itu membawa buah tangan berupa mainan mahal yang dibelinya di sebuah toko setelah mengelilingi pusat perbelanjaan selama lebih dari tiga jam.
Viona pikir Liam akan senang, atau setidaknya pura-pura senang saat menerima pemberiannya, tetapi ternyata anak itu masih sama seperti ketika mereka bertemu di restoran tempo hari.
Anak nakal dan menyebalkan ini. Demi sayangku, Mahesa, aku akan menerimamu apa adanya, Liam.
Liam menggeram dengan alis mengerut. Dia menatap tajam Viona yang kemudian terlihat canggung dan heran kenapa tatapan anak itu terlihat menakutkan.
Mahesa yang melihat sikap Liam segera menerima hadiah Viona dan menekan pundak sang anak agar menjaga sikap. “Terima kasih, Viona. Ayo duduk. Liam memang sedang agak kesal hari ini.”
Viona mengumbar senyum manis. “Ternyata begitu. Wajar saja, namanya juga anak kecil. Sebentar lagi juga baikan, kok!”
“Memangnya Tante siap punya anak nakal dan menyebalkan kayak aku?” Liam mencibir menatap Viona yang terkejut. “Kalau Tante mau nerima aku apa adanya, ya boleh-boleh aja.”
Dengan angkuh Liam menepis tangan Mahesa di pundaknya lalu berjalan ke meja makan dan duduk di salah satu kursi yang ada. Sementara Mahesa hanya bisa menahan napas sambil memejamkan mata, menahan kekesalan pada anak laki-lakinya yang terlalu dramatis itu.
“Ayo, Viona.” Mahesa melingkarkan tangan di pinggang Viona dan mengajaknya masuk. “Liam memang sedikit nakal, tapi kamu bisa mengatasinya, ‘kan?”
“Tentu saja!” Viona membalas dengan senyum manja. “Aku bakal jadi Ibu yang baik buat Liam dan tentunya … jadi istri yang baik buatmu, Sayang!”
Keesokan paginya setelah mengantar Liam ke sekolah, lagi-lagi Mahesa datang ke sekolah di mana Larasati mengajar. Pria itu sudah menyiapkan beberapa kertas besar yang sudah dituliskan sesuatu agar tawarannya diterima.
Menunggu di dekat mobil, Mahesa agak terlihat cemas karena jam kerjanya akan segera dimulai, tetapi Larasati belum juga muncul. Hingga beberapa saat kemudian, wanita itu turun dari sebuah motor yang dikendarai oleh Malik.
Larasati tampak meringkuk ketakutan dan itu membuat Mahesa meninggalkan kertas-kertasnya di atas kap mobil lalu menghampiri mereka berdua. Lagi-lagi dia mendengar jika lelaki itu mengatakan sesuatu yang menjijikkan pada sang kakak ipar.
“Lama-lama saya perhatikan sikapmu ini kurang ajar sekali,” ucap Mahesa dengan suara lantang sambil berlagak menelepon seseorang.
Malik menoleh dengan ekspresi tak suka dan membuat Larasati melakukan hal yang sama.
“Pak Yohan? Ini saya, Mahesa. Saya baru saja melihat aksi pelecehan di depan sekolah luar biasa di daerah ….”
Malik meludah kesal sebelum tangannya menarik gas dan pergi dari area sekolah, sementara Larasati terlihat malu karena lagi-lagi Mahesa akan memandangnya dengan rendah.
“Saya sudah bilang kalau kamu harus melawan ….” Mahesa menelan kata-kata selanjutnya dan hanya mengacak rambut, merasa sia-sia berbicara dengan seseorang yang tidak akan mengerti. Dia kemudian membuat tanda menggunakan tangannya. “Tunggu sebentar.”
Pria itu kembali ke mobil untuk mengambil alat komunikasi yang sudah disiapkannya, kemudian kembali pada Larasati dan menunjukkan lembar pertama yang berisi, “Tolong terima tawaran saya.”
Larasati menggeleng, Mahesa menunjukkan lembar kedua.
“Anak saya benar-benar membutuhkanmu. Kamu orang pertama yang yang membuat anak saya ingin sekolah.” Mahesa kembali menunjukkan lembaran lainnya. “Selama ini dia tidak pernah mau atau menginginkan guru les, tapi dia tiba-tiba ingin belajar setelah bertemu denganmu.”
Larasati menghela napas, tak yakin harus berpegang teguh pada pendiriannya atau mengalah demi anak bernama Liam itu.
Lagi, Mahesa membalik kertas dan menunjukkan lembaran terakhir. “Dia mungkin tidak akan mau masuk sekolah kalau kamu menolak tawaran saya.”
Wanita itu tampak kebingungan, memegang keningnya sendiri dan berpikir keras-keras. Lalu tiba-tiba saja Mahesa menyodorkan ponsel berisi teks. Ada tiga kalimat tertulis di sana.
“Kalau kamu mau, saya pastikan akan mencari pengganti agar anak-anak di sini tetap bersekolah. Saya juga akan membantumu kalau-kalau adik iparmu yang kurang ajar itu macam-macam. Jadi, tolong pikirkan tawaran ini demi anak saya.”
Larasati kemudian menghela napas dan merogoh tasnya untuk menulis sesuatu.
“Saya akan memikirkannya, tapi saya butuh waktu beberapa hari. Jadi, tolong jangan ganggu saya selama waktu itu.”
Mahesa menelan senyumannya agar tidak terlihat begitu senang. Bagaimanapun, dia sangat yakin jika Larasati pasti akan menerima tawarannya. Dua atau tiga hari lagi, atau bahkan satu minggu pun tak masalah.
Pria itu kemudian mengangguk semangat. “Yes!”
Larasati terpaksa mengambil keputusan seperti itu meski dia tidak benar-benar memikirkan tawaran Mahesa. Sebab bagaimanapun, sekolah tempatnya mengajar adalah satu-satunya tempat yang bisa menutupi luka yang terbentuk tujuh tahun lalu saat dirinya kehilangan anak.
Mengajar dan bercengkrama dengan anak-anak adalah hal paling disukai Larasati karena dengan begitu, dia merasa seperti bertemu dan berbicara dengan anaknya sendiri meski terkadang, orang tua mereka menganggapnya terlalu berlebihan dan bahkan ada yang menuduhnya memiliki kelainan terhadap anak kecil.
Larasati tidak pernah mengambil hati. Dia hanya akan lebih membatasi diri untuk tidak begitu perhatian seperti perintah Mirna jika memang dia tidak ingin berhenti menjadi guru.
Lalu tiba-tiba saja, kejadian buruk terjadi saat Larasati baru saja kembali dari kelas. Mirna memintanya datang ke kantor kepala sekolah dan di sana ada wali murid yang duduk dengan ekspresi murka.
Ibu salah satu siswa itu berdiri saat Larasati masuk. Dia menuding wajah wanita itu dengan tekanan besar seolah-olah ada kesalahan fatal yang dilakukan oleh Larasati.
“Benar! Ini dia orangnya! Anak saya jadi tidak mau bersekolah karena guru bisu ini!”
Larasati terbelalak lebar meski tidak sepenuhnya tahu apa yang dikatakan wanita itu. Dia hanya mengerti beberapa kata, tetapi hal itu membuatnya tahu jika dia sedang berada dalam masalah.
“Dia yang macam-macam sama anak saya!”
Mirna mencoba menengahi dengan bijak meski terkejut mendengar cerita salah satu wali muridnya. “Tenang, Bu Rina, tenang! Kita bisa bicarakan baik-baik dan saya juga harus mendengar pernyataan Bu Larasati!”
“Bagaimana saya bisa tenang? Anak saya dilecehkan, Bu Mirna!”
Larasati bertanya ada apa menggunakan bahasa isyarat pada Mirna. Dia benar-benar cemas dengan apa yang sedang terjadi, terlebih lagi namanya terseret dalam masalah tersebut.
Mirna tampak kebingungan sebelum bertanya pada Larasati dengan menggunakan bahasa isyarat. "Apa benar Bu Laras melecehkan Dion?"
Kedua mata Larasati terbelalak lebar saat membaca gerakan tangan Mirna. Dia segera menggeleng dan membalas pertanyaan kepala sekolah. Dia menyangkal bahwa hal keji seperti itu tidak mungkin dilakukan olehnya dan dia yakin bahwa ada kesalahpahaman di sini.
Mirna mengangguk pelan dan mengelus pundak Larasati. Dia juga tahu jika guru bahasa isyarat itu tidak akan melakukan sesuatu yang kotor seperti melecehkan murid.
“Bu Laras tidak melakukannya, Bu …,” ucap Mirna pelan pada Rina, wali murid tersebut. “Apa Ibu yakin kalau Ibu tidak salah paham?”
“Salah paham bagaimana?” Rina melotot lebar. “Kalau memang Bu Mirna membela perempuan ini, saya akan memindahkan anak saya ke sekolah lain dan saya pastikan sekolah ini tidak akan berjalan!”
Mirna terkejut bukan main. Dia memegang tangan Rina dan berniat memohon. “Saya mohon, Bu. Jangan lakukan itu! Saya minta maaf yang sebesar-besarnya dan–”
“Pokoknya pecat guru ini kalau Bu Mirna memang memikirkan sekolah ini!”
Mata Larasati berkaca-kaca melihat Mirna dan Rina beradu mulut. Saking cepatnya mereka berbicara, tak satupun kata-kata yang keluar dari mereka bisa dimengerti. Hanya saja, dia tahu jika hal ini akan berakhir buruk.
“Bagaimana ini, Bu Laras?” Mirna menunjukkan kekhawatirannya melalui bahasa isyarat.
Larasati bertanya apa yang terjadi dengan perasaan cemas. Dia beralih menatap wali murid yang justru membuang muka dengan angkuh lalu kembali menatap Mirna dan membela diri bahwa dia sama sekali tidak pernah melakukannya.
Pembelaan Larasati ditolak mentah-mentah. Bahkan ketika dirinya meminta untuk bertemu dengan Dion, anak laki-laki yang katanya mengaku dilecehkan olehnya, wali murid itu tidak mengijinkannya dan menegaskan bahwa mereka akan menuntut sekolah jika dirinya tidak segera mengundurkan diri.
Larasati menangis tersedu-sedu di kantor milik Mirna setelah wali murid itu pergi. Nama baiknya sudah jelas tercoreng dan bukan tidak mungkin jika rekan-rekan perguruannya berpikir jika dirinya memang melecehkan seorang murid.
Mirna datang mengelus punggung Larasati, menenangkan guru yang memiliki gelar guru terbaik di sekolah itu. Namun, dia juga harus memikirkan kelangsungan sekolah yang sudah berdiri lebih dari sepuluh tahun tersebut.
Larasati tiba-tiba mendongak dan menggerakkan tangannya. Dia ingin membela diri dan mencoba membuktikan bahwa dia sama sekali tidak bersalah. Namun, gerakan tangannya tiba-tiba berhenti saat Mirna membalas bahasa isyaratnya.
“Saya minta maaf yang sebesar-besarnya, Bu Laras ….”
Wanita itu tahu apa artinya.
Dia harus segera mengundurkan diri jika memang peduli dengan sekolah.