*POV DEWO*
Marah, kesal, dan cemas bercampur menjadi satu, bagaimana bisa gadis sekecil Dilla bisa menghancurkan dua pintu ruanganku?! Bukan materi yang membuatku rugi! Tapi kesehatan Dilla sendiri! Masih sakit tapi bisa mendobrak pintu sampai separah ini! Dan lagi! Dia hampir membuat ratusan pasienku pergi!! Jika mereka tidak bisa ditolong lagi! Aku yang merasa tidak enak hati. Uang bisa dicari! Tapi nyawa atau kesehatan manusia?! Ada di tangan Tuhan dan Dokter sepertiku ini. Kuharap Dilla mengerti.
"Em ... Om-" keluhnya tidak sadarkan diri.
"Kenapa?! Mau menghancurkan pintu ruanganku lagi?! Pintu kamar mandi masih utuh! Kau bisa beraksi," marahku sedikit frustasi.
"Sakit ... tanganku sakit," rintihnya membuatku sangat cemas, tangannya memerah dan memar.
"Sudah kubilang, peluk aku dan nyenyakkan tidurmu, sekarang! Terpaksa menggunakan obat penenang," ucapku memeriksa luka di tangannya dan mengelusnya agar tidak sakit, andai bisa, ingin kusembuhkan dia sekarang juga! Tapi ... ini dunia nyata! Bukan iklan! Iklan sekali minum obat langsung sembuh! Sementara di sini?! Nunggu beberapa hari. "Tidurlah," pintaku setelah mengecup keningnya, pelan.
"Nenek, aku minta peluk!" serunya sambil memejamkan mata, badannya masih panas. Setelah memberinya obat, aku kembali menjaganya karna tidak tega, sepertinya besok aku harus libur dari rumah sakit ini, ingin tidur seharian.
"Baiklah! Aku peluk, Cu. Tidurlah," ucapku berlagak sebagai neneknya, aku keloni Dilla agar tidurnya bisa tenang. Keloni adalah memeluk sambil tidur.
"Aa ... Om, minta gedang rojo," ucapnya membuatku kebingungan.
"Hei! Gue anak Jakarta, tidak bisa bahasa Jawa. Hanya karna, Elo! Gue berbicara pakai bahasa Aku dan Kamu. Jadi ... jangan membuatku semakin frustasi. Mengerti?!" kesalku karna memang tidak mengerti, meski papa orang Jawa timur, Aku tidak pernah belajar bahasa Jawa padanya. Sekarang! Aku menyesal. Anak yang malang, berasal dari kota Malang, tidurnya melintang. Itulah Dilla.
"Um ... Gedang Rojo!" serunya lagi menciumi bibirku. Setelah aku cari di Google, Gedang Rojo artinya Pisang Raja. Astaga! Kalau itumah aku tahu.
"Dilla ... Anak baik ... Pisang Raja gak ada, Nak. Adanya pisang, Om. Mau gak?" godaku membalas ciumannya, tapi bukannya menjawab Dilla malah mulai tertidur lagi.
Dasar!! Sudah tahu Dilla sakit, malah kuajak bercanda. Maaf, Gadis kecil.
Tak lama setelah Dilla tertidur, aku juga ikutan tertidur, tapi baru setengah jam agak terlelap, bau asem memenuhi hidungku, saat aku buka mata, ternyata ketiak Dilla tepat di lubang hidungku. "Astaga ... baumu sangat wangi, Dilla. Tidur yang benar, ya," ucapku membenarkan tidurnya. Tidak mau dia berulah lagi, kupeluk tubuhnya serapat mungkin.
Setengah jam lagi ....
DUUUUUUUTTT!!
Bunyi kentut terdengar merdu di telingaku, kalau hanya terdengar itu wajar, tapi p****t Dilla entah kenapa ada di dekat wajahku. "Astaga ... bau yang ini juga wangi sekali, Dilla. Untung aku menyayangimu! Kalau tidak! Sudah kuusir kau dari tempat tidurku," gerutuku membenarkan tidurnya dan setelah selesai, kuciumi Dilla sebagai tanda sayang. Pembaca seperti kalian pasti tidak pernah menemukan pria sebaik diriku ini, bukan?! Aaarrrr ....
**
Lima jam kemudian ....
"Aah ... Om ...."
Ganti aku yang mengganggu tidur Dilla, kubuka bajunya dan kuemut benda mungilnya. Kalian boleh tebak itu apa?!
"Kenapa, Dilla? Enak, ya? Tidurlah!" ucapku membelai setiap inci bagian tubuhnya.
"Tidak bisa ...."
"Kenapa? Kau sudah sadar?" tanyaku penuh perhatian.
"Sudah, kepalaku sudah agak ringan, tapi tubuhku ... rasanya hangat dan menegang," ucap Dilla menggeliat seperti cacing kepanasan.
"Itu karna aku mengemut benda paling sensitif milikmu, Dilla. Tidak apa-apa, rasakan saja," perintahku tidak mau dibantah olehnya.
"Tidak mau, Aku hanya ingin tidur di pelukanmu, aku tidak mau kau marah karna Aku telah merusakkan pintu rumah sakitmu," ucapnya membuatku terharu, rupanya Dilla merasa bersalah hingga merasakan sentuhanku saja dia tidak tenang.
"Kau ingin kumaafkan?" tanyaku penuh tekanan.
"Iya," jawabnya harap-harap cemas.
"Maka biarkan benda tegangku ini memasuki milikmu," ucapku mulai merayu dengan tatapan syahdu, setidaknya itu menurutku, buktinya! Dilla hanya diam saja saat aku memainkan benda kembarnya, dan sekarang! Bagian terindah dari tubuhnya.
"Ah ... ti-tidak mau, Om. Nanti hamil! Lagipula ini rumah sakitmu, pintunya rusak, nanti pasti kelihatan orang. Aku malu," ucapnya dengan wajah tersipu. Sangat gemas bagiku.
"Kau bukalah matamu! Ini kamar yang ada di rumahku," ucapku menundukkan kepalaku, kumainkan lagi benda mungil yang gemas kesukaanku.
"Aah ... Aku--" Dilla masih saja ragu padaku.
"Baiklah! Karena kau takut bagaimana kalau hanya cumbuan saja? Tidak usah masuk, kuemut milikmu dan kau emut milikku."
"Tidak mau!!"
"Maka ganti rugi biaya kerusakan pintu rumah sakitku."
"Aa ... baiklah!" Dilla mengalah. Dengan perlahan tapi pasti Dilla kupaksa membuka mulutnya, setelah terbuka, kumasukkan bendaku yang sudah menegang ke mulutnya.
"Eum ... ini sangat besar, Om."
"Ah ... enak sekali, Dilla. Oh ...."
"Iya, apa kau mau memaafkanku?" Dilla menatapku ragu-ragu.
"Baiklah! Melihat kepatuhanmu ini, Aku jadi terpesona, sudahlah! Aku memaafkanmu. Lain kali jangan membuatku malu."
"Tapi ... bukannya aku malu-maluin, Om?"
"Calon istrinya Dewo harus elegan, sopan dan penuh perhatian, tidak ugal-ugalan. Paham?!"
"Paham, Om."
Setelah puas mencumbu Dilla, aku membawanya pergi menemui mama. Kami pergi ke restoran karna mama tidak bisa datang ke rumahku, Mama buru-buru ingin menghadiri pembukaan butik baru.
"Mang!! Kesini!!" panggilan seseorang lagi-lagi membuatku kesal.
"Mam! Panggil Aku Dewo!! Jangan, Mang!" seruku tidak tahan.
"Memang namamu Sadewo Manggolo Kusumo, kan?!" Mama tersenyum, mengabaikan.
"Haah--" keluhku menghela nafas kesal.
"Kau siapa, Nak?" Mama menyalami calon istriku, tentu saja si gadis desaku yang lugu.
"Dilla, Mam," jawab Dilla, tersipu malu, kata Mam keluar dari mulut medoknya terdengar sangat lucu.
"Nama yang indah, kalau nama Ibumu, Nak?" Mama kembali bertanya setelah aku dan Dilla duduk dalam satu meja dengannya.
"Angelina Dominica Gani. Panggilannya Ngatemi."
Uhukk!!
Mendengar nama ibunya Dilla, sontak air minum yang ada dalam mulutku menyembur keluar. "Angelina Do-dominica Gani?! Dan panggilannya Ngatemi?!" ulangku sembari mengusap mulutku.
"Ssssttt ... hei!" Dilla memanggilku sambil mengedipkan mata.
"Apa?" tanyaku seperti orang gila. Aku memang tidak memahami dirinya.
"Katanya harus elegan, kenapa kau seperti orang kesetanan?! Tenang," ucap Dilla, bagai senjata makan tuan. Aku memintanya bersikap sopan tapi Aku sendiri yang tidak sopan.
"Jangan hiraukan Dewo, Nak. Kalau nama ayahmu?" Mama tidak peduli dengan kondisiku. Di sini, hanya dia dan Dilla saja yang ada, seolah aku tidak ada.
"Ayahku, Fransisco Dominica Gani. Panggilannya Paidi."
"Wah, nama-nama yang indah, sementara kau sendiri, Nak."
"Dilla Ayu Sekali."
"Nama yang bagus. Aku mau jadi mertuamu! Uhu!" Mama berseru aku yang malu. Kebetulan kami makan di restauran ternama yang sangat ramai pembelinya.
"Sekar di mana, Ma?"
"Dia ... ada bersama temannya. Entah dimana dia?! Sebentar lagi juga tiba."
"KEJUTAAAAAAN!!" teriak seseorang dari belakang semakin membuatku kesal. Suaranya terdengar sampai ke seluruh ruangan. Tapi saat melihat orang yang berdiri bersama adikku, kekesalanku jadi hilang dibawa angin lalu.
"Mi-miyabi!" pekikku tak dapat berkata-kata. Dia adalah mantan kekasihku sewaktu masih SMA dulu.
"Dewo!! Astaga! Ini, Kau?!"
"Ya! Ini Aku, Miyabi!" seruku menghambur ke dalam pelukannya, mataku berkaca-kaca mengingat kebersamaan kita. "Kenapa kau bersama Sekar Baplang?!" tanyaku penasaran.
"Entah kenapa dia bertemu denganku?! Ketika itu, aku ada di sekolah saat kita bersama dulu! Aku kesana karna ingin mengenang masa lalu!"
"Hei, Kak! Sudah pelukannya! Apa kau tidak malu dilihatin banyak orang?!" Sekar memisahkanku dari pelukan Miyabi. Padahal aku masih ingin bersamanya karna terlalu lama tidak berjumpa.
"Hei, siapa dia?" tanya Miyabi, menatap ke arah Dilla.
"Calon menantuku!" seru ibuku, tidak suka menatap Miyabi.
"Oh, hallo, Tante," lirih Miyabi, berubah muram raut mukanya.
"Hanya rencana, Miyabi. Belum pasti, duduklah!" ucapku menarik kursi untuk Miyabi. Sementara Sekar! Entah kenapa dia seperti terlihat kesal saat menatap Dilla.
Sementara, Dilla ....
"KAPAL MIBER!! NJALOK DUWEK,E!! KAPAL MIBER!! NJALOK DUWEK,E!!" lagi-lagi Dilla membuatku malu, dia berlari ke arah keluar dan berteriak sembari menatap pesawat terbang.
"Kenapa dia, Ma?! Apakah dia, gila?! Calon menantu mama punya gangguan jiwa?!" Sekar menatap Dilla tidak suka.
"Jangan sembarangan!! Dilla calon menantuku!! Meski begitu! Dilla sangat lugu. Dilla berteriak seperti itu karna menyangka pesawat yang sedang terbang itu akan memberinya uang!! Mama juga sering melakukannya sewaktu kecil!!"
"Tapi dia sudah besar, Ma!! Dan apa arti teriakan Dilla?!" Sekar semakin sinis pada Dilla.
"Dilla berteriak, PESAWAT TERBANG!! MINTA UANG!! Itulah artinya!" Mama berteriak memberi penjelasan pada Sekar. Mama merasa kesal pada Sekar dan mungkin pada Miyabi juga, dari dulu mama tidak suka.
Dilla masih berteriak di luar restauran seperti orang kesetanan. Tidak mau membuat Aku, Miyabi, dan Sekar malu! Kutarik badan Dilla agar masuk ke dalam mobilku.
"Em!! Om! Apa Aku salah lagi?!" tanyanya tidak mengerti.
"Sudah berapa kali aku bilang?! Jaga sikapmu, tunjukkan sopan santunmu, kau bersama keluargaku dan juga sahabatku! Paham?!" seruku kesal.
"I-iya. Aku di sini saja! Aku tidak lapar, kau makanlah bersama mereka, perutku masih mual."
"Terserah!"
*********
>Apakah yang akan dilakukan Dewo?!
1. Mengusir Dilla dari rumahnya?!
2. Tidak jadi menikah dengan Dilla?!
3. Kembali pada Miyabi?!
4. Membawa Miyabi ke rumah?!
5. Tidak tahu
Jangan lupa tekan tombol Love, komen, follow and Share ya, All ... terima kasih ....
Jangan lupa baca karyaku yang lain juga.
1. Alice
2. Aku bukanlah dirinya
3. Burung kecil
Hanya mereka bertiga dan Uncle Dewo yang masih aku garap dan up. Selebihnya masih menunggu, termasuk Mr, Bara, My Love Satan, Hasan, Incarnation of the male snake, Hot Writer.
See you ....
TBC.