Mata yang tenang setenang sinar rembulan, alis yang tebal setebal bulu ulat di tanaman bungaku, wajah Uncle Dewo sangat menawan. Aku memanggilnya Uncle kadang Om memang itulah yang aku dengar dari Lina dan dari mulutku sendiri, bukan dari mulut tetangga. Tapi untuk saat ini ....
Aku hanya ingin menghindar dari terkamannya, gara-gara Susternya, aku terjebak dalam bahaya, tadi karna emosi, aku dan Suster gila itu saling pamer p******a, sekarang! Hancurlah martabatku, Uncle Dewo mau memakan payudaraku, memainkannya juga. Dia ingin menghisapnya! Astaga! Mending dihisap mesin penyedot WC dari pada dihisap oleh Dokter m***m sepertinya. "Nenek--" batinku gemetar melihat wajah garangnya. Tadi sepertinya biasa saja saat melihat s**u Susternya. Dasar pria!! Lagi-lagi dia memang selalu salah. "Em ... Om! Jangan mendekatiku! Dadaku bau bumbu! Perkataanku tadi! Lupakan saja, ya!" harapku saat mata Om Dewo lekat menatap payudaraku. Masih bergelantungan manja di balik Bra bekas nenekku.
"Aku bukan pria baik-baik, Dilla. Aku suka makan daging, aaarrrr," ucapnya hampir membuatku pingsan. Dokter macam apa dia?! Tidak ada wibawanya.
"Suka makan daging?! Oh! Kebetulan! Aku tadi masak daging! Makan, gih! Sudah aku bawa, tuh!" ucapku menunjuk kotak makan yang tadi kubawa untuknya. Aku salah tingkah hingga mengulang perkataan seperti orang gila.
"Kau salah paham, Sayang. Yang aku maksud adalah ... dagingmu!" ucap Uncle Dewo, mendekat ke arahku.
"Da-dagingku?!" seruku gemetaran.
"Iya, dagingmu, Dilla."
"Ah! Hahahaha, dagingku tidak enak, Om! Ada bekas boroknya, yang ini bekas luka saat jatuh mengintip Pak Nispe dan Ibu Navagi bercinta, ketahuan oleh mereka! Aku dilempar sendal dan kabur memberitahu ibu Sarmah. Setelah ibu Sarmah tahu! Ganti mereka yang dihajar!" jelasku berusaha mengalihkan perhatian.
"Ibu Sarmah?! Siapa dia?! Apakah tetangga dekat rumahmu?!" Uncle Dewo sepertinya terpancing.
"Iya," jawabku cepat menganggukkan kepala, karenanya ... payudaraku bergerak mentul-mentul juga. Memalukan!! Sangat memalukan!! Aaakkhhhh!!!
"Ops!! Kau jangan bergerak, Kesayanganku. Nanti jatuh," ucap Uncle Dewo, memegangi kedua payudaraku sambil tersenyum jenaka. Dia pikir lucu apa?!
"Aduh! Lepaskan--"
"Lalu siapa ibu Sarmah?! Kenapa menghajar Bapak Nispe dan Ibu Navagi?! Nama Nispe dan Navagi jika diulang bisa jadi aneh loh," Uncle Dewo memotong pembicaraanku dan terus memegangi kedua benda kembarku, sedikit mendapat remasan darinya membuatku ingin menikmatinya, eh! Maksudku ... menyembunyikan kenikmatan yang diberikan oleh kehangatan tangannya.
"I-ibu Sarmah adalah istri dari bapak Nispe, sementara ibu Navagi ... Dia adalah janda kembang di desaku. Aaahh-" desahku tidak sadar karna remasannya sedikit kuat.
"Mereka selingkuh?!" Uncle Dewo terkejut.
"Tidak tahu, yang aku tahu bapak Nispe dan ibu Navagi sering bilang cintanya sangat kuat, mengalahkan Sinta dan Rama, Habibi dan Ainun, dan juga ... Romeo dan Juliet. Aku sangat percaya, Om," ucapku membuat Uncle Dewo geleng-geleng kepala, bahkan remasan tangannya di dadaku langsung terhenti. Alhasil langsung kutepiskan tangannya dan menyembunyikan payudaraku secepat mungkin. Uncle Dewo terkejut dua kali.
"K-kau?!" serunya kecewa.
"Alhamdulillah ... aman," ucapku sembari menghela nafas lega.
"Jangan puas dulu, Sayang. Kau calon istriku, bekerja untuk melahirkan anakku, jangankan payudaramu, aku akan mengemut semua anggota di tubuhmu, termasuk--" mata Uncle Dewo menatap area sensitifku.
"J-jangan kurang ajar!! Dasar m***m!!" kesalku menutupi area sensitifku meskipun terhalang dress.
"Apa yang kau pikirkan?! Yang aku maksud adalah ..."
"Apa?!" tantangku menatap tajam ke arah matanya.
"Selangkanganmu yang penuh daki itu," jawabnya membuatku terpaku.
"Penuh daki katamu?! Enak aja!! Selangkanganku bersih, tahu?! Kalau tidak percaya!! Lihat ini!! Nih!!" marahku sembari mengangkang di atas meja, selangkanganku terpampang nyata di depan matanya, Uncle Dewo bukannya marah malah melebarkan kedua matanya terpesona. "Kenapa diam saja?! Bersih, kan?!" makiku kesal dengan ucapannya.
"Sangat bersih, tembem, dan wangi. Tapi ..."
"Kenapa lagi?!" bentakku kesal.
"Itumu mencuat keluar, sangat imut."
"Apanya yang imut?!" mataku turun mengikuti arah pandang Uncle Dewo.
"Kacangmu Dilla. Sangat imut, lucu, dan merah."
"Astagaaaaa!! Neneeeeek!! Kenapa aku lupa kalau pakai celana dalam yang lama!! Yang berlubang tepat di bagian tengahnya!! Neneeek!! Aku mau menyusulmu ke alam baka!! Bisa, kan?! Neneeeek!!" teriakku langsung merapatkan kakiku, ingin berlari keluar tapi Uncle Dewo tahan.
"Jangan kemana-mana, Sayang. Bukankah aku sudah membelikan pakaian dalam untukmu?! Kenapa tidak dipakai?! Kenapa malah pakai Bra bekas nenekmu dan celana dalam usang plus berlubangmu itu?! Hum?!" Uncle Dewo heran menatap kedua mataku, kali ini sangat lekat, dia memelukku dekat pintu.
"K-karna ... sebelum jadi istrimu pantang bagiku menerima pemberian darimu, meski melarat! Aku tidak boleh serakah, bukan?! Aku hanya mau memakainya saat sudah jadi istrimu saja, ingat, Om. Meski cintaku padamu tidak sebesar kutil di pantatku, tidak sebesar tai kucing di depan rumahku, percayalah! Aku sangat menghargaimu, tidak mau memakan harta yang bukan hak-ku. Ingat!! Ini adalah pesan moralku, meski melarat, di hadapan harga diri kita harus tetap kaya, setidaknya ... naikkan sifat baik, Kita. Semoga saja," jawabku membuat Uncle Dewo meneteskan air mata.
"Astaga! Kau tidak perlu terharu seperti ini, Om. Hapus airmatamu, aku sangat percaya kau bisa lebih baik dariku."
"Aku memang bisa lebih baik darimu, tapi saat berbicara, ludahmu muncrat mengenai mataku, itulah sebabnya aku terharu," ucap Uncle Dewo, mengelap air mata sambil tangan yang satunya terus memelukku, aku hanya nyengir menatap bingung ke arahnya. "Dan terima kasih karena sudah mencintaiku meski tidak sebesar kutil di pantatmu dan juga tidak sebesar tai kucing di depan rumahmu, yang pasti! Lahirkan anakku! Paham?!" serunya lagi, merasa kesal.
Karna kasihan, aku mengecupnya, pelan. "Muach!" ciumku mengenai bibirnya.
"Apa-apaan ini?! Kau menciumku?!"
"K-karna kau merasa kesal, jadi, Aku ..."
"AKU SANGAT MARAH!! CIUM AKU LAGI!!"
"MUAACCHHH!! SUDAH!" teriakku setelah mengecup bibirnya dua kali, dan itupun sangat kuat hingga bibirku rasanya ngilu.
"Lagi!!"
"Muaachh!! Sudah, Om."
"Aku belum membalasmu! Cium lagi!"
"Jangan melewati batas, ya!! Dikasih hati minta jan--"
"Mmmpphh!!" Uncle Dewo melumat bibirku, dasar m***m! Dicium satu kali minta berulang kali!! Kenapa tidak mencium susternya saja, sih?! Kelihatannya mereka sangat nafsu. Kenapa harus menciumku?! "Mmpphhh!!" lagi-lagi dia melumat bibirku, kali ini lidahku. Milikku entah kenapa jadi berkedut.
"Dilla ... sudah aku bilang, bukan? Aku akan mengemut semua anggota tubuhmu, kalau tidak kacangmu, bibirmu bisa kunikmati lebih dulu, mmpphhh ... sangat lembut, mmpphh ...."
"Hah ... hah ... s-sudah, mmphh," pintaku di sela-sela ciumannya, aku kesusahan saat bernafas.
"Dasar anak kecil, berciuman saja tidak bisa, kenapa tidak bernafas?! Hum?!"
"Aku tidak tahu."
"Lain kali kau harus bernafas saat berciuman denganku, biar bertahan lama! Dan satu lagi! Kenapa kau tadi bilang percaya pada cinta bapak Nispe dan Ibu Navagi, bukankah mereka berselingkuh?!" tanya Uncle Dewo, ternyata masih ingat perkataanku tentang mereka, bapak Nispe dan ibu Navagi. Tapi sungguh, Kawan. Cinta mereka sangat besar.
"K-karena ... bapak Nispe rela melakukan apa saja demi ibu Navagi, salah satunya saat Ibu Sarmah ingin menjambak rambut ibu Navagi bapak Nispe berdiri di hadapannya dan ganti bapak itu yang dijambak, kedua saat ibu Sarmah ingin mencekik ibu Navagi ganti bapak Nispe yang dicekik pakai tali kutang karna melindunginya. Tidak mau kenapa-kenapa, akhirnya ibu Navagi pergi dan menikah dengan pria lain. Sungguh! Suatu cinta yang penuh dengan pengorbanan, mengalahkan cinta Sinta dan Rama."
"Oh ya! Bagaimana bisa?!"
"Sinta rela berkorban apa saja demi cinta demikian pula dengan ibu Navagi, dia rela berpisah dengan bapak Nispe agar pria itu tetap hidup. Kalau diteruskan, ibu Sarmah akan membunuh bapak Nispe."
"La-lalu siapa yang dinikahi ibu Navagi? Apakah lebih tampan dari bapak Nispe?"
"Tidak, Om. Tapi yang jelas pria yang dinikahi ibu Navagi lebih kaya."
"Sungguh cinta yang luar biasa! Aku kagum!" Uncle Dewo menepuk-nepukkan tangannya. Tampak guratan aneh di wajahnya.
"Semoga cinta kita sama seperti mereka ya, Om."
"TIDAK!! Cinta kita tidak akan seperti mereka. Enak aja! Tak akan kubiarkan kau pergi dengan lelaki lain. Persetan dengan pengorbanan."
"Kau benar, hubungan kita hanya sebatas kerja, mana bisa seperti mereka," keluhku kesal menatap matanya.
"Astaga--" setelah menepuk dahinya, Uncle Dewo menjauhiku dan makan, sangat lahap hingga lupa menawarkannya padaku. Dasar pelit!!
********
Jangan lupa tekan tombol Love, komen, follow and Share ya, Kawan ... terima kasih ....
Salam Dilla909
Bersambung ....