*POV DEWO*
Setelah makan masakan Dilla, aku kenyang dan ingin memujinya, tapi karna takut Dilla besar kepala, Aku mengurungkannya. Tadi sudah sangat ingin mencumbunya tapi lagi-lagi Dilla menahan, apa aku kurang menarik?! Bagian mana dari diriku yang kurang tampan?! Mapan iya! Harta banyak! Burung besar! Mana lagi yang kurang?! Kenapa Dilla menolak?! Sepertinya gadis seperti dia harus dipukul burung berulang-ulang!! Kusuruh ngemut baru tahu rasa!! Monica saja tergoda! Kenapa Dilla tidak?!
"Aaaakkkhhh!! Aku sakit kepala!!" teriakku tanpa sengaja.
"Eh! Om?! Seorang Dokter juga bisa sakit kepala?!" Dilla tersentak dari lamunannya.
"Aku ..."
"Om! Sepertinya kau kena sawan! Mau aku obati?!" ucapnya hati-hati.
"Apa kau bisa?! Apa itu sawan?!" tanyaku kebingungan.
"Sawan adalah ... saat orang trauma karna terbayang-bayang sesuatu itu namanya sawan, bisa jadi karna habis lewat daerah angker atau melihat sesuatu yang tidak wajar!" Dilla berbicara sesuai ilmu ngawurnya.
"Misalnya?!" tanyaku meski tidak penting, aku ingin dengar jawabannya.
"Misalnya saat aku melihat burung besarmu kemaren! Aku terbayang-bayang hingga silit rasanya untuk tidur-"
"Sulit! Bukan silit! Lain kali bicara yang benar!" seruku menghentikan ucapannya. "Lanjutkan!" perintahku tidak sabar.
"Iya! Saat melihatmu telanjang kemaren, aku sangat gelisah dan membayangkan bagaimana jika burung besarmu itu memasuki sarangku?! Menusuk bagian dalam bawah perutku?! Pasti sangat sakit dan melebar, tentu saja! Tidak bisa rapet lagi! Bahkan saat di tanya Lina aku hanya menjawab ... gede, gede dan gede."
"Apa itu gede?!"
"Gede itu adalah besar, Om. Dan Dewo itu adalah singkatan dari Gede Dowo! Tarek, Ses!!"
"Semongko," gumamku tanpa mau mendengar Dilla lebih lanjut. Sangat tidak singkat, apalagi padat, sama sekali tak jelas.
"Jadi jalan satu-satunya biar cepat sembuh adalah--" Dilla melepas celana dalamnya, tentunya yang sudah berlubang dan usang. "Diusap pakai celana dalamku ini!" Dilla dengan cepat mengusapkan celana dalamnya ke wajahku, aku yang tidak tahu akan sikapnya jadi diam dan membisu. Aku shock! Saat akan menyingkirkan celana dalamnya dari muka, pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Monica berdiri di sana!
"D-dok! Kau?!" Monica tajam menatap mukaku, tak lama kemudian dia mendekat ke arah Dilla. "Dasar wanita sialan!! Beraninya kau menaruh celana dalam di muka Dokter Dewo!! Kuhajar, Kau!!" melihat Monica yang akan menghajar Dilla, sontak kupegangi tangannya.
"Berhenti!! Jangan sakiti calon istriku! Pergilah!" marahku tidak suka dengan sikapnya. Bagaimanapun juga, Dilla merasa benar dengan tindakannya, itu ilmu orang jawa, nenekku dulu juga suka melakukannya, pernah satu kali bulunya nyangkut di hidung mama! Meski tidak semua, Dilla pasti tahu semua itu dari neneknya.
"Ta-tapi, Dok. Dia sudah tidak sopan!"
"Apa kau pikir kau sopan?! Masuk ruangan orang tanpa permisi apalagi mengetuk pintu?! Heh?!" seruku tajam menatap Monica.
"Ti-tidak," gumamnya geram, terutama saat menatap Dilla.
"Apa yang ingin kau sampaikan?!" tanyaku malas berbasa-basi dengan Monica.
"Pasien sudah antre, apakah masih belum cukup istirahatnya?" tanyanya hati-hati.
"Sudah! Keluarlah! Sebentar lagi aku akan memeriksa mereka!" setelah Monica meninggalkan ruangan, Dilla terlihat muram.
"Apa aku melakukan hal yang salah, Om?" tanya Dilla, baru kali ini terlihat pendiam, tidak ceria seperti tadi.
"Tidak menurut pandanganku, tapi salah menurut pandangan orang lain, Dilla. Lain kali berhati-hatilah dalam bersikap, untung, Aku. Kalau tadi orang lain! Dia bisa marah sama seperti Monica," nasehatku sembari memakaikan celana dalam padanya. Benar-benar seperti merawat anak kecil.
"Tapi nenekku dulu melakukan itu jika aku kena sawan, Om. Bahkan bulunya nyangkut di pipi dan aku simpan sampai sekarang, buat kenang-kenangan--"
"Apa?! Kenang-kenangan?!" seruku benar-benar gila.
"Iya, Om. Apa Om mau lihat?!"
"Tidak!! Buang bulu itu, Dilla!! Kalau tidak?! Aku tidak mau berbicara denganmu!!" marahku mengetatkan kedua rahangku.
"Tapi ... itu kenangan-kenangan dari nenekku!!"
"Bra-mu ini cukup untuk kenang-kenangan dari nenekmu, tidak perlu menyimpan bulu itu lagi!! Mengerti?!"
"I-iya, Om. Maaf," lirihnya membuatku gemas.
"Sini! Cium dulu!" pintaku menundukkan kepalaku.
"Tidak mau."
"Dilla ...."
"Baiklah," ucap Dilla, mengalah. Dia mencium bibirku bergantian dengan leherku. Setelah puas, aku meminta Iren mengantar Dilla ke ruangan pribadiku, Iren adalah Suster tertua di rumah sakitku, selain galak, dia hanya baik pada beberapa orang kesayanganku, termasuk Dilla. "Istirahatlah di ruangan atasku, Iren akan mengantarmu, setelah beres dengan pekerjaanku, aku akan membawamu menemui mama dan adikku, setuju?!"
"Setuju, Om."
Dilla bersikap sungkan, tapi biarlah! Kalau dibiarkan, sifatnya akan jadi bumerang jika terus diabaikan, sesekali diberikan pengertian.
Setelah beres menangani beberapa pasien, aku ke ruangan atas di mana calon istriku berada, sudah waktunya pulang kerja, Dilla pasti masih sedih karna aku sempat memarahinya, meski tidak tega, harus kulakukan demi kebaikannya. "Dilla," panggilku menoleh kesana dan kemari tapi tidak ada jawaban. "Dilla," ulangku dua kali.
"Om ... Kau sudah selesai? Aku mengantuk sekali," gumamnya rupanya tiduran di sofa.
"Hei, apa kau lelah?" tanyaku mendekatinya, saat aku elus kepalanya, dahinya terasa panas. "Astaga! Kau demam?!" tanyaku khawatir pada kesehatannya.
"Tidak! Hanya saja, kepalaku terasa berat, Aku lanjut tidur, ya," ujarnya seolah tidak terjadi apa-apa.
"Bangun dulu! Kau harus minum obat!" paksaku membangunkan badannya.
"Um ... tidak mau, Om. Seumur-umur, aku tidak pernah minum obat, hanya jamu saja! Sekarang karna ada di kota aku tidak mau minum apa-apa," rengeknya sangat manja.
"Dilla, katakan! Apa yang kau lakukan seharian?! Saat belum datang kesini?" tanyaku menginterogasi.
"Aaa ... hanya berendam di kolam saja, setelah itu hujan-hujanan di bawah pancuran air kamar mandi, setelah dapat perintah untuk mengantarkan makan siangmu, aku langsung masak dan membawanya kemari, tidak ada lagi," jawabnya mulai membuatku mengerti.
"Kapan kau, makan?" tanyaku penasaran.
"Tadi pagi, saat sarapan denganmu, bukan? Setelahnya tidak makan lagi."
"Apa?! Tadi pagi dan sampai sekarang kau belum makan?! Keterlaluan!! Kenapa tidak makan?!" marahku kesal.
"Karna aku senang bermain air, Om. Sudah ya, aku ngantuk," gumamnya masih saja memejamkan mata.
"Makan dulu, Dilla. Setelah itu minum obat, baru tidur."
"Tidak mau," ucapnya mengabaikan perintahku.
"Sedikit saja," paksaku tanpa persetujuan darinya, aku minta makan pada pihak rumah sakit. Setelah makanan diantar, aku menyuapi Dilla meski mulutnya susah sekali terbuka, sekalinya terbuka, Dilla makan dengan mata terpejam, tubuhnya sangat lemas. Setelah selesai memberinya makan, aku menyuapinya obat dengan mulutku, Dilla benar-benar keras kepala, kalau tidak dipaksa, mustahil obat cair pemberianku bisa masuk ke dalam tubuhnya.
"Um ... jangan ganggu aku, Om. Aku mau tidur."
"Baiklah, obat sudah masuk, tidurlah, Dilla. Tapi tidak di sofa seperti ini, tapi di ranjang bersamaku, aku akan memberikan kehangatan untukmu."
"Aaaaa ... tidak mau!"
"Kau harus menurut padaku."
"Aku bukan anak kecil!"
"Kau anak bayi."
"Om ...."
"Menurutlah, Dilla."
"Baiklah," lirihnya akhirnya mengalah, aku memeluk Dilla sambil sesekali memeriksa suhu badannya, tak lupa juga kuusap keringat di badan yang membasahi tubuhnya. Anak kecil yang malang ....
********
Jangan lupa mampir ke karyaku yang lain ya, Alice The Snake Girl sudah 30 episode. I'm not her (Aku bukanlah dirinya) juga sudah banyak episodenya. Buruan buka. Happy bacaaa
Jangan lupa tekan tombol Love, komen, follow and Share. terima kasih ....
Salam Dilla909
TBC.