Scent of Petrichor 6a

1102 Words
Ivy terduduk di lantai kayu sasana setelah memimpin dua sesi latihan capoeira hari ini. Ia sedang menunggu para trainee yang mengambil kelas terakhir bubar sebelum bisa meninggalkan Ato Martial. Saat Ivy sedang menenggak air putih, rekannya sesama pelatih di Ato Martial mendekatinya. Blade, pemuda berperawakan tinggi dengan tubuh penuh tato yang baru bergabung di Ato Martial sebagai pelatih savate selama enam bulan, akhir-akhir ini memang terlihat cukup akrab dengan Ivy. Blade ikut duduk di sebelah Ivy dan bertanya, “kau sudah selesai?” “Sudah.” Ivy menoleh dan balas bertanya. “Kau sudah?” Blade mengangguk kecil. “Kita langsung berangkat?” Ivy menunjuk pakaiannya yang basah. “Aku harus berganti pakaian dulu.” “Oke. Aku tunggu.” Kelas savate yang Blade pegang memang berbeda 30 menit dengan kelas capoeira, hingga pemuda itu selesai lebih dulu dan sudah sempat berganti pakaian. Tapi menunggu Ivy jelas tidak masalah bagi Blade. Bisa pergi bersama gadis itu saja sudah jadi kesenangan tersendiri bagi Blade. Setelah waktu berlalu sekitar 15 menit, Ivy kembali dari ruang ganti. “Aku selesai!”  “Kita berangkat sekarang?” sambut Blade cepat. “Hm.” Ivy berjongkok untuk memunguti barang-barangnya, dan memasukkan semua ke dalam ransel. “Kau yakin ingin melakukan ini?” tanya Blade saat mereka berjalan keluar meninggalkan Ato Martial.  Saat kemarin Ivy memintanya menemani ke suatu tempat, dengan cepat Blade langsung mengiakan. Namun ketika mencari tahu tempat macam apa yang ingin gadis itu datangi, Blade jadi gentar juga.  “Sangat yakin,” sahut Ivy tanpa perlu berpikir ulang lebih dulu. “Oke. Aku akan menjagamu.”  Meski mungkin berbahaya, masih lebih baik Ivy pergi bersamanya daripada gadis itu sendirian. Setidaknya ia bisa menjaga Ivy jika ada sesuatu yang buruk. “Terima kasih,” ujar Ivy sambil tersenyum manis. Matanya menangkap sesuatu yang menarik perhatian sekaligus membuatnya merasa terganggu. “Blade, kau bawa kendaraan apa hari ini?” “Motor.” “Di mana kau parkir?” “Seberang jalan.” Blade menunjuk ke deretan motor-motor yang terparkir sekitar 100 meter dari tempat mereka berdiri saat ini. “Kau tunggu saja di sini.” “Jangan. Kita jalan sama-sama saja,” tolak Ivy cepat dan tiba-tiba saja gadis itu melingkarkan lengannya di pinggang Blade juga membawa tangan pemuda itu untuk melingkari pundaknya. “Hei! Apa yang kau lakukan?” seru Blade heran. Bukan ia tidak senang, hanya terkejut saja. Selama enam bulan mengenal Ivy, yang ia tahu gadis ini adalah sosok yang dingin dan keras. Didekati pun selalu menjauh. Jadi jika Ivy tiba-tiba melakukan kontak fisik seperti ini, jelas Blade terheran-heran. Ivy menoleh dan tersenyum lebar. “Jangan bertanya. Jalan saja dengan tenang.” Blade berusaha untuk fokus menyeberang jalan sambil otaknya masih berpikir keras. “Tapi kenapa harus begini?” Ivy mengedipkan sebelah matanya agar Blade berhenti bertanya. “Nanti kujelaskan.” *** "Kenapa mengajak bertemu di sini?” tanya Rocky malas.  Ketika Aaron menghubunginya dan mengajak bertemu di sebuah kedai kopi, Rocky sebenarnya merasa malas. Ia sedang tidak berada dalam suasana hati yang baik untuk duduk-duduk santai menikmati secangkir kopi bersama teman. Lagi pula jika ada hal yang penting, biasanya Aaron akan mengajak bertemu di markas besar, atau di kediaman pria itu, atau di kediaman Eldo.  Aaron meneguk kopinya dengan santai lalu menjawab, "ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan padamu.” Rocky memicingkan mata curiga. "Penting atau tidak?"  Aaron mengedipkan sebelah matanya. "Pastinya penting." “Apa?” tanya Rocky tidak sabar. “Tunggu sebentar,” sahut Aaron dengan lagak misterius. “Seharusnya tidak lama lagi.” “Kau tidak sedang berniat mengerjaiku?” “Astaga! Kau ini selalu berpikiran buruk tentangku!” protes Aaron. “Lebih baik minum dulu kopimu.” “Aku sedang tidak berselera.” “Hargailah aku yang sudah repot-repot memesankannya untukmu.” Rocky mendengkus geli tapi akhirnya meraih juga cangkir kopi yang tersedia di hadapannya. Baru saja ia meneguk kopinya, seruan Aaron membuat Rocky nyaris tersedak. "Lihat ke sana!" Aaron menunjuk ke seberang jalan. Rocky mendelik kesal dan bertanya dengan nada malas. "Apa?" "Coba lihat dulu!" seru Aaron gemas. "Lihatlah siapa yang ada di sana!"  Rocky melihat ke arah yang Aaron tunjuk dan menemukan sosok yang sangat dikenalnya dengan baik. Perlahan matanya memicing dan ia bergumam bingung. "Bukankah itu Ivy?" Aaron langsung menjentikkan jarinya di depan wajah Rocky. "Tepat!" Hal inilah yang ingin Aaron tunjukkan pada Rocky. Beberapa waktu terakhir, Aaron cukup sering melihat Ivy meninggalkan sasana bersama seorang pemuda. Keduanya terlihat akrab, dan rasanya Rocky perlu tahu hal ini. "Siapa yang bersama gadis itu?" Rocky berusaha untuk tidak terdengar kesal, padahal jelas-jelas itulah yang ia rasakan.  Entah berapa banyak lagi lelaki yang akan Ivy dekati, yang pasti sejauh ini sudah tidak terhitung banyaknya. Teman sekolah, teman kuliah, bartender, waiter, preman, musisi jalanan, pemilik bar, pemilik cafe, pemilik restoran, montir, dan entah dari kalangan mana lagi lelaki yang pernah menjadi kekasih gadis itu. Rocky lelah dan muak melihatnya. "Seharusnya itu kutanyakan padamu. Kukira kau tahu pemuda yang bersama Ivy." "Mana aku tahu!" hardik Rocky jengkel.  Aaron tertawa geli. Padahal ia yakin jika Rocky tidak tahu, karena Ivy memang tidak mungkin bercerita apa-apa. Tapi Aaron tidak bisa menahan dorongan untuk menggoda sahabatnya itu. "Kenapa kesal begitu?"  “Haruskah kujawab?” balas Rocky ketus. "Kau tidak ingin mengikuti mereka?" goda Aaron. Rocky mendengkus kasar. "Tidak perlu!"  "Kau tidak ingin tahu apa yang mereka lakukan?" pancing Aaron terus. "Bukan urusanku," ujar Rocky dingin. "Kau yakin? Pemuda itu kelihatannya b******k. Kau yakin Ivy bisa mengatasinya?" Kali ini, pancingan Aaron berhasil. Rocky tidak bisa menahan dirinya untuk berlagak tidak peduli lagi. Pandangannya langsung terarah pada Ivy dan pemuda yang jalan bersamanya. Dalam kepalanya, Rocky langsung memberikan penilaian pada pemuda itu. Tampilan urakan, wajah berandal, tubuh bertato, telinga penuh tindikan. Sangat sempurna untuk menggambarkan sosok pria b******k. Setelah sekali melihat, Rocky tidak bisa berhenti untuk terus mengamati. Hatinya terasa mendidih ketika melihat betapa lebarnya senyum yang Ivy tampilkan untuk pemuda itu. Apalagi ketika Ivy melingkarkan lengannya untuk memeluk pinggang pemuda itu. "Sial!" Makian itu terlontar begitu saja dari bibir Rocky ketika melihat kemesraan di antara keduanya. Aaron setengah mati menahan senyumnya ketika menyaksikan kejadian itu, dan jiwa setannya semakin menjadi. Ia terus saja memanasi Rocky. "Mereka berjalan ke arah sini." Rocky terus memandangi Ivy yang menyeberangi jalan menuju ke arah mereka duduk. "Kau ingin aku menghentikan Ivy?" Aaron dengan baik hati langsung menawarkan diri.  "Tidak perlu!” tolak Rocky. “Biarkan saja dia melakukan sesuka hatinya." Ivy dan pemuda itu terus berjalan, semakin mendekat ke arah mereka. Namun sayang gadis itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan menegur Rocky. Melirik saja tidak. "Dia lewat begitu saja," bisik Aaron tidak percaya. "Dia bahkan tidak melirik sedikit juga."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD