Di kediaman Ahmed & Helena Levent - Jakarta
Carina bangun sesaat sebelum maghrib tiba. Rasa lelahnya lumayan terobati meskipun belum sepenuhnya hilang. Ia melirik ponsel, menyalakannya dan sesaat setelah ponselnya menyala ia langsung mendapati banyaknya panggilan dari orang rumah.
Memilih untuk mengabaikannya, Carina meletakkan ponsel itu dalam mode senyap dan dalam keadaan terbalik di atas nakas. Ia kemudian berjalan menuju kamar mandi. Membersihkan diri dengan cepat untuk menghilangkan penat dan bau keringat.
Tak sampai sepuluh menit, Carina sudah mengenakan setelan jeans dan blus lengan panjang yang nyaman. Rambut panjangnya yang basah dia biarkan tergerai begitu saja. Setelah melakukan kewajibannya, ia kembali ke bawah. Ingat bahwa ia masih punya janji untuk memberikan titipan dari Granny Helena dan Baba Ahmed untuk para pekerjanya.
Asisten rumah tangga senior yang melihat kedatangannya langsung menyambutnya. Menawarinya makan malam yang sudah wanita paruh baya itu siapkan. Carina hanya tersenyum dan menggumamkan terima kasih. "Koper saya disimpan dimana, Bi?" tanyanya.
Wanita paruh baya itu kemudian pergi ke salah satu kamar bawah yang merupakan ruangan kerja Baba Ahmed dan menarik koper besar itu keluar dari sana. Carina mendekat dan membantu wanita itu untuk membawa koper menuju ke ruang keluarga. Meletakkan koper di lantai dan ia pun duduk ikut di atas karpet tebal yang ada disana.
Semua oleh-oleh yang ia bawa sudah ia bagikan sesuai dengan pesanan Granny Helena. Karena nama pemiliknya semuanya sudah tertera dibagian luar kemasan supaya Carina tidak tertukar saat memberikannya. Dan setelah semua hadiah diserahkan, tinggallah beberapa potong pakaian Carina yang ia bawa dari butik Aunty Nadira. Yang kalau dipindahkan ke dalam tas, akan cukup ke dalam sebuah ransel kecil saja. Benar-benar tampak seperti anak yang kabur dari rumah. Padahal di umurnya yang sekarang, ia seharusnya sudah bisa bersikap dewasa, bukannya kekanakan.
Carina menyerahkan koper kosong itu pada asisten rumah tangga. Koper itu bukan miliknya, melainkan milik Granny Helena. Jadi ia membiarkan asisten rumah tangga menyimpannya di tempat yang seharusnya.
Setelah memastikan semua barangnya sudah masuk ke dalam tas. Carina kemudian berjalan menuju meja makan. Mengajak serta beberapa karyawan disana untuk ikut makan bersama supaya ia tidak kesepian.
Mereka membicarakan kabar Granny Helena, si pemilik rumah yang juga merupakan nenek dari sahabatnya yang sudah memutuskan untuk tinggal di kampung halaman suaminya, setelah Adskhan—putra mereka satu-satunya menikah dengan Caliana, tante dari Carina. Karyawan Granny Helena seringkali menggumamkan betapa mereka merindukan kedua pasang lansia itu. Dan sejujurnya, Carina juga merindukan mereka. Sejak usianya tiga belas tahun, ia sudah menganggap kedua orang itu seperti kakek dan neneknya sendiri.
Melihat romantisme di keluarga Levent sebenarnya membuat Carina sedikitnya cemburu. Uncle Adskhan yang tampak begitu dingin di luar, namun ternyata sangat lembut dan begitu perhatian pada istri dan anak-anaknya. Uncle Lucas yang cerewet yang memiliki istri pendiam seperti Aunty Gisna juga begitu penyayangnya terhadap istri dan anak-anaknya. Dan satu lagi, si playboy Uncle Erhan yang sering mengumbar kata suka pada setiap wanita akhirnya bertekuk lutut pada wanita keras dan kejam seperti Aunty Nadira.
Ketiga pria Levent itu jelas begitu memuja dan mencintai istrinya. Tapi jangan lupakan kisah cinta wanita Levent juga. Karena kisah cinta sahabatnya, Syaquilla Adskhan Levent pun tak kalah menakjubkannya bagi Carina. Perjuangan, airmata dan mengalahkan ego itu bukanlah hal yang mudah.
Carina menarik napas panjang. Cinta. Satu kata yang diinginkan semua orang tapi bukan hal yang mudah untuk didapatkan. Akankah ia memiliki pelabuhan terakhir seperti mereka? Menemukan belahan jiwanya dan hidup bersama dengan orang yang ia cintai dan mencintainya? Hidup bersama sampai tua, membesarkan anak-anak yang terlahir dari rahimnya dan melihat mereka tumbuh bahagia.
Mungkinkah itu semua? Sementara pria yang dicintainya bahkan tidak pernah menyadari perasaannya. Carina menggelengkan kepala. Ia yakin, pria itu tahu bagaimana perasaannya, namun pria itu memilih untuk pura-pura tak tahu dan mengabaikannya. Karena dalam hatinya, sudah ada wanita lain yang begitu dipujanya.
Bagaimanapun kisahnya nanti, ia tahu kalau Allah sudah memberikan takdir sendiri untuknya. Ia hanya bisa berharap semoga semuanya menjadi yang terbaik untuknya.
Hari berlalu dan Carina masih terbangun di kediaman Levent. Ia segera membasuh muka dan melakukan kewajibannya. Semuanya harus berakhir. Masa pelariannya cukup ia hentikan sampai saat ini. Ia sudah lelah. Perjanjiannya dengan ayahnya sudah mencapai batas akhirnya. Dan kini, ia akan menyatakan kekalahannya pada ayahnya. Hari ini ia akan pergi ke agency untuk melihat pekerjaannya sebelum akhirnya nanti ia akan kembali ke Bandung. Ke tempat keluarga kandungnya berada.
Di tempat Agam.
Pukul enam pagi sudah bising dengan suara kendaraan. Beginilah Jakarta. Ibukota Indonesia dengan segala kesibukannya. Maklum, kota metropolitan ini dipenuhi para pekerja keras yang berangkat pagi dan pulang malam. Sehingga tidak sedikit para pekerja kehabisan waktu untuk sekedar menikmati kebersamaan bersama keluarga.
Dulu, hal itu juga dirasakan oleh Agam. Ayahnya selalunya berangkat ketika pagi buta untuk menghindari kemacetan dan pulang saat Agam kecil sudah tertidur lelap ke alam mimpi. Kala itu Agam kecil selalu marah pada ayahnya. Terlebih di hari sabtu ataupun minggu ayahnya jarang sekali memiliki waktu untuk keluarga. Dan sekarang, setelah dewasa dan menggeluti bidang yang sama dengan ayahnya. Agam tahu alasannya kenapa.
Saat Agam kecil. Ayahnya bekerja sebagai seorang safety di sebuah perusahaan konstruksi yang merangkap sebagai seorang drafter—pembuat gambar bidang kerja—dan karena beliau bekerja sama untuk membangun fasilitas pabrik, maka pekerjaannya lebih banyak dilakukan di akhir pekan. Ketika para karyawan tidak bekerja. Hal itu dilakukan dengan alasan keamanaan dan kemudahan mereka untuk bekerja.
Dan kini, Agam pun bekerja sebagai seorang pemborong. Yang sebenarnya seringkali berpindah setiap kali ada proyekan yang masuk. Bukan pekerjaan yang menghasilkan nominal tetap macam Aparatur Sipil Negara. Tapi jelas penghasilannya besar, dan itulah yang membuatnya tak ingin berhenti. Dia suka dengan uanganya, ia tidak munafik akan hal itu. Tapi sama seperti apa yang diajarkan ayahnya kepadanya, ia berusaha untuk melakukan segala sesuatunya dengan cara yang halal. Mengingat bekerja di bidang seperti ini memiliki banyak godaan.
Minuman keras dan bahkan wanita bayaran bukanlah hal yang tabu lagi di dunia seperti ini. Untuk mendapatkan kerjasama, tawaran-tawaran seperti itu seringkali Agam dapatkan. Tergoda? Tentu saja Agam tergoda. Disuguhi wanita cantik, bertubuh seksi dan menggoda. Pria mana yang akan tahan. Agam pun tidak tahan. Dia pria normal yang bisa tergoda dengan moleknya tubuh wanita. Hanya saja ayahnya selalu mengingatkan, bahwa iman harus menjadi patokan dalam segala hal. Agam harus ingat akan Tuhan, ia harus ingat bahwa akan ada kehidupan setelah kematian, dimana dosa yang kini ia lakukan akan dipertanggungjawabkan.
Dia takut pada Sang Maha Tahu. Ia tahu bahwa apa yang dimilikinya sekarang hanya titipan. Ia tahu bahwa semua godaan itu, jika ia terima akan membuatnya menerima hukuman yang lebih berat di akhirat kelak.
Munafik? Ya, sebagian orang—bahkan kebanyakan orang—menganggapnya demikian. Tapi Agam puas dengan pilihannya sendiri. "Jika itu rejeki kamu, maka meskipun ombak menghalanginya, perahu pasti akan membawanya sampai ke tanganmu." Prinsip ayahnya itu selalu ia pegang.
Perusahaan yang ayahnya dirikan itu kini berkembang. Meskipun tidak sampai multinasional, tapi Agam cukup puas, karena semua hasil yang ia capai sampai saat ini ia peroleh dengan kerja kerasnya sendiri. dan tentu saja dengan doa dari kedua orangtuanya.
Dan ada hal lain yang ia sukai dari pekerjaannya, itu adalah kesempatan yang ia peroleh untuk mendatangi kota-kota lain. Mengenal daerah dan mengenal lebih banyak orang. Dan dua tahun terakhir ini memang dia lebih suka berada di luar pulau Jawa.
Menghindar? Mungkin itulah yang mereka duga sedang Agam lakukan. Menghindar dan melupakan masa lalu.
Ya. Agam memang sedang melakukan hal itu. ia menghindari pertanyaan dari orang-orang terdekatnya tentang 'kenapa ia gagal menikah', serta melupakan semua masa lalu tentang wanita yang telah meninggalkannya.
Tapi jika orang-orang menduga bahwa ia patah hati. Mereka salah. Rasa sakit itu sudah tidak Agam rasakan lagi bahkan sebelum wanita itu pergi. Baginya, kepergian wanita itu merupakan titik terang. Bahwa bagi wanita itu, Agam tidak lebih penting.
Dan entah bagaimana, hatinya kala itu langsung berpaling. Pada seorang gadis yang tidak sengaja ia temui di rumah sakit. Wanita cantik yang menunjukkan wajah panik karena seseorang yang dikasihinya terkena musibah.
Carina Putri. Gadis cantik yang sesudahnya Agam ketahui merupakan seorang model brand sebuah pakaian ternama. Gadis cantik yang memiliki gurat wajah sinis namun ternyata baik hati. diam-diam Agam selalu menguntit kabar terbaru gadis itu lewat aku media sosialnya. Sedikit hal pribadi yang gadis itu posting, karena kebanyakan media sosialnya diisi dengan postingan pekerjaannya. Namun begitu saja sudah membuat Agam senang.
Fans? Ya. Agam menjadi salah satu fans gadis itu. Fans yang benar-benar tergila-gila. Ya Tuhan, apakah salah jika Agam berandai-andai memiliki gadis itu untuk dirinya sendiri?
Suara deringan ponsel mengalihkan perhatian Agam dari laptop di depannya. Ayahnya mengirimkannya pesan yang menunjukkan alamat sebuah café. Beliau memintanya untuk datang ke sana saat makan siang. Agam ingin menolaknya. Setidaknya ia kini tahu bahwa dirinya dan Carina berada di satu kota yang sama. Jadi bisakah Agam sedikitnya mencoba dulu peruntungannya untuk mendekati gadis itu?
Jawabannya tentu tidak. Ayahnya bukan orang yang suka ditentang. Dan mungkin bisa saja jika Agam mengatakan pada ayahnya siapa gadis yang disukai dan apa pekerjaan yang digelutinya, ayahnya akan menolaknya mentah-mentah. Begitu pula dengan ibunya.
Agam menyugar rambutnya kesal. Pukul sepuluh lewat tiga puluh menit dia sudah bersiap. Mengenakan celana jeans dan kemeja lengan panjang yang digulung sampai ke siku. Agam memilih untuk menggunakan taksi online. Agam tidak mengendarai mobilnya sendiri. Bukan karena ia tidak punya, tapi karena kendaraannya jelas berada jauh di pulau lain karena kemarin ia kembali ke Jakarta menaiki pesawat terbang, bukan dengan kapal yang biasa ia naiki jika hendak melintas pulau.