>BAB 8<

1235 Words
Suasana berubah jadi tenang, burung hantu yang biasa kudengar saat di desa dulu, sekarang sudah tidak ada entah kemana?! Sejak tinggal di kota, hidupku selalu dipenuhi keberkahan, tinggal di rumah gratis, dapat teman yang mencintaiku seperti saudara kandung sendiri, dan Uncle tampan ini, dia selalu sabar menghadapi kenakalanku. Maaf, Uncle .... Ngoook ... ngoook ... ngoook .... Samar-samar suara ngorok Uncle Dewo terdengar sangat merdu, maklum, dia habis merawatku, jangankan mengorok, buang air besar-pun tercium wangi di hidungku. "Aku sangat berterimakasih padamu," ucapku merapatkan selimutku. Ingin menghadap dirinya, dengan perlahan tapi pasti aku membalikkan badanku, tapi saat kulihat ilernya berdeleweran (mengalir berantakan) sontak aku membalikkan badanku lagi dan tidur membelakanginya lagi!! "Astaga! Pria tampan dan mapan seperti dia jelek juga saat tertidur. Aku yang tadinya sedikit menyukainya jadi ngeri! Hiii!" seruku berusaha memejamkan mata lagi. "Tapi ... Dia calon suamiku, atasanku, ayah anak yang akan keluar dari perutku! Kalau aku jijik ...." "Dilla, Kau sudah bangun, Nak?" ucapnya bergerak ke arahku dan dengan erat memeluk tubuhku, tak hanya itu dia usapkan ilernya di bahuku. "Iyuuuuhh!! Menyingkir, Kau!! Lepaskan, Aku!!" bahasaku sok cantik. "Aku ingin memberikan kehangatan untukmu, biarkan aku memeluk tubuhmu." "Tapi ilermu?!!" "Halaaaah ... jijik apa?! Kau belekan segede kacang aja aku suka! Tidurlah!" perintahnya melanjutkan tidur lelapnya. Aku yang kalah dengan kekuatan pelukannya hanya diam saja tak berdaya. "Om, ini sudah jam berapa?" lirihku tidak tenang dalam dekapannya. "Setengah satu malam, Dilla. Tidurlah!" "Eh! Bukankah kita akan bertemu dengan keluargamu?!" tanyaku lagi, ingin tahu. "Tidak jadi, kau sakit jadi kita tunda dulu dan baru besok pagi baru bertemu," ucapnya dengan nada serak karna masih tertidur, belum sadar sepenuhnya. "Siapa nama ibumu?" celetukku juga mulai memejamkan mataku. "Denok Deblong! Panggilannya Blong," jawabnya kukira bercanda tapi dilihat dari nada suaranya, Uncle Dewo serius. "Eh! Masak, Blong?! Kita panggil Denok saja!" protesku tidak suka. "Baiklah, Mama Denok." "Kalau adik perempuanmu?! Siapa namanya?!" tanyaku tidak peduli meski Uncle Dewo terus memejamkan matanya. "Hooaaaaamm ... Sekar Baplang!" jawabnya lagi sambil menguap. "Apa?! Sekar Baplang?! Panggilannya Plang, dong?!" seruku terkejut dan langsung bangun dari tempat tidur. "Plang apa?! Panggilannya Sekar," jawabnya kesal sambil ikutan bangun dan duduk. "Dilla, kau tidak bisa membuatku tenang, ya?! Tidurlah! Aku mengantuk, Anak kecil!" marahnya kesal menatap mataku. "Ah! Maaf! Baiklah," ucapku mengalah, aku tidak mau mengganggunya lagi saat tertidur. Aku kembali berbaring. "Apa kau tidak ingin tahu siapa namaku?" tanyanya memegangi kedua pundakku. "Katanya mengantuk?" "Kau bahas mereka berdua aku mengantuk, kalau kau bahas tentangku, rasa kantukku jadi hilang!" "Baiklah! Siapa namamu!" tanyaku berambisi ingin tahu. "Sadewo Manggolo Kusumo-" "Menek klopo ceblok bongko!" lanjutku meneruskan namanya. "Apa?! Apa itu me-menek klopo?! Ce ... blok ... bongko?!" Uncle Dewo tampak kebingungan. "Namaku hanya Sadewo Manggolo Kusumo, Dilla. Bukan menek klopo ceblok bongko," ulangnya kemudian melongo. "Hehehehe ... Aku hanya bercanda, Om. Menek klopo ceblok bongko itu artinya, memanjat kelapa jatuh meninggal. Itu bahasa kasar! Jangan ditiru ya!" ucapku menatap mata sayunya. Meski ngantuk, Dia selalu tampak perkasa karna memang sudah kodratnya dia tampan. "Kau menyumpahiku mati?!" "Tidak! Hanya bercanda, Om. Sumpah!" "Baiklah! Tidurlah! Muuaaccchhh!!" kecupnya menekan bibirku, bukannya nafsu kali ini aku merasa ngilu. "Ooom!! Bisa tidak, sih?! Pelan-pelan cium--" "Muuuuuuuuuaaaaaacccchhhhh!!" "Oooooooommmmm--" "Muuaaccchhh! Ayo tidur," ajaknya dan langsung memeluk tubuhku, kami berbaring sambil berhadap-hadapan lagi. " "Om ...." "Hm," jawabnya, malas. "Kalau malam di sini suka ada hantu, gak?" tanyaku harap-harap cemas. Maklum, kita masih di rumah sakit meski menempati ruangan paling atas, tempat istirahat Uncle Dewo. "Banyak, Dilla." "Apa?!" "Iya, aku serius, Dilla. Apa kau tidak percaya? Di sebelah ruangan kita saat ini adalah kamar jenazah, yang meninggal kebetulan banyak hari ini jadi ... tidurlah!" "APA?!" teriakku memelototkan mata. Aku masih trauma saat di desa pernah menjahili temanku dengan menyamar sebagai pocong alhasil akulah yang ditakuti pocong sungguhan. Nama temanku saat itu adalah Sundari. "Astaga, tidurlah!" perintahnya tidak sabar. "Kalau masih takut, maka peluk, Aku. Aku akan melindungimu." Tanpa banyak alasan aku memeluk erat tubuh Uncle Dewo, saking eratnya bahkan dia mungkin kesesakan saat bernafas. "Nah, begini lebih bagus, Sayang. Tidurlah, jangan sampai aku menggunakan obat penenang untuk membuatmu tertidur, kau masih sakit, Dilla. Besok harus minum obat lagi," nasehatnya sebagai Dokter beraksi. "Baik, Dok. Tapi hantu-hantu di sini tidak akan muncul, kan?" keluhku dengan tubuh gemetar. "Tidak, Dilla. Suster ngesot, Pocong beranak, Wewe gombel menyusui, dan tuyul kembar yang biasanya menemaniku di sini pasti sedang pergi karna kau ada di sini," ucapnya sama sekali tidak bisa membuatku merasa tenang. "Baiklah," lirihku dan tak lama kemudian berusaha untuk tidur. Uncle Dewo juga tertidur, deru nafasnya sudah teratur. Tapi karna tidak tenang, mataku kembali terbuka, entah kenapa lampu kamar tiba-tiba padam. "Ya, Allah ... ini pasti ulah hantu-hantu itu," batinku serapat mungkin menutup mataku. Tapi saat akan membangunkan Uncle Dewo, bunyi barang jatuh menghentikan gerakan tanganku. "Apa itu?!" seruku gemetar dan semakin rapat menutup mataku. "Mungkin hantu." "APA?!" PRAAAAANNGGG!! Bunyi benda jatuh kedua kali sangat membuatku ketakutan hingga tanpa sengaja berteriak. "ALLAHUMMA!! LAKASUMTU!! WABIKA!! AMANTU!! WA'ALA!! RIZKIKA!! AFTORTU!! BIROHMATIKA!! YAAAAA ARHAMAR ROOHIIMIN!!" cekalan tangan seseorang di tanganku membuatku kabur mendobrak pintu. "HANTUUUUU!! PAK, EEEE!! MBOK,EEEE!! HANTUUUU!!" teriakku lari ke bawah seperti orang kesetanan. Melewati beberapa tangga yang bisa saja menjatuhkan tubuh lemahku, saat sampai di bawah, beberapa orang yang sedang menjaga pasien dan pasien yang lagi di rawat menatapku. "Ada apa?" tanya salah satu diantara mereka, khawatir menatapku. "A-ada hantu!! Sus-suster ngesot!! We-we gombel menyusui!! Pocong beranak dan tuyul kembar di rumah sakit ini!!" "APA!!" seru mereka semua dan tak lama kemudian ikutan lari tunggang langgang seperti orang kesetanan. Ada yang lari ke arah kamar, ada yang lari ke arah keluar, dan ada pula yang lari pincang dan merangkak karna mereka pasien atau korban kecelakaan. Tak hanya itu pasien yang naik kursi roda entah dapat kekuatan darimana?! Juga ikut berlari. "Astagfirullah hal adzim!! Berhenti!!" teriak seseorang di belakangku, seperti suara Uncle Dewo, membuatku berhenti. "SEMUANYA JUGA BERHENTI!!" teriaknya lagi, kali ini terlihat frustasi. Bentakannya membuat orang yang tadi berlarian menghentikan kaki. "Ta-tapi ... ada hantu di rumah sakit ini," salah satu dari mereka berusaha tenang. "Dillaa!! Bisa, tidak?! Kau membuatku tenang?! Ya Allaaaaaah!!" seru Uncle Dewo, emosi. "SEMUANYA MASUK!! TIDAK ADA HANTU DISINI!! MENGERTI!!" perintahnya membuat semua orang yang tadi berlari, menuruti. Mereka masuk ke kamar dan bersikap tenang. Setelah semuanya pergi meninggalkanku, Om Dewo mengangkat badanku dan setelah sampai di ruangannya, dia memukuli pantatku. "Ah! Aduh! Sakit, Om!" seruku tidak tahan. "Tidak tahan?! Lihat perbuatanmu!! Kau merusak pintu ruanganku!! Membuat pasien lari meninggalkan rumah sakitku! Apa kau puas?!" marahnya hilang kesabaran. "Mereka tidak lari, kok. Mereka kembali." "Itu karna ada, Aku! Coba kalau tidak ada!! Mereka pasti sudah pergi entah kemana!!" "Aku takut, Om. Tadi mati lampu," "Kau bisa membangunkanku, bukan?!" "Nanti Om marah, lagi! Makanya Dilla tidak berani, ditambah lagi, ada kamar jenazah dekat ruangan ini, mana bisa aku tenang," ucapku membela kebenaran. Kebenaran menurutku, hehehehehe .... "Aku hanya menggodamu!! Aku ingin kau tidur di pelukanku!! Nyatanya!! Kau menghancurkan ruanganku!! Kamar jenazah jauh dari sini, mereka ada di bangunan terpisah, sementara di sebelah kita ini! Hanya ada ruangan obat, makanya tenang." "Jadi ... siapa yang salah?!" tanyaku tidak mau disalahkan. "Kau!!" "Aku!!" protesku terpaku. "Ya!! Kau selalu salah dan--" Entah kenapa aku tidak dengar ucapan Uncle Dewo lagi, mataku berkunang-kunang dan gelap. ****** Hai, apa kabar? Semoga selalu baik. Ya, kan? Jangan lupa baca karyaku yang lain ya, sama serunya kok. Hehehehehe Besok, AKU BUKANLAH DIRINYA, ALICE, DAN BURUNG KECIL UPDATE YA, pantau mereka. Jangan lupa tekan tombol LOVE, komen, follow, and Share. Terima kasih .... Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD