"Membuat masalah lagi, heh?" tanyanya pada ayahnya. Pria yang lebih tua darinya itu hanya mengedikkan bahu dengan gerakan tak acuh. "Kenapa sama Ummi? Abah bikin ulah apa lagi?" Agam memandang ayahnya dengan seringaian jahil.
Pria bernama Wahid itu memandang putranya dengan sebelah alis terangkat. "Memangnya kapan Abah buat masalah?" tanya Tuan Wahid dengan nada tak suka.
Agam balik mengangkat sebelah alis memandang ayahnya. "Pertanyaan seharusnya itu. Kapan Abah gak buat masalah?" ralatnya.
Bukannya marah, Tuan Wahid malah tertawa. "Baiklah, mungkin kamu bener. Ummi kamu memang lagi kesal sama Abah. Sangat kesal." Jawab Ayahnya jujur.
Dahi Agam berkerut seketika. "Kali ini kenapa?"
"Karena Abah menolak permintaannya." Jawab Ayahnya dengan nada yang lebih serius.
"Memangnya apa yang Ummi mau dari Abah?" Tanya Agam penasaran.
Tuan Wahid malah menggelengkan kepala. "Sebelum Abah menjawab itu. Abah mau tanya sama kamu. Apa kamu masih menunggu wanita itu?" tanyanya, kini dengan ekspresi serius. Agam mengerutkan dahi dan memandang Ayahnya bingung. Kenapa pertanyaannya malah menjurus pada satu nama yang selama ini mereka tidak pernah bahas. "Jawab Abah, Agam." Perintah ayahnya dengan tegas.
"Tidak, Abah. Dan Abah juga tahu itu." jawab Agam tak kalah tegasnya.
Tuan Wahid kembali mengangguk. "Abah hanya ingin memastikan. Karena saat ini ada perbedaan persepsi antara Abah dan Ummi. Ummi kamu menduga kalau kamu masih menunggunya kembali."
Agam mendengus. "Untuk apa?" tanyanya. "Abah yang bilang sama Agam kalau menunggu pun harus dengan pertimbangan yang rasional." Lanjutnya lagi. Ayahnya kembali menganggukkan kepala setuju. "Jadi apa hubungannya ini dengan 'dia'?" tanyanya penasaran.
"Kamu ingat tentang ucapan Abah untuk menjodohkan kamu dengan putri teman lama Abah?" Tuan Wahid mengingatkan. Dahi Agam berkerut. Ia tidak menduga pembahasan ini kembali terucap. Sudah bertahun-tahun lamanya pembahasan ini tidak pernah dibahas. Sejak Agam memutuskan untuk berhubungan dengan wanita itu, ayahnya tidak pernah mengungkit perjodohan ini. Dan kali ini, setelah Agam berpisah dengan wanita itu, ayahnya kembali ke pembahasan awalnya. "Agam?" panggilan ayahnya membuatnya kembali ke dunia nyata.
"Iya, Abah. Agam ingat." Ucapnya lirih.
Tuan Wahid memandang putranya dengan tatapan yang tegas. "Abah sudah memberi kamu kesempatan, Agam. Saat kamu memutuskan untuk bersama dengan wanita itu, Abah tidak memaksakan kehendak Abah. Tapi sekarang. Hubunganmu dengan wanita itu sudah berakhir. Dan kau dengan jelas menyatakan tidak lagi menunggunya—meskipun Ummi mu menganggap demikian—jadi Abah putuskan untuk melanjutkan perjodohan ini. Terlebih, beberapa waktu yang lalu Abah pun mendapatkan kepastian dari pihak teman Abah." Ucap Tuan Wahid lagi. "Dan Ummi mu, menolak rencana Abah setelah tahu siapa gadis itu."
Agam mengerutkan dahinya. Ia tahu bahwa ibunya memang menyukai 'wanita itu', tapi apakah ibunya masih berharap Agam kembali pada wanita yang telah menyia-nyiakannya? Dan kenapa ibunya menolak pilihan ayahnya?
"Karena Ummi mu bilang bahwa gadis pilihan ayah itu tidak layak sebagai seorang istri." Ucapan Tuan Wahid seolah menjawab pertanyaan di kepala Agam. "Tapi percayalah, Abah tidak akan berusaha menikahkanmu dengan wanita yang tidak baik-baik." Lanjutnya lagi. "Ummi mu menginginkanmu untuk menikah dengan wanita yang pandai mengurus rumah tangga dan bisa mengurus anak. Tapi Abah tidak setuju dengan pendapatnya. Tidak ada seorang gadis yang bisa menjadi seorang istri dan ibu dalam waktu singkat. Semuanya perlu waktu, perlu proses dan perlu belajar."
Agam terdiam. Dulu, dia memang berangan seperti itu. dengan doktrin dari ibunya dan juga melihat secara nyata seperti apa ibunya. dia memang menginginkan sosok istri yang kurang lebih sama seperti beliau. Bisa mengurus rumah tangga, pandai memasak dan juga bisa mengurus anak dan suami. Dan 'dia' memang tampak memiliki semua itu. itulah yang menjadi nilai plus ibunya. tapi... angan hanya angan. Tidak semua khayalan bisa menjadi kenyataan. Dan tiba-tiba bayangan sosok gadis muncul di kepalanya.
"Kenapa? Kamu sudah punya pengganti?" Abahnya kembali bertanya. Dan wajah gadis itu malah semakin jelas di kepalanya. "Sepertinya memang ada." Jawab Ayahnya. "Siapa dia? Apa Abah kenal?" tanyanya lagi.
Agam menggelengkan kepala. Bisa jadi Abahnya mengenalnya, tapi bisa jadi juga tidak. "Agam hanya tahu namanya." Jawab Agam lirih.
Tuan Wahid menatap anaknya dengan tatapan aneh. "Kau tahu dimana rumahnya? Keluarganya?" Agam hanya bisa menggelengkan kepala. Ayahnya menendang paha Agam yang kala itu memang sudah duduk di tepian tempat tidur. "Bodoh! Apa benar kau itu anakku?" tanyanya dengan nada lantang. "Apa yang bisa kau lakukan selain bekerja?" ejeknya. "Wajahmu tampan tapi kau sama sekali tidak bisa menggunakannya dengan baik. Tidak pandai merayu, tidak bisa mempertahankan wanita yang disukai. Tahumu hanya mencari uang saja. Lalu semua uang itu mau dihabikan bersama siapa?" ejeknya lagi. "Tidak ada pilihan lain, Agam. Usiamu sudah cukup dan Abah sudahh cukup tua untuk menunda lagi memiliki cucu. Mau tidak mau, kau harus menemui wanita yang akan Abah jodohkan denganmu. Cocok atau tidak, terserah bagaimana kalian nanti." Perintah ayahnya jelas tak bisa diganggu gugat. Agam hanya bisa memandang ayahnya, namun ia mengangguk saja. Agam menangkap jelas ucapan ayahnya. pria di hadapannya ini tidak memaksa, hanya memintanya dengan cara yang mendesak saja. Apa kalimat itu ada perbedaannya?
Berjam-jam setelahnya, Agam memutuskan untuk pulang ke apartemennya ketika ibu dan adiknya kembali ke rumah sakit. Dan kala itu juga ayahnya langsung memutuskan untuk keluar dari rumah sakit. Tanpa mendapatkan resep obat apapun. Karena jelas ayahnya masuk ke rumah sakit tanpa keluhan apapun.
Agam memandang sekeliling apartemennya. Apartemen dua kamar yang luas yang sebenarnya sangat jarang Agam datangi. Tempat yang hanya dijadikannya persinggahan saja. Namun demikian, tempat itu sangat rapi dan bersih karena setiap bulannya Agam menggaji seseorang untuk membersihkannya dan merawatnya.
Ia berjalan menuju kamarnya. Memilih untuk membasuh tubuhnya dengan air hangat setelah memesan makanan lewat aplikasi. Segalanya tampak mudah selama ada uang. Kecuali kesehatan, tentu saja. Itu bukan hal yang bisa kembali dengan mudah meskipun kau memiliki banyak uang dalam rekeningmu. Namun meskipun kau bisa membeli banyak hal dengan uang. Kau tetap saja tidak bisa membeli kehangatan, cinta dan menghilangkan rasa kesepian.
Agam keluar dari kamar mandi dengan tubuh segar dan dan rambut yang basah setelah keramas. Dilihatnya ponselnya. Makanan yang dipesannya masih dalam perjalanan menuju apartemen. Sambil menunggu, Agam memilih membuka-buka ponselnya dan melihat prospek pekerjaannya.
Saat ini ia punya proyek pembangunan di Kalimantan. Sehari sebelum kembali ke Jakarta, Agam sedang ada pertemuan di Brunnei dengan seorang pemilik saham yang ingin pekerjaannya dikerjakan oleh perusahaan Agam. Dan ketika Agam hendak kembali ke Kalimantan, ia mendapat panggilang dari sang adik yang menyuruhnya untuk segera pulang. Alhasil, ia merubah tiket penerbangannya yang tadinya untuk ke Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman menjadi ke Bandara Soekarno Hatta.
Dan pekerjaannya yang seharusnya ia kejar, kini harus dia tinggalkan karena panggilan darurat yang sebenarnya tidak darurat juga.
Agam mengurut pelipisnya perlahan. Mengingat kembali perbincangannya dengan ayahnya. Dijodohkan? Apa memang sekarang hal itu masih lumrah? Lalu bagaimana dengan gadis yang dijodohkan dengannya. Jika ibunya tidak merestuinya karena gadis itu bukan gadis rumahan—seperti alasan penolakan yang dikemukakannya pada ayahnya—itu berarti gadis itu seorang wanita karir.
Lantas masih adakah wanita karir yang bersedia dijodohkan? Bukankah biasanya wanita karir itu adalah seorang wanita yang memiliki obsesi sendiri? Mereka biasanya lebih suka melakukan segalanya dengan cara mereka sendiri. Bukankah mereka biasanya tokoh pemuja emansipasi yang menolak dikekang?
Lantas bagaimana dengan Agam sendiri? Bagaimana dia harus menyikapi gadis itu nantinya sementara ia juga sudah condong pada sosok lain? Ya, meskipun Meskipun memang sebenarnya sosok itu tidak pernah mengenalnya dan tidak pernah mengetahui siapa dirinya?
Mereka menyebutnya apa? Pengagum rahasia? Ya, Agam tidak lebih menjadi pengagum rahasia gadis itu. itulah kenyataannya. Tapi jika dia berusaha, dia yakin dia bisa menarik perhatian gadis itu. Agam bukannya sombong, tapi jelas seperti yang ayahnya katakan, dia memiliki wajah yang tampan. Tubuh yang atletis dan juga dia memiliki karir yang bagus. Cukuplah untuk menyaingi penghasilan gadis itu sebagai seorang model professional.
Tapi apakah ia memiliki kesempatan? Dan utamanya, apakah ia memiliki peluang? Mungkin saja jika saat ini gadis itu tidak sendiri. mungkin saja gadis itu sudah memiliki pujaan hati yang sampai saat ini memang belum terendus media.
Tapi sebagai seorang pengusaha, peluang dan kesempatan adalah hal yang harus dia cari. Bukan dia temukan. Bukan begitu?
Panggilan intercom menyadarkannya dari lamunan singkatnya. Agam kemudian keluar dari unitnya dan berjalan menuju lobi bawah untuk membawa pesanan yang dibawakan tukang ojek onlinenya. Setelah membayar dan mengucapkan terima kasih ia kemudian kembali ke atas dan siap bersantap sore. Setelahnya ia akan melanjutkan pekerjaannya. Itu pun jika tidak ada gangguan lain.